» Pengurangan anggaran Covid- 19 berbanding terbalik dengan kenaikkan anggaran infrastruktur.
» Kalau ekonomi dulu, Covid dilupakan, niscaya ekonomi naik sementara, lalu turun lagi.
JAKARTA – Kebijakan pemerintah mengurangi alokasi anggaran untuk penanganan Covid-19 dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pada 2021 menjadi sebesar 25,4 triliun rupiah menuai kritik. Pemerintah dianggap terlalu dini membuat kesimpulan seolah-olah wabah tersebut akan selesai tahun depan.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, pemerintah mengalokasikan anggaran penanganan Covid-19 sebesar 87,5 triliun rupiah, sedangkan tahun depan hanya sebesar 25,4 triliun rupiah atau turun 62,1 triliun rupiah.
Keputusan mengurangi biaya penanganan Covid-19 itu, justru berbanding terbalik dengan alokasi dana untuk pembangunan infrastruktur yang meningkat signifikan dari 281,1 triliun rupiah tahun ini menjadi 414 triliun rupiah pada 2021.
Ekonom Senior, Faisal Basri, dalam sebuah diskusi virtual baru-baru ini mengatakan lokasi belanja infrastruktur itu tertinggi sepanjang sejarah di tengah Covid-19.
“Gila, luar biasa, lebih memilih infrastruktur, bukan memilih vaksin gratis,” kata Faisal
Anggaran untuk penanganan Covid-19, paparnya, seharusnya tetap tinggi karena juga digunakan untuk pengadaan vaksin yang rencananya dimulai awal tahun depan. Hal inilah yang membuat pemerintah tidak bisa memberikan vaksin secara cuma-cuma kepada semua masyarakat.
“Saving lives is saving the economy. Kalau mau sembuhkan ekonomi, sembuhkanlah dulu manusianya. Jadi bukan kebalikan. Kalau kita ekonomi dulu, Covid kita lupakan, niscaya ekonomi naik sementara, kemudian turun lagi,” kata Faisal.
Secara terpisah, Pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, Minggu (20/9), mengatakan kritik Faisal Basri terhadap penurunan tersebut merupakan sikap check and balance dalam membangun pemerintahan yang baik agar tidak lengah mengantisipasi pandemi Covid-19.
“Kritik semangatnya membangun good governance, agar pemerintah jangan gegabah karena pengetahuan tentang Covid-19 ini masih baru, dan virusnya sendiri terus bermutasi. Pemerintah sebaiknya memastikan segala bentuk antisipasi telah siap,” kata Wibisono.
Pemulihan Lambat
Sementara itu, Pengajar dari Universitas Diponegoro Semarang, Esther Sri Astuti, mengatakan respons pemerintah tiap negara berbeda. UNDP report menjelaskan Indonesia hanya memberikan tiga jenis benefit (manfaat), sedangkan Tiongkok, Thailand, dan Filipina memberikan 6–7 jenis benefit atas social protection pandemi Covid-19.
Menurut Esther, kondisi tersebut karena besarnya fiskal setiap negara berbeda. Indonesia hanya memberikan anggaran fiskal untuk pandemi sebesar 2,5 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB).
“Semakin besar anggaran perlindungan sosial Covid-19 maka semakin cepat recovery (pulih), sementara Indonesia hanya sedikit maka lebih lama recovery-nya,” kata Esther.
Menanggapi kritik tersebut, Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, mengatakan alokasi anggaran infrastruktur dalam RAPBN 2021 naik, sementara anggaran kesehatan turun memang demikian adanya.
Anggaran Covid turun, jelas Yustinus, karena angggaran Covid masuk alokasi belanja kesehatan non-kementerian. Sedangkan anggaran Kementerian Kesehatan naik dari 78,5 triliun rupiah menjadi 84 triliun rupiah pada 2021.
“Tapi kok anggaran kesehatan turun? Iya, alokasi stimulus turun seiring telah tersedianya banyak sarana/prasarana kesehatan di 2020 yang dapat digunakan di 2021,” katanya.
Pemerintah jelas Yustinus tidak mengabaikan penanganan Covid-19, makanya dialokasikan anggaran 18 triliun rupiah untuk pasokan dan pengadaan vaksin.
Selain itu, juga menyediakan nutrisi ibu hamil dan menyusui/balita, penanganan penyakit menular, dan akselerasi jaminan kesehatan masyarakat.
Seiring dengan itu, industri kesehatan dalam negeri juga berkembang karena semakin banyak produsen Alat Pelindung Diri (APD), masker, ventilator, sanitizer, obat-obatan, sedangkan impor dibatasi.
“Berkaitan dengan anggaran infrastruktur yang naik tajam, karena banyak program yang tertunda, salah satunya infrastruktur digital senilai 30,5 triliun rupiah,” tutupnya.
n SB/uyo/ers/E-9