Jakarta (ANTARA) – Direktur Pengembangan Kekayaan Intelektual Industri Kreatif Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) Republik Indonesia, Robinson Hasoloan Sinaga mengatakan sangat penting bagi pelaku industri film untuk memahami tentang hak kekayaan intelektual (HKI) pada karyanya.
Robinson mengatakan secara umum film dan konten berhubungan dengan hak cipta dan merek. Dua hal tersebut harus dipahami dengan benar agar kedepannya tidak berhubungan dengan masalah hukum.
“Yang paling penting dan simple itu dua ini, Hak Cipta dan Merek. Ketika suatu karya film paling tidak kita perlu untuk melindunginya dengan tiga sistem Hki yakni Hak Cipta, Merek dan Paten,” ujar Robinson dalam seminar “Intelektual Properti dalam Industri Konten di Indonesia” pada Kamis.
“Yang dilindungi hak cipta adalah semua skrip atau apapun itu termasuk karakter. Kalau terkait nama, rasa atau apapun itu terkait merek. Itu saja. Kalau saya mau nama Robinson itu punya saya saja, berarti saya harus punya sistem merek untuk melindungi,” lanjutnya.
Robinson menjelaskan pada umumnya konten film memerlukan hak cipta. Hak cipta sendiri merupakan sebuah perlindungan hukum yang melindungi bidanh seni, sastra dan ilmu pengetahuan.
Dengan film berada di bawah payung hak cipta, maka karya tersebut akan mendapat kepastian hukum.
“Kalau saya tidak punya HKI maka saya tidak akan terlindungi, kalau saya punya HKI maka akan mendapat kepastian hukum. Hak cipta itu eksklusif, kemudian dia itu obyeknya ilmu pengetahuan, kemudian tidak melindungi ide. Jadi kalau di kepala saya ada ide membuat film, tidak akan dilindungi oleh hak cipta,” kata Robinson.
Untuk menjadikan sebuah ide memiliki hak cipta, maka perlu dituangkan ke dalam film sehingga buah karya tersebut akan terlindungi secara hukum.
Oleh karena itu, sebuah ide cerita tidak akan melanggar hak cipta jika diwujudkan ke dalam beberapa film.
“Jadi kalau di Amerika ada film ‘Shark’, silahkan dibuat ide filmnya, asal jangan ditiru, dikopi dengan film baru kita, itu melanggar,” kata Robinson.
Lebih lanjut Robinson menjelaskan, di dalam hak cipta, terdapat juga dua hak lain yang harus diketahui oleh para pembuat film yakni hak moral dan hak ekonomi.
Hak Moral ini adalah hak setiap orang yang terlibat dalam pembuatan film. Setiap nama orang yang terlibat dalam produksi film harus disebutkan termasuk sopir hingga bagian kebersihan.
“Kalau tidak disebut, teman-teman berpotensi melanggar Hak Moral dari orang yang terlibat di film itu. Sanksinya apa? pidana dan perdata. Sering kita lupa itu,” ujar Robinson.
“Jadi yang terlibat catat aja. Kalau dilupakan mungkin 2-3 tahun kedepan akan mendapat masalah hukum karena kalau dia bisa membuktikan dia terlibat di situ, Anda akan bermasalah,” imbuhnya.
Selain itu, ada juga yang dinamakan hak ekonomi. Ini mengurusi soal masalah ekonomi atau pembagian royalti. Pembagian royalti, keuntungan dan lainnya, harus dijabarkan secara jelas dalam sebuah surat atau kontrak.
Robinson juga menjelaskan perihal merek. Merek bisa berupa nama, gambar, logo, kata, huruf, angka, susunan warna dan sebagainya.
Dalam sistem merek terdapat klasifikasi yang terdiri dari 45 kelas dan hal tersebut berlaku di seluruh dunia. Sifat kepemilikan merek pun tergantung dari seseorang yang mendaftarkan pertama.
“Hak cipta itu ada ketika dipublikasikan pertama kali, kalau merek tidak, prinsipnya kita harus daftar, kalau ingin menjadi milik saya, maka harus didaftar ke Kementerian Hukum dan HAM, bayar Rp1,8 juta. Siapa pendaftar pertama, dia yang punya hak, merek itu 10 tahun perlindungannya,” jelas Robinson.
“Kalau saya misalnya, tidak ingin orang lain bikin Filosofi Kopi sebagai merek produknya, maka harus daftar di 45 permohonan,” imbuhnya.
Baca juga: UI sampaikan prosedur pendaftaran kekayaan intelektual
Baca juga: Aturan soal royalti untuk lindungi musisi
Baca juga: Pelanggaran HKI hambat perkembangan teknologi
Pewarta: Maria Cicilia
Editor: Alviansyah Pasaribu
COPYRIGHT © ANTARA 2021