in

Penuh Kejanggalan, Dahlan Ajukan Praperadilan

Dahlan Iskan kembali mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka pembuatan prototipe mobil listrik. Ada sejumlah alasan pengajuan praperadilan tersebut. Di antaranya, ada beberapa kejanggalan dalam kasus yang terjadi pada 2013 tersebut.

Kejanggalan yang utama adalah pernyataan Jaksa Agung M Prasetyo soal penetapan Dahlan sebagai tersangka yang didasarkan pada putusan kasasi Dasep Ahmadi. Dasep merupakan pemilik PT Sarimas Ahmadi Pratama yang melakukan kerja sama pembuatan prototipe mobil listrik dengan tiga perusahaan BUMN.

Pernyataan Jaksa Agung itu terbilang aneh karena saat menetapkan Dahlan sebagai tersangka, yang diperoleh kejaksaan hanyalah petikan putusan Dasep. Bukan salinan lengkap putusan. 

Yusril Ihza Mahendra, pengacara Dahlan yang juga ahli hukum tata negara, menilai hal tersebut menyalahi ketentuan pasal 270 KUHAP. “Yang menjadi dasar Kejagung itu hanya petikan putusan. Itu sifatnya informal, menyalahi ketentuan pasal 270 KUHAP,” terang Yusril.

Dalam pasal tersebut telah diatur bahwa jaksa menjalankan eksekusi dengan didahului putusan yang diserahkan oleh pengadilan. Dengan demikian, eksekusi putusan hanya berdasar petikan putusan bisa dianggap inkonstitusional. 

Nah, putusan kasasi Dasep juga tidak bisa serta-merta digunakan untuk menjadikan Dahlan sebagai tersangka. Sebab, dalam perjalanannya, terjadi perkembangan baru di dunia hukum. Yakni, keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 25/PUU-XIV/2016 tentang pengujian pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tipikor. 

Dalam putusan tersebut, MK menyatakan, menganulir kata “dapat” dalam pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tipikor. Sebagaimana diketahui, dalam dua pasal itu terdapat kata “dapat” yang berada pada kalimat “dapat merugikan keuangan negara”.

Nah, kata “dapat” itulah yang dianggap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Karena itu, penanganan tindak pidana korupsi menurut dua pasal tersebut harus benar-benar memenuhi adanya kerugian negara atau perekonomian negara yang nyata.

“Putusan itu secara fundamental mengubah delik tindak pidana korupsi, dari delik formil ke delik materiil,” ujar Yusril. Adanya putusan itu membuat penanganan korupsi tidak bisa lagi hanya atas dasar dapat merugikan keuangan negara. “Tapi harus bisa dibuktikan bahwa negara benar-benar rugi,” imbuhnya.

Alasan praperadilan yang kedua adalah terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 4/2016. SEMA itu berisi pemberlakuan rumusan hasil rapat pleno kamar Mahkamah Agung (MA) pada 2016. SEMA tersebut berlaku sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan di seluruh Indonesia.

Pada bagian A angka 6 di SEMA 4/2016, MA menentukan lembaga yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara. Lembaga yang berwenang secara konstitusional menurut MA adalah Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). Lembaga lain di luar itu tidak berwenang menyatakan ada atau tidaknya kerugian negara.

“Pada kasus mobil listrik, BPK telah menyatakan tidak ada kerugian negara. Tapi, Kejaksaan Agung menggunakan BPKP,” ujar Yusril. Perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPKP dalam kasus mobil listrik juga menjadi perdebatan.

Sebab, BPKP menghitung kerugian berdasar total lost. Padahal, faktanya, mobil listrik telah selesai dibuat. Yusril menegaskan, perubahan hukum itu belum terjadi ketika Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut mobil listrik dengan terdakwa Dasep Ahmadi.

Dasep merupakan pemilik PT Sarimas Ahmadi Pratama yang mendapatkan dana sponsor dari tiga perusahaan BUMN untuk membuat mobil listrik guna kepentingan APEC 2013.

Ketika berhasil menjebloskan Dasep ke penjara itulah, Kejagung berupaya mencari kesalahan Dahlan. Sejak awal Kejagung memang terkesan mengincar Dahlan. Mereka memasukkan nama Dahlan sebagai pihak yang turut serta dalam kasus Dasep Ahmadi.

Pengadilan Tipikor Jakarta dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak mengabulkan jaksa. Hakim menganggap terlalu dini mengaitkan peran Dahlan Iskan dalam kasus Dasep.

Meski begitu, ambisi Kejagung dalam mencari kesalahan Dahlan tak berhenti di situ. Mereka tetap menjadikan Dahlan tersangka kasus mobil listrik. Yusril menyampaikan, tanpa adanya kepastian kerugian negara secara nyata yang dinyatakan oleh BPK, Kejagung tak bisa menetapkan Dahlan sebagai tersangka kasus mobil listrik.

“Atas dasar adanya perubahan hukum itulah, kami mengajukan praperadilan. Mohon doa restunya semoga hasilnya positif,” tutur Yusril.

Sementara itu, kepada sejumlah media, Jaksa Agung M Prasetyo sempat mengatakan masih menunggu audit dari BPK. Kemarin, koran ini mengajukan konfirmasi ke BPK mengenai ada tidaknya permintaan audit dari Kejagung terkait mobil listrik. Juru Bicara BPK Yudi Ramdan menyatakan belum mengetahui.

Dia masih perlu meng-update informasi pada hari kerja. “Saya belum update, besok (hari ini, red) saya komunikasikan ke kantor dulu,” ujarnya. Sumber koran ini menyebutkan, audit investigasi semestinya tidak bisa dilakukan secara cepat.

Apalagi, yang diaudit merupakan keuangan negara yang telah dipisahkan ke dalam BUMN. “Sesuai putusan MK, audit terhadap keuangan negara yang dipisahkan harus dibedakan. Termasuk harus memperhatikan business judgement rule,” ujarnya.

Di tempat terpisah, mantan auditor senior BPK Hernold Ferry Makawimbang menegaskan, putusan MK No 25/2016 memang berdampak pada kepastian hukum. Dengan putusan itu, penegak hukum harus bisa membuktikan secara nyata dan pasti nilai kerugian keuangan negara.

“Kerugian negara harus bisa dihitung secara pasti jumlahnya. Sebab, itu menyangkut kepastian hukum formal melawan hukum tertulis dan melawan hukum materiil merugikan keuangan negara,” ujarnya.

Pakar hukum asal UGM Richo Andi Wibowo mengungkapkan, dalam kasus pembuatan prototipe mobil listrik, terjadi kekeliruan landasan hukum. Yang paling esensial adalah penegak hukum menganggap Dasep melanggar pasal 19 Perpres 54/2010 mengenai persyaratan yang harus dipenuhi penyedia barang atau jasa pemerintah. 

Masalahnya, perpres itu mengatur pengadaan barang/jasa untuk kementerian atau lembaga pemerintah. Tidak bisa serta-merta diterapkan pada perusahaan BUMN. Perpres baru berlaku bagi BUMN bila memenuhi dua syarat. 

Pertama, pengadaan tersebut dilakukan untuk belanja modal dalam rangka penambahan aset dan/atau kapasitas. Kedua, belanja modal tersebut dibiayai secara langsung oleh APBN. Itu telah diatur dalam penjelasan pasal 2 Perpres 54/2010 dan pasal 1 ayat 1 Permen BUMN No 05/2008 dan Permen BUMN No 05/2012. 

Richo mencontohkan Pertamina yang membangun dan meremajakan kilang minyak. Hal tersebut otomatis mengacu pada Perpres 54/2010 (bukan peraturan direksi internal).

“Sebab, dalam pembangunan dan peremajaan kilang minyak itu, Pertamina menggunakan dana dari anggaran APBN langsung, bukan dari kas perusahaan,” ujar pria yang kini tengah menempuh studi di Institute for Jurisprudence, Constitutional and Administrative Law, Utrecht University, Belanda, itu.

Nah, pada kasus pembuatan prototipe mobil listrik, dana berasal dari anggaran sponsorship tiga perusahaan BUMN. Tidak bersumber dari anggaran langsung APBN. Karena itu, argumentasi penegak hukum yang menyatakan Dasep melanggar Perpres 54/2010 seharusnya gugur. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Kasus Korupsi Terganjal SEMA

OMBRE HAIR SERVICE: Variety of Blue Highlights