Dalam proses Pemilukada (Pemilihan Umum Kepala Daerah) di Aceh yang sedang berlangsung sekarang ini, ada dua terminologi yang sempat menarik perhatian para pemilih. Pertama: penyampaian visi dan misi para kandidat Gubernur Aceh 2017-2022 di Gedung DPRA. Kedua: Gugurnya beberapa kandidat Bupati dan Wakil Bupati dari pencalonan karena ditengarai mengidap sejenis penyakit saraf yang disebut dengan “neurobehaviour”. Secara substantive, Antara visi dan misi Kandidat (khususnya Gubernur) sebenarnya tidak ada hubungannya dengan penyakit “Neurobehaviour” tersebut. Tetapi di dalam praktik politik selama ini, ada benang merah antara penyakit “neurobehaviour” dengan gagalnya Visi dan Misi Kepala Daerah saat diwujudkan dalam kerja nyata.
Dalam pemahaman umum, visi dan misi adalah suatu kerangka program baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Visi menggambarkan pandangan ke depan yang sifatnya umum atau normative, sedangkan misi bersifat strategis dan lebih khusus. Misi biasanya akan dituangkan ke dalam Program Strategis (Strategic Program) dan kemudian dijabarkan ke dalam rencana kerja praktis, konkrit dan lengkap dengan ukuran keberhasilan.
Sedangkan “Neurobehaviour”, menurut berbagai literatur kesehatan, merujuk kepada adanya gangguan “Neurology” atau gangguan saraf seseorang yang terkait dengan potensi penyakit-penyakit tertentu termasuk stroke. Sedangkan kata “Behaviour” bermakna “perilaku”, yang artinya, bahwa gangguan saraf ini juga mengganggu perilaku. Orang yang mengidap gangguan “Neurobehaviour” ini, misalnya; bisa saja melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan perintah sarafnya. Ketika saraf otak memerintahkan untuk menggerakkan tangan kanan, misalnya, ternyata yang bergerak adalah tangan kiri. Dalam bahasa sederhana: Gangguan perilaku akibat tidak sinkronnya antara saraf otak dengan tindakan kongkrit dari fungsi tubuh.
Kembali pada Visi dan Misi. Tentu saja hal ini sangat penting, karena merupakan rujukan utama dari setiap program dan aktivitas yang akan dijalankan seorang Kepala Daerah apabila dia terpilih. Sesungguhnya “janji politik” seorang Kepala Daerah, dapat dilihat dari visi-misi tersebut. Jika apa yang diucapkan sebagai janji politik tidak “direkam” di dalam dokumen Visi-Misi, dan kemudian dijadikan sebagai dokumen hukum (Undang-Undang, Perda atau Qanun), maka janji politik itu pastilah palsu atau tidak mungkin dapat dilaksanakan. Karena setiap program kerja Kepala Daerah, harus memiliki payung hukum sesuai tingkatannya.
Sayangnya, di dalam praktik, seringkali visi-misi Kepala Daerah tidak koheren dengan program strategis. Begitu juga Program-program strategis yang sudah dirancang tidak sesuai dengan rencana kerja praktis atau pelaksanaan di lapangan. Selanjutnya, kita sering menemukan pelaksanaan program yang sporadis, yang tidak berkesinambungan antara anggaran yang disusun dari tahun ke tahun. Sehingga apa yang dikerjakan pada tahun sebelumnya tidak menunjang apa yang akan dikerjakan pada tahun berjalan. Problem yang umum adalah tidak sesuainya antara visi-misi dengan alokasi anggaran. Untuk program strategis dan pos-pos strategis justru anggarannya di pangkas, sementara untuk pos-pos yang sifatnya penunjang justru alokasi anggarannya besar. Sebagai contoh; besarnya dana hibah yang digelontorkan secara membabi buta untuk keperluan yang tidak direncanakan, sehingga mengurangi pos anggaran untuk program yang sudah dirancang dan bersifat strategis.
Singkat cerita, Visi-Misi seringkali hanya ada diatas kertas, tapi tidak terwujud dalam pelaksanaan dilapangan; Kata orang melayu “Cakap tak serupa bikin”. Orang Aceh bilang: “Cet Langet”; Visi-Misi menuju ke langit, tapi di lapangan tak ada yang dikerjakan. Dalam bahasa modern inilah yang disebut dengan “mismanagement” atau kesalahan management, dimana tahapan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini dapat dipastikan mengakibatkan kerancuan pembangunan, disorientasi politik, dan pada akhirnya kegagalan eksekusi pembangunan.
Fenomena di atas akhirnya akan berdampak pada gagalnya seorang Kepala Daerah dalam menyelaraskan antara impian (visi), harapan (misi-ekspektasi), dengan target-target pembangunan di lapangan yang harus dieksekusi. Situasi seperti ini persis seperti fenomena gangguan Neurobehaviour, dalam dunia kesehatan, sebagaimana saya singgung diatas. Itulah sebabnya kita dapat mengatakan fenomena diatas sebagai penyakit “Neurobehaviour” Politik atau “Neurobehaviour” pembangunan Aceh.
Ternyata selama ini, dalam praktiknya; Neurobehaviour itu sudah lazim terjadi dan menjangkiti para Kepala Daerah; Baik Gubernur, maupun Bupati dan Walikota kita. Oleh karena itu, alih-alih bahwa penyakit “Neurobehaviour” yang oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh digunakan sebagai acuan untuk membatalkan pencalonan beberapa Kandidat Kepala Daerah (Bupati), sebaiknya ke depan nanti dapat digunakan untuk “memberhentikan” Kepala Daerah, yang dalam menjalankan tugasnya, ternyata juga terjangkit “Neurobehaviour”, karena bertindak tidak sesuai antara apa yang direncanakan dengan apa yang dikerjakan. Jangan sampai, Aceh ingin belok ke kanan, ternyata karena “neurobehaviour” politik, akhirnya belok kekiri. Bisa-bisa Aceh tersesat ke “neraka”. []