in

Perajin Lapiak Pandan di Padang Laweh Selatan, Tertekan Tikar Produksi Pabrik

TETAP BERTAHAN: Yuliniwati, perajin lapiak pandan tetap berkarya di tengah semakin turunnya peminat dan murahnya harga.(IST)

Kabupaten Sijunjung tidak saja dikenal dengan talempong ungan dan kerajinan songket (tenun) di Nagari Unggan, Kecamatan Sumpurkudus. Ternyata, daerah berjuluk Negeri Lansek Manih ini menjadi daerah penghasil lapiak pandan (tikar anyaman daun pandan) yang banyak beredar ke berbagai pelosok Sumbar.

LAPIAK pandan merupakan produk khas kerajinan masyarakat. Tikar ini terbuat dari daun pandan berduri dengan proses pengerjaan dilakukan secara tradisional/manual oleh kaum ibu-ibu. Salah-satunya di Nagari Padang Laweh Selatan, Kecamatan Koto VII.

Industri lapiak khas Sijunjung ini sudah berlangsung sejak lama, bahkan puluhan tahun silam. Dengan pemasaran tercatat menembus luar pulau Sumatera, bahkan sampai ke negeri Jiran, Malaysia.

Namun siring waktu, produk kerajinan lapiak (tikar) anyaman dari bahan dasar daun pandan tersebut kian tergerus dimakan zaman, hingga kini terancam hilang. Akibatnya yang masih ada bertahan sekarang dapat dihitung dengan jari, dan jumlah produksi makin sedikit.

Ancaman terberat yang dihadapi sekarang, yakni menurunnya daya minat konsumen. Di mana lapiak pandan terbuat dari bahan dasar daun pandan yang tumbuh di alam. Terutama banyak dijumpai di area rawa-rawa atau tepi sungai.

Sebelum dianyam secara tradisional oleh para ibu-ibu perajin, terlebih dahulu daun pandan tersebut dibelah-belah memanjang dengan ukuran menyesuaikan, kemudian direbus, dan dikeringkan. Tanaman pandan duri biasanya memiliki ukuran daun dengan diameter panjang mencapai satu-dua meter, di bagian tepi dan tangah daun terdapat duri-duri tajam.

Yuliniwati, 61, seorang pengepul sekaligus perajin lapiak pandan di Nagari Padang Laweh Selatan, mengungkapkan bahwa di sela aktivitas mengurus keluarga mayoritas kaum ibu-ibu di daerahnya aktif membuat kerajinan lapiak pandan sebagai penghasilan tambahan.

“Tanaman pandan duri banyak tumbuh di sini, sehingga untuk bahan baku pembuatannya mudah dicari,” ujarnya.

Pembuatan lapiak pandan dilakukan secara tradisional. Proses penganyamannya hanya pakai tangan, mulai dari tahap awal hingga akhir. Diawali dengan mengumpulkan pandan duri yang memiliki panjang daun sesuai dengan kebutuhan/ukuran lapiak (tikar) yang hendak dibuat. Setelah terkumpul dilanjutkan dengan membuang bagian duri-duri pada daun pandan tersebut.

Daun pandan yang sudah dibuang durinya, seterusnya dibagi menjadi dua bagian. Kemudian daun tersebut dijemur sampai kering, hingga warnanya yang semula hijau berubah menjadi cokelat. Dalam menjemur daun, juga bergantung dengan cuaca. Jika cuaca relatif mendung daun tidak akan kering, sehingga dibutuhkan lebih lama dalam proses penjemurannya.

Disebutkannya pula, meski demikian pembuatan lapiak pandan juga bisa langsung dianyam sebelum terlebih dahulu dijemur. Tetapi, hasilnya secara kualitas memang kurang bagus. Ketika daun pandan dirasa sudah cukup kering, daun tersebut kemudian dipress manual menggunakan kayu dengan cara ditarik.

Sebelum akhirnya masuk ke proses menganyam sampai ukuran (bidang) ideal yang diinginkan. Untuk menyelesaikan setiap satu helai lapiak pandan, membutuhkan waktu satu hari penuh. Harga jual pada tauke tiap satu lembarnya hanya berkisar Rp20 ribu.

Nantinya harga eceran dipasaran berkisar Rp22,5 ribu per helai. “Harganya cukup murah, yakni haya Rp20 ribu per helai. Dalam sehari hanya bisa selesai dibuat satu lembar pula,” imbuhnya.

Murahnya harga pasar lapiak pandan disebabkan karena semakin kuranga minat masyarakat. Umumnya masyarakat lebih memilih produk tikar yang diproduksi pabrikan. Yakni tikar berbahan plastik, busa, serta lain sebagainya. Baik untuk sebagai alas lantai dalam rumah, atau lain sebagainya. (atn)

What do you think?

Written by Julliana Elora

Dua WNI Tewas dan 85 WNI Lainnya Siap Dipulangkan

Serahkan SK Perhutanan Sosial dan SK TORA, Jokowi: Lahan Jangan Ditelantarkan