Pergerakan perempuan sangat diperlukan masa konflik. Dari demo satu tempat ketempat yang lain, isunya tetap sama, ingin perdamaian di Aceh.
***
TRAGEDI Betong Ateuh atau lebih dikenal dengan tragedi Bantaqiah adalah salah satu tragedi yang memilukan ketika konflik masih melanda Aceh. Pasca tragedi itu Farah bersama beberapa teman yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Kesehatan (FORMAKES) dan organisasi mahasiswa yang bernama SMUR (Soilidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat). Ia berangkat menuju Beutong Ateh dalam upaya melakukan rehabilitasi terhadap masyarakat yang trauma akibat tragedi yang menimpa desa mereka. Menghidupkan kembali desa yang sudah terbengkalai, mengajak anak-anak untuk kembali datang mengaji.
Betong Ateuh, sebuah desa terpencil yang terletak di Kabupaten Nagan Raya. Tidak ada transportasi yang dapat dipergunakan untuk mendaki. Hanya ada dua mobil jeep milik warga Aceh Tengah yang menjadi solusi bagi masyarakat keluar masuk Beutong Auteuh.
Tidak mungkin bagi 12 personil SMUR ditambah beberapa orang desa setempat menumpangi satu jeep yang sudah direnovasi menjadi mobil bak terbuka layaknya truk mungil pengangkut manusia.
Setengah perjalanan jeep itu mogok, rombongan harus berhenti dan menunggu sampai mobil siap diperbaiki. Karna rasa bosan menunggu akhirnya Farah dan beberapa temannya memutuskan untuk berjalan kaki. Sebahagaian lainnya masih dengan sabar menunggu.
Sebilah kayu sebagai pengganti tongkat, merekapun mulai berjalan sambil mendaki melewati gunung singah mata. Dari atas puncak singah mata, hamparan pemandangan kota Meulaboh dapat dinikmati dari kejauhan.
Mereka baru tiba di Betong sekitar jam dua dini hari. Beutong Ateuh jauh dari kata sejahtera, tidak ada listrik di sana, tidak ada ikan, tidak ada sayur mayur. Ketika para bocah hendak ke sekolah, mereka harus mempertaruhkan nyawa demi bergeluyutan di atas jembatan yang terbuat dari kabel listrik agar dapat menyeberang dan sampai ke sekolah. Kaki mereka menginjak kabel yang di bawah dan kedua tangannya menggenggam erat kabel yang di atasnya, persis seperti pemain akrobat yang sering ditayangkan di televisi. Celakanya lagi, daerah yang tidak pernah mengenal nama Indonesia itu tiba-tiba didatangi oleh serdadu dan menghantam ketidaktauhan mereka akan apa itu Indonesia, dengan alasan Tgk Bantaqiah adalah Petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Beutong adalah markas GAM sehingga nyawa masyarakat Beutoeng menjadi halal di mata serdadu Republik ketika itu.
Menurut Farah, Betong Ateuh adalah daerah yang sangat nyaman, sungai yang mengalir indah menjadi pembatas antara desa yang satu dengan desa lainnya. Mendengar cerita pembantaian yang diceritakan dengan detil oleh warga Betong Ateuh, jiwa Farah terpanggil lebih jauh untuk terlibat dalam aksi-aksi kemanusian.
Sepulangnya dari Beutong Ateuh, kawan-kawan farah dari SMUR yang pernah seperjalanan ke Beutong Ateh terus mendiskusikan penegakan hukum atas tragedi Bantaqiah. Farah salah satu dari beberapa mahasiswa yang mengetahui tragedi Betong Ateuh juga ikut terlibat dalam setiap diskusi tersebut. Tanpa sengaja Farah pun mulai bergabung dalam organisasi SMUR.
Tahun 1999, Farah mulai belajar tentang teori pembebasan, tentang ketertindasan, tentang pemberontakan, tentang keadilan dan banyak hal lainnya yang dipelajarinya di SMUR.
Tahun 2000 Farah meninggalkan SMUR dan bergabung dengan organisasi kemanusian yang fokus menangani pengungsi konflik yaitu People Crisis Centre (PCC) yang merupakan sayap SMUR dan diketuai oleh Juanda Djamal.
Seiring berjalannya waktu mulai SMUR terpecah. Sebahagian teman mendirikan organiasi baru yang bernama Forum Rakyat yang diketuai oleh Tarmizi. Sebahagian lainnya masih tetap di SMUR yang diketuai oleh Kausar. Sedangkan PCC memilih berafiliasi dengan Forum Rakyat, dan menyatakan diri sebagai organisasi kemanusian yang independen tanpa afiliasi politik kemanapun.
Kondisi Aceh yang semakin hari semakin tidak stabil. Arus pengungsi semakin hari semakin bertambah. Aktivis PCC dan juga beberapa orang dari Organisasi Forum Rakyat mulai duduk untuk mencari solusi agar kondisi Aceh bisa diketahui oleh orang-orang di luar Aceh.
Farah dan teman-teman membaca peluang. Hanya anak-anak dan perempuan yang memiliki nilai tawar lebih di mata international. Alasan ini mendorong Farah, Risma Wati, Linda, Iryanti, Dedek Harianti dan Fadillah sepakat mendirikan sebuah organisasi perempuan yang dapat menjadi wadah menyuarakan aspirasi masyarakat sipil dalam rangka mempercepat proses perdamaian Aceh.
Pada tanggal 8 September 2001, Farah dan teman-temannya resmi mendirikan organisasi perempuan dengan nama PEREMPUAN Merdeka yang diketuai oleh Farah dan Sekretaris Jendral Dedek Harianti. Mereka bersepakatan menjadikan warna hitam sebagai warna khas organisasi. Bendera lembaga berwarna hitam, di tengahnya terdapat logo dengan gambar borgol berwarna merah yang sebelah terkunci dan sebelah terbuka yang dimaknai dengan kebebasan yang masih setengah terpasung serta tulisan PEREMPUAN Merdeka yang juga berwarna merah. Tulisan PEREMPUAN dengan huruf besar dimaknai sebagai penegasan bahwa yang sedang melakukan perlawanan adalah PEREMPUAN dan Merdeka dengan huruf kecil dimaknai kemerdekan yang belum terwujud dan masih terus diperjuangkan.
Kedatangan Megawati ke Aceh menjadi momen berharga bagi PEREMPUAN Merdeka. Mereka melakukan demontrasi perdana sekaligus deklarasi atas lahirnya gerakan perempuan baru di Aceh. Mereka berpakaian serba hitam dan cadar hitam dan merah sebagai penutup wajah, membawa spanduk hitam yang bertuliskan tuntutan-tuntutan perdamaian, serta beberapa lembar bendera hitam yang bertuliskan PEREMPUAN Merdeka.
Aksi perdana dipimpin langsung oleh Farah dan dihadiri sekitar dua puluhan perempuan. Sebuah toa di tangan sambil terus berorasi dan meneriakkan yel-yel perlawanan. Farah berjalan paling depan diikuti oleh pendemo lainnya. Mereka bergerak dari jalan ujung kalak, kawasan Merduati kota Banda Aceh. Tepatnya dari kantor LBH Banda Aceh dengan tujuan Mesjid Raya Biaturraman, tempat Megawati akan melakukan pidato politiknya di hadapan ribuan masyarakat Aceh. Diluar prediksi, ternyata seluruh jalan yang sudah mereka petakan sebagai jalan tembus ke mesjid raya Baiturahman telah dikawal ketat oleh Papampres (Pengawal Presiden).
Baru sekitar lima belas menit para pendemo melakukan longmarch, para pendemo sudah mulai dihadang oleh Paspampres. Bentrokanpun tak terelakkan, adu mulut, adu fisik antara pendemo dan Paspampres terjadi. Farah sebagai pemimpin aksi menjadi target. Ia sempat tertangkap dan dimasukkan ke dalam mobil kijang milik paspampres. Namun ia bisa melepaskan diri dengen menyusup keluar melalui kaca mobil yang sedikit terbuka. Tak terduga tubuh mungilnya meluncur dari jendela.
Kawan-kawannya yang masih berebutan atribut demo dengan Paspampres langsung menarik tangan Farah ke dalam kerumunan para pendemo. Dalam kondisi kalang kabut, Farah mengajak pendemo untuk mundur dan kembali ke markas.
“Sebenarnya kalau isu Aceh mau terangkat, perempuan harus ada yang ditangkap. Setting-nya tokoh pergerakan perempuan harus ditangkap. Namun Pengorbanan belum sejauh itu. Belum siap untuk ditangkap,” jelas Farah.
Setelah demo perdana digelar PEREMPUAN Merdeka mulai dikenal. Mereka terus bekerja melakukan pengorganisiran ke seluruh Aceh. Mengajak perempuan-perempuan muda yang putus sekolah untuk bergabung.
Pertengahan tahun 2002 PEREMPUAN Merdeka telah memiliki organisasi cabang di Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Organisasi ini sudah lengkap dengan struktur organiasi dan kadernya.
Aksi demi aksi yang dilakukan oleh PEREMPUAN Merdeka mulai dilirik oleh para petinggi Gerakan Aceh Merdeka. Melalui salah satu ajudannya, Tgk. Nasir mengundang Farah untuk datang ke Ujong Pancu, ke rumah staf keuangan GAM Daerah IV yang biasa dipanggil dengan nama Ampon.. Tgk. Nasir adalah Panglima Daerah IV Aceh Besar dalam struktur GAM.
Di rumah panggung yang terbuat dari papan tersebut Farah dijamu makan siang. Bukan Farah sendiri yang menjadi tamu di rumah Ampon. Ada sekitar 15 orang laki-laki tua dan muda telah berkumpul dan juga ikut makan siang bersama dengan Farah. Belakangan Farah baru tahu, ternyata kelima belas tamu tersebut adalah anggota Gerakan Aceh Merdeka daerah IV di bawah komando Teungku Nasir.
Setalah santap siang selesai, Tgk. Nasir mulai mempertanyakan asal muasal organisasi PEREMPUAN Merdeka, “Peu tujuan PM nyan, peu kelompok nyan? (Apa tujuan PM itu, kelompok apa itu?”
Dengan penuh percaya diri Farah menjelaskan tentang organisasi yang dipimpinnya di depan Tgk. Nasir dan tamu lainnya. Sampai akhirnya mereka paham. PEREPUAN Merdeka kemudian diterima sangat baik oleh GAM.
Seminggu setelah pertemuan dengan Tgk. Nasir, Farah kembali mendapat panggilan dari Abu Muhammad Lampoeh Awe. Saat itu beliau menjabat sebagai keuangan Pusat Gerakan Aceh Merdeka, berdomisili sementara di hotel Kuala Tripa sebagai juru runding dari pihak GAM.
Menurut Farah, Abu Muhammad tidak menanyai secara mendalam seperti Tgk. Nasir bertanya. Tetapi bercerita tentang apa itu GAM pada dirinya.
“Abu menceritakan bagaimana GAM pertama berdiri, apa tujuannya, kapan deklarasinya, dan lainnya tentang GAM. Bahkan sempat bertanya dari mana asal saya, siapa nama orang tua. Beliau menjadi semakin dekat dengan saya ketika saya menyebut nama kakek saya yaitu Ampon Bentara yang juga anggota Aceh Merdeka (AM) dan pernah satu sel dengan Abu Muhammad di penjara Taperta Medan pada tahun 1993. Abu Muhammad seperti sedang mencuci pikiran saya tentang GAM, semacam ada doktrin baru yang ditanamkan Abu Muhammad pada diri saya setelah dokrin yang pernah saya terima di SMUR tahun 1999,” ungkap Farah tentang pertemuannya dengan Abu Muhammad.
Ketika Farah hendak pamit pulang, Abu Muhammad berpesan, supaya besok pagi Farah bisa kembali ke Kuala Tripa, ke kamar Abu. Pertemuan awal dengan Abu Muhammad terjadi tiga hari berturut. Banyak hal yang beliau ceritakan. Dari situlah Farah mulai berkenalan dengan Gerakan Aceh Merdeka pimpinan Hasan Tiro.
Beberapa hari setelah pertemuan dengan Abu Muhammad, Farah dipanggil oleh Tgk. Ahyar dan Pak Cek (Saifuddin Yahya). Pak Cek menjabat sebagai panglima Daerah II Aceh Besar, dan Tgk. Ahyar sebagai juru penerangan GAM Aceh Besar. Pertemuan berlangsung di salah satu balai yang terletak di mesjid kampong Ilalang, Indrapuri, kabupaten Aceh besar.
Tidak ada introgasi yang berlebihan ketika bertemu dengan mereka. Rasa akrab terjalin begitu saja. Pokok pembahasan yang membuat Farah begitu bersemangat saat Pak Cek dan Tgk. Ahyar memintanya dan PEREMPUAN Merdeka untuk menampung dan mengajari mantan inong balee yang sudah diberi pelatihan tempur untuk diajarkan ilmu politik dan bergabung dalam organisasi PEREMPUAN Merdeka.
Sejak itu setiap kali PEREMPUAN Merdeka melakukan aksi demonstrasi, para inoeng balee akan ikut serta. Beberapa inoeng balee bahkan menetap di Banda Aceh, di markas PEREMPUAN Merdeka. Di sana PEREMPUAN Merdeka mengajari mereka menganalisa kondisi politik setiap hari. Farah dan kawan-kawan PEREMPUAN Merdeka mewajibkan inoeng balee dan seluruh anggota baru untuk membaca koran setiap hari. Kemudian menulis analisa mereka tentang isi koran tersebut. Mereka harus berdiskusi membahas setiap analisa yang telah mereka tulis. Pembelajaran tersebut berlaku juga untuk seluruh kader di seluruh Aceh.
PEREMPUAN Merdeka juga mengajak mereka turun ke lapangan. Masuk ke desa-desa supaya dapat bersosialiasi dengan masyarakat desa, mengajari mereka berorasi dan pidato politik. Banyak lagi pelajaran-pelajaran yang diberikan.
Selang beberapa hari setelah aksi yang dilakukan PEREMPUAN Merdeka di depan Hotel Kuala Tripa menuntut jeda kemanusian dilanjutkan. Farah kembali mendapat panggilan dari Abu Muhammad Lampoh Awe. Tujuan dari panggilan tersebut hanya menanyakan kesiapan Farah untuk berangkat ke Jenewa dalam rangka melanjutkan dialog damai antara Republik Indonesia dan GAM. Keberangkatan Farah ke Jenewa merupakan perjalanan kedua kalinya Farah ke Eropa. Perjalanan pertama pada tanggal 28 September 2002 sampai tanggal 13 Oktober 2002 dengan destinasi Wustrow, Jerman. Ia menghadiri international training tentang tindakan non kekerasan dalam perang. Ia juga ke Amsterdam sebagai narasumber dalam seminar khusus tentang Aceh yang diadakan oleh lembaga TAPOL International.
Pertemuan di Jenewa, Swiss, pada tanggal 7-9 Desember 2002 difasilitasi oleh Henry Dunant Centre. Pertemuan ini menghasilkan nota kesepahaman berasama antara RI dan GAM atau yang lebih dikenal dengan Casasion of Hostilities Agrement (CoHA). Selain Farah, Kautsar juga mendapatkan undangan untuk mewakili Front Perlawanan Demokratik Rakyat Aceh, Tarmizi MSI dari Forum Rakyat. Tiga orang dari Sentral Referendum Aceh, yaitu Ridwan Haji Muktar, Ruslan Razali, Nasruddin Abu Bakar. Erwanto dan Baihaqi dari Wakampas. Tujuannya untuk memberikan masukan kompenen sipil terhadap kondisi keamanan Aceh secara menyeluruh.
Pada pertemuan tersebut Farah dan teman-teman sipil lain untuk pertama kali bertemu dengan deklarator Aceh Merdeka yaitu Tgk. Hasan Tiro. Ia adalah sosok yang sangat ditakuti oleh NKRI dan diagung-agungkan oleh rakyat Aceh. Di mata Farah, Hasan Tiro adalah sosok yang sangat disiplin, selalu rapi dan bersih, kharismanya sebagai seorang pemimpin terlihat jelas di garis wajahnya. Tegas dan bertanggung jawab. Beliau sangat ramah dan kebapakan.
Setiap pagi sebelum sarapan, Farah selalu diajak masuk ke kamar hotel tempat wali (sebutan untuk teungku Hasan Tiro) menginap. Kamar yang sebenarnya hanya tempat singgah tersebut terlihat seperti tempat yang telah lama disinggahi oleh wali. Barang-barangnya tertata sangat rapi, foto-foto wali bersama anaknya, Karim Tiro, juga foto wali bersama keluarga besarnya yang ber-pose di bawah rumah Aceh terpajang indah di salah sudut meja kamarnya.
Farah juga menemukan pigura dengan foto Laksamana Malahayati terbingkai indah di barisan foto-foto lainnya. Setiap pagi, wali menunjukkan foto-foto kenangan tersebut ke Farah. Beliau memperkenalkan anaknya, keluarga besarnya, bercerita penuh rindu akan kampung halaman. Hal yang paling menarik, beliau selalu bangga menceritakan kisah laksamana Malahayati kepada Farah. Ketika sedang menceritakan kisah Malahayati, terpancar semangat perjuangannya demikian berapi-api. Seakan beliau sedang berkata kepada Farah, “Kamu harus seperti laksamana Malahayati.”
Setelah bercerita, baru wali mengajak Farah turun untuk sarapan. Di restoran hotel teman-teman sipil lainnya telah menunggu, begitu seterusnya sampai hari terakhir untuk kembali ke Aceh tiba.
“Kenangan paling manis yang diberikan wali kepada saya adalah pelukan dan ciuman kasih dari seorang kakek kepada cucunya. Itu terjadi ketika kami berpamitan untuk kembali ke tanah air. Kenangan yang mungkin tidak sembarang anak perempuan bisa mendapatkannya. Pelukan dari seorang tokoh yang begitu dirindui oleh segenap rakyat Aceh. Kenangan yang tak pernah saya lupakan sepanjang hidup saya,” kenang Farah.
Sekembalinya dari Jenewa, Farah dan PEREMPUAN Merdeka intens memantau perjalanan hasil nota kesepakatan damai antara RI dan GAM. Awal 2003, CoHA mulai goyang, mulai ada perselisihan antar perwakilan RI dan GAM di JSC. Prediksi PEREMPUAN Merdeka perjanjian damai akan terancam, sehingga PEREMPUAN Merdeka pun tidak bisa berhenti untuk terus melakukan gebrakan-gebrakan sebagai pengingat agar CoHa diselamatkan.
Perdamaian harus terus berlanjut. Mereka kembali ke jalanan untuk berteriak dan melakukan demonstrasi demi demonstrasi menuntut kedua belah pihak konsisten dalam menjalankan isi CoHA. Hari-hari selalu berbenturan dengan ujung senjata tentara. Demonstrasi terbesar dilakukan PM dengan melibatkan 1000 sampai 2000 orang perempuan yang didatangkan dari Aceh Besar menuju Banda Aceh. Namun tidak semua dari mereka bisa sampai ke Banda Aceh.
Sebagian besar dihadang oleh pihak keamanan Republik Indonesia di jalan Medan-Banda Aceh. Hanya sekitar seribuan perempuan yang bisa mencapai Banda Aceh dan berkumpul di lapangan tugu Darusalam untuk melakukan orasi politik meminta kedua belah pihak menjaga perdamaian. Farah sebagai pimpinan aksi terus mengayomi mereka hingga aksi berakhir.
Tidak cukup dengan demonstrasi besar, Farah dan organisasinya kembali melakukan aksi beruntun di seluruh cabang PEREMPUAN Merdeka. Minggu pertama bulan Febuari 2003, PEREMPUAN Merdeka menggelar aksi di Pidie. Ratusan perempuan dalam balutan khas organisasi dan atribut demonstrsi melakukan longmarch di bawah pimpinan Raida. Ia adalah ketua PEREMPUAN Merdeka Pidie. Sementara PEREMPUAN Merdeka di bawah koordinir Rismawati melakukan longmarch di kota Sigli.
Aksi tersebut ternyata telah tercium oleh aparat kemanan jauh-jauh hari. Ketika demonstrasi terjadi, kota Sigli terlihat senyap. Tidak ada satu toko pun yang buka. Tank milik tentara berjejer di sepanjang jalan, memposisikan PEREMPUAN Merdeka asing dan tidak dapat bergerak kemanapun.
Farah yang baru tiba dari Banda Aceh dengan rencana akan bergabung dengan para demonstran terpaksa kembali ke Banda Aceh saat itu juga. Keberadaannya terus dipertanyakan oleh Polisi dan TNI pada para demonstran. Kondisi mencekam memaksa berhenti di sebuah mushalla pinggir kota. Mereka menunggu seluruh atribut militer dipindahkan dari jalanan kota.
Minggu selanjutnya aksi serupa juga dilakukan di Aceh Utara dan berlanjut ke Aceh Timur.
Walaupun aksi demi aksi dalam bentuk demonstrasi, siaran pers, seminar dan aksi lainnya telah dilakukan oleh elemen sipil di Aceh, nasib CoHa semakin hari semakin mengkhawatirkan. Perdamaian Aceh berada di ujung tanduk. Kondisi yang memposisikan PEREMPUAN Merdeka dan elemen sipil lain di Aceh semakin gerah. PEREMPUAN Merdeka tidak berhenti berteriak. Mereka terus saja bersuara. Demonstrasi demi demonstrasi terus dilakukan
Pada bulan Maret 2003, PEREMPUAN Merdeka kembali menggelar aksi serentak dari Aceh Besar sampai Aceh Timur di kantor JSC kabupaten masing-masing. Isu yang diangkat masih sama, yaitu menuntut perdamain Aceh diselamatkan.
Sebelum status Darurat Militer dihadiahkan untuk Aceh oleh pemerintahan Megawati-Hamzah Haz, PEREMPUAN Merdeka telah melakukan aksi mogok makan sebulan penuh di depan kantor JSC Banda Aceh. Aksi ini melibatkan ratusan perempuan dari seluruh Aceh. Setiap hari ada 100 perempuan yang menghuni kamp.
“Tumbang satu, diganti satu lagi. Tumbang dua, kita ganti dua. Tidak boleh kurang dai 100 orang perempuan setiap harinya. Sebulan penuh kami menghuni tenda biru diikat ala kadar. Ketika angin kencang, kami harus rebut-rebutan tenda dengan angin. Tidak sedikit yang harus mengakhiri aksi mogok makannya di rumah sakit. Terlihat gila. Tetapi kami sangat bahagia,” tuturnya sambil ketawa mengenang masa-masa itu.
Aksi mogok makan berakhir pada tanggal 30 April 2003 setelah mendapat intimidasi dan teror berkali-kali dari aparat keamanan yang memerintahkan untuk segera meninggalkan halaman kantor JSC. Minggu terakhir mogok makan, Farah sudah tidak lagi kelihatan di tenda biru karena ancaman keamanan. Setiap hari aparat kemanan selalu datang mencari dirinya. Tanggung jawab tenda dialihkan kepada Berliana, ia akrab disapa Yana.
Pada tanggal 26 April 2003 pada pukul 14.30 WIB, Farah medapat panggilan dari salah satu tim JSC, Napadon Mungkalaton. Lelaki asal Thailand ini menjabat sebagai verification and special project. Dia menjelaskan bahwa David Golmen dari HDC bersama dengan Jendral Tinongsukn (ketua JSC) telah membuat kesepakatan dengan Bahrumsyah, Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Aceh. Seluruh kantor JSC di seluruh Aceh akan diamankan oleh pihak kemaanan Republik Indonesia, termasuk seluruh tempat penginapan anggota JSC internasional. Jika tenda mogok makan yang berada di area kantor JSC dianggap mengganggu stabilitas keamanan oleh aparat kemanan Republik Indonesia, maka tenda tersebut akan dirubuhkan.
Farah tetap bersikukuh dengan aksinya. Mereka tidak akan berhenti sebelum proses perdamaian mencapai kesepakatan bersama. Harus ada joint council antara kedua belah pihak dan siaga I di Aceh harus segera dihentikan. Tidak ada siaga I dalam kondisi kesepakatan damai sedang berlangsung. Siaga I bagi Aceh adalah wujud pengkhianatan Republik Indonesia atas kesepakatan damai di Aceh.
Seperti kesepakan awal, PEREMPUAN Merdeka hanya melakukan aksi selama 30 hari penuh dan diakhiri tepat pada tanggal 30 April 2003 dalam kondisi Aceh masih siaga I.
Abu Muhammad mengatakan kepada Farah, “Insyaalah dalam beberapa minggu ini, kita akan kembali ke meja perundingan.”
Sore hari tanggal 30 April degan jumlah personil mogok makan yang hanya tersisa 29 orang, sebahagian masih terbaring lemah di Rumah Sakit. Sebahagaian lainnya telah kembali ke kampung halaman dengan doa-doa perjuangan.
Farah dan teman-temannya melipat pelan tenda perlawanan, sambil menyelipkan semangat baru. Ia berkata kepada teman-temannya, “Perlawanan harus terus berlanjut.”
Lebih kurang sepuluh hari setelah aksi mogok makan berakhir, Abu Muhammad Lampoh Awe kembali memberi angin bahagia kepada PEREMPUAN Merdeka.
“Farah tulong intat paspor jino laju u Kuala Tripa, tanyo akan taduk berundeng lom. (Farah, tolong antar paspor sekarang juga ke kuala tripa, kita akan kembali berunding).” Suara tua nan tegas memerintah dari telepon seluler milik Farah.
Pada tanggal 16 Mei 2003, rombongan perunding yang terdiri dari Abu Muhammad Lampoh Awe, Amni Bin Marzuki, Nasruddin Bin Ahmad, Sofyan Ibrahim Tiba, Teuku Kamaruzzaman, dan Amdi Hamdani berangkat ke Tokyo untuk berunding. Termasuk Cut Farah Meutia dan Erwanto sebagai perwakilan dari elemen sipil.
Sebelum berangkat ke Hotel Kuala Tripa pada pukul delapan pagi, telepon selulernya berdering. Mereka hendak berangkat bersama rombongan ke Bandara Sultan Iskandar Muda. Abu Muhammad menelepon tidak seperti biasa. Tanpa salam dan terkesan sangat buru-buru .
Abu Muhammad berbicara dengan hati-hati, “Farah dan Erwanto jak langsong u bandara. Bek lee singgah di Kuala Tripa. Kamo ka di kepung dan ka dithen han dibi berangkat lee tentra. (Farah dan Erwanto langsung saja ke bandara. Jangan singgah lagi ke Kuala Tripa. Kami dikepung tidak diizinkan berangkat oleh tentara)”
Dengan perasaan tidak menentu, Farah menuju bandara dengan mobil toyota Soluna milik LBH Banda Aceh yang dikemudikan oleh Tarmizi. Ia masih menjabat sebagai ketua Forum Rakyat (FR).
Di bandara, salah satu utusan HDC telah menunggu. Dialah yang megurus seluruh administrasi perjalanan Farah dan Erwanto. Tiba di Jakarta, Farah dan Erwanto belum mendapat kepastian. Apakah akan ke Tokyo atau kembali pulang ke Aceh. Hampir seharian Farah dan Erwanto menunggu keputusan akan kepastian untuk berangkat atau kembali ke Aceh.
Ketika detik-detik keberangkatan, para juru runding di Kuala Tripa memerintahkan Farah dan Erwanto untuk berangkat ke Tokyo dengan harapan esok harinya mereka bisa bebas dan dapat meyusul.
Dalam keadaan gamang, Farah mencoba bertanya kepada Irwandi Yusuf yang berada di Jakarta lebih dulu. Irwandi Yusuf bersama temannya bernama Alex. Ia bertugas membuat konsep-konsep untuk para juru bicara GAM. Bahkan pernah berbicara atas nama Sofyan Daud, juru bicara GAM.
Farah bertanya, “Kiban tajak berundeng. Juru rundeng hana dibi jak, (Bagaimana kita berunding. Sedangkan juru runding tidak diberi izin untuk hadir)”
Setengah emosi Tgk. Agam (panggilan akrab GAM kepada Irwandi Yusuf) menjawab, “Pu cit na kah ngen apa?! (Jadi untuk apa kamu?!)” Apa adalah sebutan untuk Zakaria Sama yang lebih dikenal dengan Apa Karya Sama.
Farah terdiam dan melangkahkan berangkat ke Tokyo.
Pada tanggal 17 Mei, Farah dan Erwanto tiba di Tokyo. Keduanya telah ditunggu oleh Malik Mahmud, Zaini Abdullah, Bakhtiar Abdullah, Nur Djuli, dan Zakaria Saman di Tokyo.
Farah hanya diberi kesempatan menyimpan tas pakaian di kamar yang telah ditunjuk. Selanjutnya langsung masuk ke dalam pembahasan perundingan, tidak ada waktu untuk istirahat dan melepaskan penat setelah enam jam terbang dari bandara Soekarno Hatta ke bandara Narita. Pukul 12 malam waktu Tokyo, Farah baru bisa istirahat. Keesokan harinya, agenda perundingan dimulai. Tidak ada jeda. Ketegangan demi ketegangan terus saja berlangsung.
Awalnya pihak GAM tidak mau berunding karena juru runding tidak hadir. Zaini Abdullah, Malik Mahmud, Karya Saman, Nur Djuli, Baktiar Abdullah meminta perundingan di tunda sampai ada keputusan juru runding dari pihak GAM dibebaskan dan dapat hadir ke meja perundingan.
Usaha demi usaha terus dilakukan, namun tidak juga ada titik terang. Para perunding tetap tidak dibebaskan. Pihak RI ngotot perundingan harus terus beranjut. Dalam kondisi mendesak dan tidak ada yang mewakili perunding dari Aceh, akhirnya Farah dan Erwanto yang awalnya hadir sebagai pengunjung biasa mendadak harus berubah posisi menjadi juru runding dari pihak GAM.
Setelah penunjukan itu selelsai, maka perundingan dilanjutkan. Di tengah perjalanan, masalah baru mencuat, RI tidak mau menerima draft perundingan dari pihak GAM. Mereka ngotot GAM harus menerima draft dari RI.
“Ini bukan perundingan namanya, tetapi pemaksan kehendak,“ kata Nur Djuli.
Perundingan Tokyo sangat berbeda dengan perundingan CoHA. Perundingan CoHA penuh dengan rasa humanis. Nyata ada niat baik dari kedua belah pihak untuk menyelesaikan perdamaian Aceh. Pada perundinga Tokyo kondisi tersebut sama sekali tidak berlaku, bahkan pihak RI dan GAM tidak sempat bertatap wajah, bahkan di ruang jamuan makan sekalipun. Hanya pihak HDC yang mondar mandir dari ruangan pihak GAM menuju Ruangan pihak RI dan sebaliknya. Mengambil draft dari pihak RI, menyerahkan ke pihak GAM, sedangkan pihak RI sama sekali tidak mau menerima draft dari pihak GAM.
Malam semakin larut. Perundingan belum juga mencapai kata sepakat. Rasa letih mulai hinggap di wajah para perunding GAM. Dengan kondisi kecewa karena para perunding dari Aceh tidak bisa hadir, ditambah rasa haus dan lapar karena setelah makan siang, hampir tengah malam delegasi GAM baru dijamu makan malam kembali.
Setelah makan malam selesai delegasi dari GAM duduk berembuk mencari solusi. Mereka berdiskusi mencapai keputusan yang akan menentukan nasib Aceh beberapa tahun mendatang. Menerima otonomi, Bubarkan GAM, Kembali dalam NKRI seperti yang ditawarkan dalam draft delegeasi RI atau menolak dengan konsekuensi besar yaitu Darurat Militer yang akan dihadiahkan oleh Republik Indonesia untuk Aceh.
Wajah-wajah yang sebelumnya sudah semerawut semakin kacau. Hanya harga diri yang masih mereka miliki.
“Menye meneurot lon, hana jet terimemng otonomi, prang kakeh prang, ata cit ka tameuprang dari jamen ken, lon jioh-jion lon jak keno dari Aceh ken lon jak terimeng otonomi bak NKRI, tanyo ken biek pengkhianat, (menurut saya, tidak boleh terima otonomi, perang biar saja perang, dari zaman dulu kita selalu berperang, saya datang kemarai jauh-jauh bukan untuk menerima otonomi, kita bukanlah keturunan para pengkhianat)” Suara Apa Karya memecahkan keheningan.
Tidak ada jawaban, suasana masih saja hening.
Tiba-tiba salah satu anggota HDC kembali masuk ke ruangan delegasi GAM menanyakan kesiapan dan jawabaan atas tawaran dari delegasi RI.
“Beri kami waktu 10 menit lagi” Malik Mahmud meminta kepada perwakilan HDC. Kemudian staf perwakilan HDC keluar meninggalkan ruangan delegasi GAM.
Sambil menarik nafas panjang malik mahmud bertanya, “Pat tamita logistik menye tamuprang, masyarakat yang hana salah akan jet ke korban, pat tamita aneuk bude, pat tamita bude, makanan, ubat, dll, sedangkan geutanyao hana peng, (Di mana kita akan mencari logistik, jika kita memutuskan untuk perang, masyarakat tak bersalah akan menjadi korban, peluru, senjata, makanan, obat-obatan dari mana akan kita dapat, sedangkan kita tidak memiliki sumber dana).”
Suasana kembali senyap. Beberapa saat kemudian, Apa kembali buka suara, “Nyoe keputusan na bak si Erwanto ngen si Farah, awak nyan dua perunding yang teka dari Aceh, jino bak jaro droe keuh mandum Farah. Pu kanek suot entek wate ditanyeng, dro keh dari sipil yang akan menentukan perang atau otonomi. (Keputusan ini ada di tangan Erwanto dan Farah selaku perunding yang langsung datang dari Aceh, terserah Farah mau jawab apa, kalian dari sipil yang akan menetukan Aceh perang atau otonomi).”
Farah yang masih diam kaget mendengar omongan Apa karya, dalam kepalanya hanya terpikir kalau saat itu dirinya sedang dikorbankan.
“Karena keputusan dimandatkan ke tangan saya, maka posisi saya seperti simalakama, jika saya mengatakan otonomi, maka saya akan di klaim sebagai pengkhianat seumur masa oleh GAM dan juga rakyat Aceh. Jika saya mengambil keputusan untuk berperang, tentunya itu bukan kapasitas saya, saya hanya seorang perempuan di luar barisan GAM, bukan pun sebagi inoeng balee apalagi sebagai panglima GAM. Apa kewenangan saya? Pastinya rakyat Aceh akan menjadi korban atas perang yag berlangsung, sedangkan saya sama sekali tidak ikut dalam pertempuran, jika GAM marah dan Rakyat Aceh marah atas keputusan yang akan saya ambil. Maka resiko paling kecil yang harus saya terima, saya tidak akan bisa kembali lagi ke Aceh untuk selamanya”.
Suasana masih mencekam. Satu persatu para petinggi GAM yang datang dari Swedia mulai meninggalkan ruangan. Di mulai dari dr Zaini Abdullah, disusul oleh Malik Mahmud, Bakhtiar Abdullah dan Apa Karya. Tinggal Farah, Erwanto dan Nur Djuli di dalam ruangan. Mereka saling diam, tidak ada canda apalagi tawa. Selang beberapa menit, HDC masuk ke ruangan. Dia langsung bertanya kepeda Nur Djuli. Nur Djuli menunjuk Farah dengan Erwanto.
HDC mengalihkan pertanyaan kepada Erwanto. Erawanto menunjuk Farah. Farah tidak tau akan menunjuk siapa lagi. Hanya rasa bimbang yang tersisa.
Sambil menarik nafas sedalam-dalamnya, menenangkan diri, memohon petunjuk Ilahi, “Semoga keputusan ini adalah yang terbaik.”
Farah mengambil sikap. Dengan sekali ucap dia pun berkata, “Kita siap untuk berperang dengan NKRI sampai kapanpun.”
Utusan HDC tiba-tiba terdiam, menilik wajah Farah dengan detil. Mungkin di luar perkiraannnya seorang perempuan belia berani mengajak perang dengan NKRI. Ia bertanya dengan kebingungan, “Benar apa yang kamu katakan?”
“Benar!” Farah menjawab mantap.
Perwakilan HDC memberi jeda sejenak, “Tolong kamu pikirkan kembali.”
Farah menjawab lagi, “Kami siap berperang dengan NKRI sampai kami mati.”
Setelah itu perjanjian damai berakhir. Diakhiri oleh lidah perempuan muda berusia 22 tahun.
Tepat pada tanggal 19 Mei 2003, pukul 12 malam, Megawati selaku presiden Republik Indonesia melalui Menkopolhukam mengumumkan status Darurat Militer untuk Aceh. Saat itu Bambang Susilo Yudhoyomo (SBY) menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Kemanan (Menkopolhukam).
Malam itu tidak ada kata terlelap. Telepon dari Aceh tidak berhenti bordering. Orang-orang di Aceh mempertanyakan keputusan apa yang telah diambil. Sementara dari luar ruangan terdengar suara tangisan kekecewaan dari Malik Mahmud.
Dalam detik itu, status Farah dan Erwanto berubah dari sipil yang bebas menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO). Perundingan gagal, delegasi GAM bersiap untuk pulang. Sedangkan Farah dan Erwanto sudah kehilangan negeri untuk kembali. Para juru runding di Kuala Tripa pun ditahan. Mereka kemudian dibuang ke tahanan di Pulau Jawa.
Tidak ada yang marah dan kecewa dengan keputusan perang yang telah keluar dari mulut Farah. Ada pepatah Aceh mengungkapkan, “Dari pada singet lebeh get roe.” Dalam bahasa Indonesia berarti, “Dari pada miring, lebih baik tumpah sekalian.” Dalam kasus ini bermakna, “Daripada otonomi lebeh get prang” atau “Dari pada otonomi lebih baik perang.”
Zaini dan kawan-kawan memutuskan mengirim Farah dan Erwanto untuk ke Eropa. Erwanto menyetujui keputusan tersbut, tetapi tidak dengan Farah. Dia bersikukuh untuk kembali ke Aceh. Kalau pun tidak bisa menginjakkan kaki kembali ke Aceh, minimal ke Indonesia. Sikap Farah tersebut membuat berang Zaini. Tidak ada izin untuk Farah agar bisa kembali ke Aceh.
Irwandi yang terus menjalin komunikasi dengan Zaini dan kawan-kawan selama di Tokyo mencari solusi bagi Farah. Farah memohon kepada Irwandi agar mau membujuk Zaini dan kawan-kawan agar memberi izin untuk Farah kembali ke Aceh. Irwandi berhasil melakukannya.
Sambil menunggu tiket dan pengurusan visa untuk Erwanto dan Farah, keduanya menumpag di rumah salah seorang sahabat kemanusian asli Jepang. Natsuko adalah pendiri Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) JARI di Aceh Utara. JARI sebuah LSM khusus yang menangani korban Daerah Operasi Militer (DOM).
Selama berada di rumah Natsuko, beberapa wartawan Jepang datang mempertayakan hasil perundingan yang telah terjadi antara GAM dan RI. NHK Jepang menyiarkan hasil wawancara Erwanto dan Farah di saluran mereka.
Kedatangan para wartawan untuk bertemu Farah dan Erwanto mempersulit keduanya tinggal lebih lama di Tokyo. Setelah seminggu berada di rumah Natsuko, mereka harus segera pergi meninggalkan Tokyo. Pemerintahan Jepang meminta Erwanto dan Farah segera meninggalkan Tokyo. Melalui Natsuko, pemerintah jepang meminta keduanya untuk keluar dengan alasan tidak mau negaranya disusupi isu politik Aceh dan Indonesia.
Pada tanggal 23 Mei 2003 Farah dan Erwanto berpisah. Erwanto memilih terbang ke Eropa dengan tujuan Belanda. Sedangkan Farah memilih kembali ke Indonesia dengan harapan bisa meginjakkan kaki kembali ke tanah Aceh.
Dari bandara internasional Narita ia terbang ke bandara Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Tgk. Mahmud dan Tgk. Tahe sudah menunggu Farah. Tgk. Mahmud adalah abang ipar dari Muzakir Manaf, panglima GAM. Tgk. Tahe dan Tgk. Mahmud merupakan bagian dari para petinggi GAM di Malaysia.
Setelah terdata sebagai DPO, maka Farah butuh cara tersendiri untuk bisa kembali ke Indonesia. Kemungkinan lolos dari pantauan imigrasi Indonesia sangat mustahil.
Di KLAI Teungku Mahmud dan Tgk. Tahir berembuk menjaci jalur yang paling aman untuk Farah. Setelah memilih beberapa jalur yang direkomendasikan, jalur Kuala Lumpur-Kuching-Sarawak-Pontianak menjadi pilihan.
Sebelum Farah berangkat, Tgk. Mahmud menelepon Irwandi dan memberitahukan jalur yang akan ditempuh Farah kembali ke Indonesia. Irwandi meminta Alex menjemput Farah di perbatasan Pontianak dan Sarawak.
Farah terbang ke Kuching senja itu. Pada tanggal 23 Mei 2003, ia mendarat di L.T Kuching Sarawak. Ia hanya memiliki satu bagasi dan satu ransel di punggung. Farah keluar dari pengecekan imigrasi tanpa rasa takut dan was-was. Berjalan seperti penumpang kebanyakan, seakan perundingan Tokyo dan status dirinya sebagai DPO tidak pernah terjadi.
Farah menawar taxi dan mengatakan kalau dirinya butuh taxi yang mau mengantarkannya ke Sarawak. Ternyata tidak butuh waktu lama untuk menemukan kendaraan berupa sebuah minibus VAN dengan seorang sopir keturunan Tionghua yang berusia sekitar 50-an tahun. Ia bersedia bersedia mengantarnya ke Sarawak, yaitu perbatasan antara Malaysia dan Indonesia. Butuh waktu lebih kurang delapan jam perjalanan dari Kuching ke Sarawak.
Farah tidak pernah menyangka kalau sepanjang perjalanan dari Kuching ke Sarawak sangat sepi, tidak ada rumah penduduk sepanjang jalan. Jalur jalan dipenuhi pepohonan sawit. Persis seperti jalan menuju Pulau Tiga, Aceh Tamiang. Bedanya jalan menuju Sarawak beraspal dan mobil melaju tanpa hambatan.
Dalam perjalanan si sopir banyak bertanya tentang Farah. Awalnya dia berpikir kalau Farah adalah TKW yang lari dari rumah majikan. Walaupun harus menempuh jarak delapan jam, namun dia tetap bersedia mengantarkan Farah ke Sarawak.
“Sudah menjadi pekerjaan saya mengantar perempuan dan budak-budak Indon yang lari dari majikannya. Kasihan mereka, orang-orang miskin yang papa. Saya tidak bisa membantu dengan cara lain, hanya bisa membantu mereka kembali ke negaranya dengan cara seperti ini,” sopir itu bercerita panjang lebar tentang kebaikan hatinya.
Keduanya bercerita panjang lebar dan terlalu banyak. Farah mulai jujur dengan si sopir. Setengah berkampanye, Farah menjelaskan tentang Aceh, perang , dan kenapa dirinya harus pulang sebagai seludupan ke Indonesia.
Mendengar cerita Farah, si sopir semakin bersemangat. Perjalananan panjang yang mencekam mulai terasa nyaman. Farah tetap mawas, kepercayaan akan dirinya kepada sopir belum begitu tulus.
Setelah menempuh perjalanan panjang, Farah tiba di Sarawak tengah malam buta. Si sopir mengantarkan Farah ke sebuah penginapan yang sangat sederhana. “Di sini saya biasa menginapkan para budak-budak dan perempuan Indon yang akan kembali ke kampungnya.” Ia bercerita sambil berjalan menenteng bagasi Farah menuju penginapan.
Melihat si sopir datang dengan seorang anak perempuan, resepsionis langsung menyapa dalam bahas melayu dialek Sarawak.
“Dari mana ini, kek?” tanya resepsionis. Ia dipanggil kakek karena usianya yang sudah lanjut.
“Panjang ceritanya” jawab sang sopir.
Resepsionis menyerahkan satu kunci kepada si sopir. Si sopir memberikannya kepada Farah. “Ini kunci kamar kamu. Langsung saja kamu ke atas,” si sopir menunjuk ke sebelah kanan tangannya di lantai dua.
Sebelum masuk ke kamar si sopir berpesan, “Besok pagi jam empat kamu sudah harus bangun. Kita harus melanjutkan perjalanan menuju perbatasan. Kita butuh waktu dua jam perjalanan untuk tiba di perbatasan. Sebelum jam enam pagi. Kamu sudah harus masuk ke Indon. Pada jam tersebut orang-orang Indon yang bermukim di perbatasan akan keluar masuk Sarawak-Indon. Mereka datang untuk bekerja dan berbelanja, kondisi ini harus kamu manfaatkan agar petugas imigrasi tidak mencurigai kamu. Nanti saya juga akan ingatkan respsionis untuk membangunkan kamu agar tidak terlambat. Istirahat yang cukup, besok kamu akan berjalan lebih jauh lagi dari Sarawak ke Pontianak.” Dengan diale China Malaysia si sopir berpesan penuh perhatian.
Resepsionis dan para karyawan lain di penginapan itu sangat dekat dengan sopir yang membawa Farah. Malam semakin larut, Farah tidak begitu peduli dengan suasana hotel tersebut. Dalam kepalanya, dia harus bisa tiba di Pontianak dengan selamat.
Malam itu terasa sangat panjang, matanya tidak bisa terpejam. Rasa was-was kembali hinggap. Ia berdoa sepanjang malam, semoga perjalanannya akan aman hingga tiba di tujuan. Dalam tarikan nafas Farah mengenang doa-doanya ketika dalam pelarian.
Tepat jam empat pagi, Farah bangkit dari tidurnya. Ia bersiap untuk turun dan melanjutkan perjalanan. Sementara di lobi, sopir itu telah menunggu. Farah menyerahkan kunci kamar kepada resepsionis sambil membayar hotel dan mengucapkan terimakasih serta selamat tinggal.
“Selamat jalan, kakak. Hati-hati, semoga sampai di tujuan,” resepsionis membalas ucapan selamat tinggal Farah dengan ketulusan doanya. Farah meyakini kalau para petugas di penginapan telah mendengar cerita dari sopir tentang perjalanannya. Semua petugas hotel melepas kepergiannya dengan doa.
Perjalanan ditempuh lebih kurang selama dua jam. Farah tiba di perbatasan. Sebuah bangunan sederhana dengan atap berwarna biru yang diapit pagar kawat berduri.
“Sekarang kamu tunggu di sini. Saya akan masuk ke imigrasi sebelah Malaysia untuk bertemu dengan teman saya supaya mereka bisa mengeluarkan kamu dari Malaysia ini. Mana paspor kamu? Saya akan meminta petugas imigrasi memberikan stempel tanda keluar dari Malaysia. Jangan keluar dari van ini, ya. Tunggu sampai saya kembali,” sopir van mengingatkan Farah sambil meninggalkan van.
Tidak sampai setengah jam, sopir itu kembali dengan paspor Farah yang sudah terstempel keluar dari Malaysia. Dari kejauhan Farah dapat melihat masyarakat di sekitar lalu lalang. Keluar masuk Sarawak, seakan tidak ada batas negara yang harus mereka lewati walau jalur keluar masuknya harus melalui meja petugas imigrasi.
Setelah mendapatkan paspor kembali, Farah keluar dari van berjalan menuju imigrasi Indonesia yang letaknya bersisian dengan imigrasi malaysia.
“Tas dan barang-barang kamu saya yang bawa, kamu tidak perlu bawa apa-apa. Kamu harus antri di belakang para pengantri lainnya. Kebanyakan yang sedang mengantri itu merupakan warga negara Indon yang baru datang dari Sarawak untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Mereka tidak membawa paspor. Begitupun kamu, tidak perlu menunjukkan paspor kamu. Kalau kamu tunjukkan paspor, mereka akan curiga. Kamu baru datang dari Tokyo, bisa-bisa kamu akan ditahan oleh petugas imigrasi. Kalau petugas imigrasi tanya, bilang saja baru pulang dari pasar. Kalau tidak ditanya apa-apa, kamu langsung saja keluar dari bangunan biru itu. Saya menunggu kamu di luar. Di sebelah Indonesia.” Sopir memberi petunjuk dan berjalan menuju sebelah timur bangunan yang akan dilewati Farah bersama barang-barangnya.
Begitu keluar dari gedung yang beratap biru, sopir sedang duduk menunggu dengan koper baju dan ransel milik Farah di sampingnya. “Sekarang kamu sudah berada di Indon. Semoga selamat sampai ke Aceh. Saya pamit untuk kembali ke Kuching”.
Farah mengeluarkan uang 200 RM dan menyerahkannya kepada sopir tua yang telah mengantarkannya sampai ke tanah air.
“Terimakasih. Ini sudah terlalu banyak untuk saya. Biasanya saya hanya menerima 50 RM untuk sekali antar. Bahkan pernah tidak mendapatkannya sama sekali,” kata sopir penuh rasa gembira.
Penjelasan detil sopir menunjukkan kalau dirinya sudah terbiasa dengan pekerjaan tersebut. Pekerjaan ilegal yang sangat memanusiakan manusia, seperti membatu TKW yang melarikan diri dari majikan. Mereka bahkan tidak memiliki dokumen apapun tentang diri mereka walau hanya selembar KTP sebagai tanda identitas diri. Berkat sang sopir, banyak dari mereka bisa selamat dan dapat berkumpul kembali dengan orang-orang terkasih.
Tidak jauh dari tempat Farah dan sopir berdiri, Alex melambaikan tangannya. Di perbatasan antara Malaysia dan Indonesia Farah berpisah dengan sopir taxi beretnis Tionghua yang memiliki hati yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan. Farahpun kembali melanjutkan perjalannya panjangnya.
Alex datang langsung dari Jakarta untuk menjemput Farah. Sejak Farah berangkat ke Tokyo, Alex dan Irwandi selalu bersama. Mereka terpisah ketika Alex pergi menjemput Farah ke Sarawak.
Sambil menyesali diri Farah bergumam, “Sayang sekali, saya lupa menanyakan namanya. Sepanjang perjalanan saya hanya memanggilnya dengan sebutan uncle.”
Farah tidak mau membuang-buang waktu, ia bergegas menuju taxi yang dipakai Alex dan seorang sopir bernama Hendra dari Pontianak ke Sarawak. Setelah semua barang masuk ke bagasi, taxi itu memutar haluan untuk kembali ke Pontianak. Butuh waktu sekitar 16 jam dari Sarawak ke Pontianak dengan jalur darat. Sungguh perjalanan yang melelahkan. Bukan lamanya perjalanan yang membuat ia lelah, tetapi status sebagai DPO.
Ini kali kedua Farah di Pontianak. Kedatangan pertama pada tanggal 1-8 April 2002 untuk menghadiri seminar yang bertemakan “HAM dan kebijakan untuk masyarakat adat” yang diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), diselenggarakan oleh Institute Dayakologi dan SAMIRRADDI di Hotel Kapuas, Pontianak.
Benarlah apa kata masyarakat Dayak dalam sebuah pertemuan silaturahmi antara para peserta seminar dengan tetua-tetua adat Pontianak ketika itu, “Jika saudara telah meminum air sungai kapuas sekali saja, maka saudara akan meminumnya untuk kedua kalinya.”
Pepatah tetua adat terbukti. Sekarang Farah sedang menuju Pontianak dan akan meneguk air sungai kapuas untuk kedua kalinya.
Sepanjang perjalanan pemandangan hanya hutan belantara dengan jalan tidak semulus aspal di negeri jiran. Perjalanan Farah semakin lama dan melelahkan. Belum habis cerita tentang Jakarta dan kondisi teman-temam yang sedang Farah bicarakan dengan Alex, tiba-tiba telepon seluler Alex berdering. Sambil membaca nama panggilan di layar ponsel, Alex bergumam, “Kita sedang berada di kawasan yang memiliki sinyal telepon.”
Sofyan Daud waktu itu menjabat sebagai juru bicara GAM wiayah Pasee. Ialah yang menelepon Alex. Suara sofyan daud terdengar samar, “Pat kah, tengku Agam ka I drop (Kamu dimana, Tgk. Agam sudah tertangkap).” Tengku Agam adalah nama lain untuk sebutan Irwandi Yusuf.
“Pajan I drop, lon di sarawak nyoe kujak tung si Farah, nyoe teungeh kubalek u Pontianak, (Kapan ditangkap, saya lagi jemput Farah ke Sarawak. Sekarang lagi dalam perjalanan kembali ke Pontianak)” Alex memberi informasi.
“Kubi thee manteng, beulehen nyan, bek kabalek ilee u Jakarta (Saya kabari saja. Hati-hati. Untuk sementara jangan kembali ke Jakarta dulu),” Sofyan Daud berpesan kepada Alex.
Setelah telepon ditutup, Alex bergumam sambil mendesah panjang, “Tidak mungkin kita tidak kembali ke Jakarta. Saya hanya membawa dua pasang baju, selebihnya ada bersama Irwandi.”
Kegalaun kembali menghapiri mereka. Jika Irwandi ditangkap, otomatis orang yang selalu bersamanya akan menjadi target. Orang itu adalah Alex. Farah sangat merasa kehilangan, awalnya dia kembali ke Indonesia berharap setidaknya ada Irwandi sebagai orang tua dalam barisan GAM yang masih bisa dia gantungkan harap selama dirinya dalam pelarian. Tetapi takdir Tuhan berkehendak lain.
Dengan rasa kesal Alex bicara sendiri, “Kop batat teungku Agam nyan. Kalheuh ta peugah tayu minah dari rumah Shadia, kreuh ulee, ka geminah, na gejak balek lom kenan, can meramah teh mandum nyo. Tajak cok si nyo idrop si jeh, baro dua uro takubah kaidrop geh. (Bandel sekali teungku Agam itu. Sudah saya ingatkan untuk pergi dari rumah Shadia, masih saja keras kepala, sudah pindah, maunya kembali lagi ke situ, kita selamatkan si ini, kena tangkap si itu, baru dua hari ditinggal sudah ditangkap)”
Berita tertangkapnya Tgk. Agam mengubah perjalanan terasa semakin semakin jauh. Mereka harus mengatur strategi baru dalam detik itu juga untuk bisa selamat dari amukan Republik Indonesia.
Lebih kurang enam jam sudah mereka dalam perjalanan berjalan. Matahari mulai meninggalkan peraduan di sambut bulan yang temaram. Dalam remang-remang malam, Hendra mengingatkan Farah dan Alex, “Nanti kalau ada orang yang keluar dari hutan, kalian diam saja. Jangan megeluarkan suara”.
Farah bertanya karena penasaran, “Memangnya kenapa? Siapa orang yang akan keluar dari hutan itu?”
“Mereka penghuni hutan ini. Suku Dayak asli yang belum bersosialisasi dengan dunia luar. Belum bisa Bahasa Indonesia dan belum mengenal pakaian” Hendra menjelaskan.
Farah paham.
Tidak lama setelah Hendra menjelaskan tentang keberadaan suku asli Kalimantan tersebut, dari jarak satu meter telah terlihat tiga sosok manusia tanpa busana berdiri menghadang laju taxi secara tiba-tiba.
Ketika taxi berhenti, mereka mendekat. Hendra yang sudah terbiasa menghadapi lakon mereka langsung membuka kaca taxi-nya. Sambil berbincang dengan bahasa isyarat, Hendra menyerahkan sebungkus rokok yang sudah dipersiapkan sebelum berangkat ke Sarawak. Walaupun Hendra bersuku Dayak, tetapi dia juga tidak bisa bahasa suku asli yang baru saja menjadi tamu mereka.
Ketika melihat rokok, mereka mundur teratur meyelinap kembali ke hutan belantara dengan riuh bahasa yang tidak dapat dimengerti.
Taxi yang ditumpangi Alex dan Farah memasuki kota Pontianak pada tengah malam. Mereka tinggal Hotel Kapuas, hotel ini menjadi tempat singgahan Farah dan Alex sementara waktu sambil berfikir akan kemana esok harinya.
Alex memesan satu kamar tidur. Setelah semua urusan administrasi selesai, Alex mengantarkan Farah ke kamar dan dia pergi entah kemana.
“Singeh bengeh ta merempok bak lobi, (Besok pagi kita bertemu di lobi)” Alex berpesan kepada Farah.
Malam itu terasa singkat sekali, karena rasa lelah, Farah terkapar bagaikan seoonggok mayat, hanya sempat menyikat gigi dan mencuci wajah demi melaksanakan Shalat Isya. Tidak sempat membersihkan diri, walau hanya dengan sedikit bilasan air saja. Ia terjaga ketika matahari hampir meninggi. Setelah membersihkan badan, berganti pakaian yang sudah dua hari dua malam sejak dari Tokyo dipakainya, Farah turun menuju lobi hotel untuk bertemu dengan Alex seperti janjinya semalam.
Di lobbi hotel Alex sudah menunggu. Ketika melihat Farah keluar dari lift, dia langsung berdiri dan mengajak Farah ke restoran. Saat menikmati sarapan, Alex bercerita, semalam dirinya pergi keluar hotel, mengecek semua saldo di beberapa ATM. Rencana dia akan memindahkan isi rekeningnya ke rekening temannya yang lain.
Dia sangat yakin barang-barangnya yang ditinggal bersama teungku Agam turut diboyong untuk dijadikan barang bukti oleh polisi, seperti buku rekening, paspor, STNK mobil, dan lain-lain. Termasuk pakaiannya.
Keyakinan Alex akan barang-barang tersebut benar. Saat dia ke ATM dengan hajat ingin memindahkan semua isi rekeningnya yang berjumlah ratusan juta bahkan hampir mencapai angka satu milyar tersebut ternyata telah di blokir oleh kapolri.
Begitu kartu ATM dimasukkan ke dalam mesin ATM, di layar monitor keluar tulisan yang sangat luar biasa dan tidak biasa. Sepertinya tulisan demikian biasanya hanya berlaku untuk para mafia kelas atas, “Rekening ini telah diblokir, segera hubungi kapolri”
Wajar saja polisi curiga dengan rekening tersebut, seorang pejuang Aceh Merdeka bisa memiliki saldo yang demikian besar adalah sesuatu hal yang sangat mustahil. Apalagi dalam keadaan perang seperti ini. Uang tersebut sesungguhnya adalah uang milik Gerakan Aceh Merdeka yang ditransfer ke rekening Alex oleh bendahara dan panglima GAM. Uang itu dipakai untuk membeli logistik. Alex adalah orang yang ditugaskan untuk mencari logistik oleh panglima.
Alex hanya bisa menyelamatkan saldo di Bank Negara Indonesia (BNI) sebelum seluruh ATM-nya diblokir. Alex memaparkan pada Farah, “Sekarang kita tinggal di Pontianak dulu sampai mendapat kabar dari Irwandi. Kita tidak bisa bergerak ke mana-mana sebelum mengetahui kondisi Irwandi dan apa saja yang sudah Irwandi ceritakan kepada polisi tentang kita”
Karakter Alex sangat tenang, seolah ia orang tanpa dosa. Tidak ada yang akan percaya jika Alex seorang mafia senjata. Setiap langkahnya adalah teka teki, lirikannya adalah strategi. Farah tidak pernah tahu di mana Alex menginap. Bagaimana Alex menghabiskan malam-malamnya di Pontianak. Bahkan apa yang dilakukannya.
Hari ketiga di Pontianak, Alex mendapat telepon dari nomor yang tidak dikenal. Alex memandang nomor yang tiba-tiba muncul di layar ponselnya. Sudah berulang kali telepon berdering, baru dia mengangkat telepon dari nomor tidak dikenal itu. Awalnya dia ragu untuk mengangkat. Saat-saat seperti itu tidak sembarang telepon bisa diangkat kalau tidak jelas identitasnya. Salah satu cara polisi mendeteksi para buronan dari GAM melalui jalur telepon. Mungkin hal serupa juga berlaku pada saat penangkapan teungku Agam.
“Nyoe long. Teungku Agam,” terdengar suara di seberang buru-buru.
“Kiban ka droe neuh? Pu ka neu peugah dum? (Bagaimana kondisi Anda? Apa saja yang sudah Anda ceritakan tentang kami?)” Alex langsung bertanya pada inti perkara.
“Tidak saya katakan apa pun. Kamu menjadi target utama di Jakarta. Mereka menjumpai foto kita berempat. Si Bili, kamu, saya, mualem. Saya bilang kalau kamu itu yang nge-rental mobil untuk saya dan Si Bili. Bili adalah sebutan untuk William nesson. Untuk sementara kamu aman, tetapi jangan terlalu sering ke Jakarta,” Irwandi menjelaskan kondisi mereka dalam bahasa Aceh pada Alex. Ia menelepon dari Polda Metro Jaya dan menyebut dua nama samaran. William Nesson yang dikenal dengan si Bili dan Muzakir Manaf yang akrab disapa dengan Muallem
Ponsel yang digunakan oleh Irwandi Yusuf untuk menelepon Alex diantar oleh adik perempuannya berprofesi sebagai guru di Serpong, Jakarta. Setelah mendapat kabar dari teungku Agam, barulah Alex dan Farah sedikit lega. Alex langsung mem-booking tiket pesawat untuk kembali ke Jakarta.
Tiba di Jakarta, hotel bukan lagi tujuan Farah dan Alex. Pasca tertangkapnya Irwandi, semua hotel tidak aman untuk Alex. Menurut kabar yang diperoleh dari Irwandi, seluruh hotel tempat Alex dan Irwandi menginap juga telah didatangi oleh aparat keamanan. Begitupun mall-mall tempat mereka sering nongkrong. Termasuk tempat-tempat lain yang sering mereka singgahi. Semua-nya sudah masuk dalam catatan aparat keamanan.
Dalam kondisi darurat seperti itu, kawan adalah satu-satunya solusi. Hari itu Alex dan Farah langsung menuju pasar minggu untuk bertemu seorang karibnya yang bernama Nazar. Nazar dikenal dengan panggilan Abu Rayeuk. Setelah lebih kurang satu jam bercakap dengan Abu Rayeuk, ketiganya meninggalkan Pasar Minggu. Mereka menuju Depok. Di sana Abu Rayek membawa Farah dan Alex ke rumah temannya. Abu Rayek hanya menitipkan Farah. Sedangkan Alex dan Abu Rayek pamit entah kemana.
Lebih kurang seminggu Farah tidak bisa berkomunikasi dengan Alex dan Abu Rayeuk. Rasa bosan mendorong Farah untuk nekat meminta tuan rumah menghubungi Abu Rayeuk. Sorenya Abu Rayek tiba di rumah tersebut. Farah memohon agar dia dipindahkan dari rumah tersebut dengan alasan tidak enak berlama-lama tinggal di rumah orang yang tidak dikenalnya. Apalagi istri pemilik rumah tidak pernah mau berkomunikasi dengan dirinya.
Abu Rayek menuruti permintaan Farah. Hari itu Farah pamit untuk keluar.
Abu Rayeuk mempunyai warung di kawasan Lenteng Agung. Di sana ia bertemu kembali dengan Alex. Dia mengungkapkan pada Alex bahwa dirinya tidak mau lagi dititipkan di rumah keluarga.
“Neu mita kama kos saboh keu lon. Neu tinggai bak kos manteng lon sidro. Lebeh aman. (Tolong carikan saya kamar kos saja. Di kos saya bisa lebih aman tinggal sendiri)” Farah memohon kepada Alex .
Sebelum mendapatkan rumah kos, Farah terpaksa tinggal seminggu lagi di rumah salah satu keluarga lain. Kali ini keluarga yang lebih ramah. Tetapi lingkungan sekitar sangat tidak nyaman. Ada saja orang yang datang menanyakan dirinya siapa, kapan datang, saudara si pemilik rumah atau bukan. Banyak pertayaan lain yang jawabannya harus dijawab dengan kebohongan demi kebohongan.
Seminggu setelah berdiam di kawasan Lenteng Agung, Farah pindah ke rumah kos yang dicarikan oleh Abu Rayek. Di sana Farah mengatakan dirinya berasal dari Padang. Identitasnya sebagai Aceh harus disembunyikan. Setelah status Aceh berubah menjadi Daerah Darurat Militer, Sutiyoso mengeluarkan maklumat, “Waspadai orang Aceh yang masuk ke Jakarta.” Waktu itu Sutiyoso menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Sejak munculnya maklumat tersebut, orang Aceh di Jakarta seperti anjing kurap. Jangankan untuk diterima menginap di rumahnya, melewati pagar rumah orang saja sudah dilempari sesuatu. Itulah mengapa ketika ia dititipkan di rumah sebelumnya di kawasan Depok, ia diaggap wabah berbahaya oleh istri pemilik rumah. Padahal Abu Rayeuk menitipkannya di rumah orang Aceh juga.
Untuk menghindari kecurigaannya pemilik kos, setiap pagi Farah keluar dari kos. Alex dan Abu Rayeuk tidak memungkinkan selalu datang ke kos mengantar makanan dan keperluan lainnya. Ketika ditanya oleh bapak penjaga kos, Farah mengatakan pergi kursus Bahasa Inggris selama di Jakarta.
Malam kelima di rumah kos, penjaga kos mendekati Farah dengan buru-buru. Ia langsung berkata, “Dek, tadi ada bapak-bapak dua orang nanya apa ada orang Aceh yang nge-kos di sini?”
“Terus bapak jawab apa?” tanya Farah penasaran.
“Saya bilang tidak ada. Terus mereka tanya, yang baru ngekos ada? Saya bilang ada, tapi dari Padang. Terus mereka tanya KTP. Nah, adek kan belum menyerahkan KTP ke saya. Saya bilang besok saya akan minta KTP adek. Mereka bilang akan datang kembali besok.”
Farah langsung pamit dan berjanji akan menyerahkan foto copy KTP besok. Keesokan harinya, Subuh buta, Farah keluar dari kos.
“Dek, kenapa pagi-pagi sekali perginya hari ini. Kenapa harus bawa ransel baju segala?” Bapak penjaga kos menegur Farah.
“Saya akan ke Bandung, Pak. Jam tujuh sudah harus di Gambir. Ada sedikit acara di Bandung” alasan Farah.
Tanpa rasa curiga si penjaga kos manggut sambil berpesan, “Hati-hati di jalan, dek.”
Farah tidak berpikir panjang, hal yang terpikir sat itu dia harus segera pergi jauh dari rumah kos tersebut. Dia tidak tahu Alex sedang berada dimana. Dia hanya menyetop taxi dan dan melaju ke Pasar Minggu, ke rumah Abu Rayeuk. Di rumah Abu Rayeuk, Farah menceritakan apa yang terjadi di rumah kosnya.
Abu Rayek mengajak Farah keluar dari rumahnya. Kebetulan Pasar Minggu merupakan salah satu kawasan yang ramai ditempati oleh orang Aceh. Berada di Pasar Minggu sama seperti ikan hias di dalam aquarium. Setiap gerak gerik pasti akan terpantau oleh militer dengan mudah. Pasar Minggu adalh salah satu wilayah yang diawasi.
Mereka bertemu Alex lagi pada pukul sepuluh pagi. Alex mengajak Farah ke Jogja. Jogja masih masih aman untuk orang Aceh. Di Jogja, Farah menghubungi Imam Yudotomo, pendiri organisasi sosial demokratik di Jogja. Ia menyambut Alex dan Farah hangat. Farah berpikir hanya mencari lokasi aman sementara.
Setelah bertemu dengan Imam, mereka mendatangi sepupu Farah yang sedang kuliah di Kedokteran Gigi UGM. Namanya Cut Sirri. Beberapa malam di Jogja, mereka kembali ke Jakarta.
Di perjalanan Alex mengajak Farah menikah, “Nyoe hana mungken lagee nyoe sabee. Hana mungken tip uroe sidro keno sidro kedeh, lheh but idrop salah sidro hana soe yang teupue. Matee teuh pih hana soe yang teupu. (Tidak mungkin kita selalu seperti ini. Setiap malam harus berpisah. Takutnya slah satu dari kita ditangkap, mati pun tidak ada yang tahu.”
Seperti terhipnotis, Farah mengangguk. Tak pernah terpikir di kepalanya akan menikah dalam kondisi darurat seperti itu dengan orang yang baru dikenal.
Ketika tiba di Jakarta, Alex menelepon Abu Rayeuk mengutarakan niatnya untuk menikah dengan Farah. Entah seperti apa jalannya, Alex melamar Farah melalui telepon. Ia memutuskan mahar dengan orang tua Farah. Pada tanggal 5 Juni 2003, Alex dan Farah menikah dengan saksi Teuku Iskandar, Cut Ratna, dan keluarga Teuku Iskandar. Pihak KUA yang diwakili oleh Tengku Marzuki, istri, dan keluargaya di Pondok Gede.
Farah merasakan pernikahan itu sesuatu yang sakral.Tidak ada satu foto pun yang tersimpan sebagai bukti indah pernikahan. Hanya buku nikah yang ia pegang sebagai bukti otentik di mata manusia. Semua terjadi begitu tiba-tiba. Farah tidak merasa sedih karna harus menikah dalam kondisi darurat, tanpa resepsi apapun. Dia hanya berpikir mencari keamanan di luar Aceh.
Setelah menikah Farah mencoba menghubungi Asiah, kawan yang bekerja di Kontras Aceh. Dia juga salah satu dari anggota PEREMPUAN Merdeka yang saat itu sedang dievakuasi ke Jakarta karena masuk ke daftar DPO. Asiah adalah kawan asal Aceh yang pertama kali dijumpainya setelah hampir dua bulan tidak dapat berkomunikasi.
Pertemuan sesaat dengan Asiah menyisakan kebahagiaan luar biasa. Asiah belum bisa keluar dengan bebas. Ia juga masih berada dalam perlindungan teman-teman yang mengevakuasi aktivis Aceh. Selain Asiah ada beberapa teman lainnya yang juga ikut masuk daam program evakuasi. Baik laki-laki maupun perempuan. Di antaranya aktivis PEREMPUAN Merdeka yang dievakuasi adalah Barliana (Yana), Fitrah dari Banda Aceh, Zakia dari Aceh Besar, Murniati dari Pidie, Nuraini dari Pidie, Fadilah Aceh Utara.
Mereka disebar di tempat yang berbeda. Ada beberapa teman Farah yang juga dievakuasi ke Indonesia Timur, Medan, Jogja dan Bandung. Beberapa hari setelah pertemuan dengan Asiah, Farah mendapat telepon dari Metro TV. Mereka meminta Farah untuk bersedia bicara tentang hasil perundingan di Tokyo dan kondisi Aceh saat itu.
Selain Farah, Otto Syamsuddin yang juga dimintai sebagai narasumber oleh Metro TV. Otto masih bekerja di Imparsial. Dialog interaktif di Metro TV dengan Farah terjadi via telepon. Farah masih tetap dengan prinsipnya, meminta Republik Indonesia menghentikan Darurat Militer di Aceh dan kembali ke meja Perundingan. Perang bukan solusi untuk Aceh.
Ketika Farah berbicara di Metro TV kondisi di Aceh sedang memanas. Pengepungan di Paya Cot Trieng Nisam Aceh Utara berlangsung sangat brutal. TNI mengerahkan seluruh alat tempurnya demi menghabisi GAM yang mereka yakini berada di kawasan Paya Cot Trieng.
Usai wawancara dengan Metro TV, Farah dan Alex kembali berangkat ke Jogja malam itu juga. Dalam perjalanan dari Jakarta menuju Jogja, mereka menumpang kereta api. Beberapa nomor telepon satelit masuk ke ponsel Alex. Salah satunya nomor Ishak Daud, juru penerangan komando GAM pusat.
“Senang sekali kami di sini melihat Farah muncul tiba-tiba di Metro TV malam ini. Kalau tidak mereka sudah berfikir kita sudah mati semua di hutan ini. Alex, tolong kerahkan aktivis dan mahasiswa Aceh di Jawa. Rancangkan demontrasi untuk Aceh. Dari Aceh kita sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi,” perinth Ishak Daud untuk para aktivis Aceh di luar provinsi Aceh.
Setibanya di Jogja, keduanya mulai berpikir untuk menetap. Di Jogja, keduanya tinggal satu kontrakan dengan sepupu Farah. Beberapa hari di Jogja mereka sudah bisa kembali beraktifitas normal, bertemu dengan teman-teman Aceh yang progresif seperti July Fuadi, Dahlan, Kamaruddin, dan lain-lain. Mereka juga bertemu dengan aktivis- aktivis pro-demokrasi seperti aktivis buruh. Teman-teman Imam dari sosial demokrat, aktivis perempuan dari berbagai LSM di Jogja. Mereka juga bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa dari Papua yang menuntut Papua Merdeka. Juga aktivitas lain yang sejenis.
Waktu itu Sultan menerima warga Aceh dengan sangat baik. Sultan sempat mengeluarkan maklumat, “Jangan ganggu orang Aceh yang masuk ke Jogja.”
Lebih kurang dua bulan membuka jalan di Jogja, beberapa mahasiswa Aceh yang terlibat dalam organisasi gerakan di Jogja mulai menguatkan barisan. Dahlan dan teman-temannya mengajak para aktivis di Pulau Jawa untuk melakukan aksi solidaritas untuk Aceh dan Papua.
Farah kembali terlibat dalam setiap aksi jalanan layaknya di Aceh sebelum Darurat Militer berlaku. Hampir setiap minggu terjadi aksi solidaritas yang dilakukan oleh para aktivitis meneriakkan perdamaian untuk Aceh. Aktivis yang dulunya masuk dalam program evakuasi mulai keluar dan ikut kembali dalam aktivitas kampanye.
Farah kerap dimintai pendapat oleh beberapa media massa seperti radio, majalah, ataupun tabloid tentang kondisi Aceh terkini. Farah mulai aktif kembali berbicara dari seminar ke seminar untuk mencari dukungan. Semuanya dilakukan demi perdamaian Aceh.
Kondisi di Aceh saat itu semakin tidak menentu. Tentara GAM mulai ramai yang harus keluar dari Aceh karena tidak mampu lagi bertahan di hutan rimba. Pasokan logistik berupa makanan, obat-obatan, dan amunisi semakin hari semakin menipis. Banyak di antara mereka yang mulai terserang malaria.
Aktivis PEREMPUAN Merdeka yang berusaha menetap di Aceh masih tetap bekerja walau dalam senyap. Mereka menjadi kurir yang mengantarkan logistik dan obat-obatan untuk para kombatan. Penyelamatan terhadap kombatan GAM yang terserang malaria dengan membawa keluar dari hutan dilakukan dengan merawat di rumah kontrakan mereka diam-diam.
Beberapa orang PEREMPUAN Merdeka tertangkap dan dipenjara dengan tuduhan inong balee dan pendukung GAM.
Selama lebih kurang enam bulan Farah berda di Jogja. Setelah sebuah stasiun radio mewawancarai Farah, dua orang lelaki tidak dikenal mendatangi rumah kontrakannya. Kebetuan Farah dan Alex tidak berada di rumah. Mereka menanyakan Farah kepada kakak sepupu yang juga tinggal di kontrakan tersebut.
“Ada Farah?” tanya salah satu dari mereka.
Merasa curiga, sepupunya langsung menjawab Farah tidak ada di rumah. Kedua lelaki itu menanyakan alamat teman-teman Farah dengan detil. Demi keamanan, kakak sepupu Farah memberikan beberapa alamat kantor aktivis yang biasa Farah kunjungi.
Setelah mendapatkan informasi yang diinginkan, kedua lelaki itu pergi meninggalkan rumah kontrakan mereka. Kakak Farah langsung menghubungi adik sepupunya. Menceritakan apa yang baru saja terjadi. Dalam jangka waktu kurang 30 menit, Farah dan Alex sudah tiba di kontrakan untuk mengambil pakaian dan kembali ke Jakarta. Kondisi Jakarta sudah mulai aman untuk warga Aceh.
Beberapa teman Farah yang dulunya dievakuasi sudah bebas kembali. Farah langsung menuju rumah kontrakan teman-teman PEREMPUAN Merdeka. Di rumah itu Barliana, Zakia, Murni, dan Nuraini tinggal bersama. Sedangkan Irianti, dan Fitrah tinggal di kawasan lain. Fadilah masih di Indonesia Timur. Asiah juga tinggal terpisah.
Farah menyewa rumah di kawasan Lenteng Agung bersama teman-temannya. Rumah kontrakan para aktivis PEREMPUAN Merdeka sudah habis masa kontrak. Jadi, mereka memilih tinggal bersama. Tidak ada yang curiga kalau mereka adalah pelarian dari Aceh. Tidak ada laki-laki di rumah kontrakan itu, kecuali Alex. Teman laki-laki hanya datang sesekali saja untuk makan siang. Lalu mereka meniggalkan rumah.
Selembar bendera merah putih sengaja mereka pancang di pagar kontrakan, rumah itu asri dan normal. Farah menyadari kalau lelaki yang datang ke rumah mereka di Jogja adalah bagian dari pihak keamanan Republik Indonesia. Bisa saja polisi atau TNI.
Warga di sekitar tidak pernah tahu kalau penghuni rumah setiap hari keluar untuk melakukan kampanye-kampanye perdamaian untuk Aceh. Mereka membuat pameran foto korban konflik di Universitas Indonesia. Mereka juga menyelenggarakan seminar dari satu forum ke forum lainnya. Mereka juga turun ke jalan meneriakkan yel-yel, “Hentikan perang di Aceh!”
Berbagai aktivitas kampanye lainnya terus dilaksanakan hingga status Darurat Militer (DM) untuk Aceh berakhir. Pemerintahan Megawati-Hamzah Haz menggantikan status Aceh menjadi Darurat Sipil (DS).
Suatu siang, seorang aktivis laki-laki dari Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) bertandang ke rumah mereka. Namanya Muhammad MTA, ia pernah menjadi aktivis yang ikut dievakuasi ke Jakarta.
“Hai, ka peuget asam udeng ilee, hawa teuh. (Hai, tolong bikinkan asam udang dulu untuk siang ini. Ingin sekali memakanny)” pinta Muhammad MTA.
Siang itu MTA melahap asam udang dengan nasi sangat lahap. Selama kurang lebih dua jam berada di rumah kontrakan Farah. Ia pamit ke Bandung. Keesokan harinya, Farah dan teman-temannya dikejutkan dengan berita bahwa MTA ditangkap di Bandung.
Rasa was-was kembali menghinggapi Farah dan teman-temannya. Tiga hari kemudian, mereka baru bisa mendapat kabar dari MTA. Dari MTA mereka tau kalau Alex sedang gencar-gencarnya dicari. Selama proses introgasi MTA, Alex adalah orang yang kerap ditanyai. MTA ditangkap dengan tuduhan sebagai bagian keuangan GAM.
Alex memutuskan berangkat ke Malaysia, sementara Farah tetap tinggal di Jakarta untuk sementara waktu. Dua bulan kemudian Farah menyusul ke Malaysia. Farah sudah ditunggu oleh Alex, Om Nur Juli dan Kausar di bandara KLIA. Kausar juga terpaksa keluar dari Aceh . Ia termasuk dalam target operasi TNI/Polri.
Tidak banyak yang bisa dilakukan Farah di Malaysia. Kondisi Jakarta dan Malaysia jauh sekali berbeda. Di Malaysia Alex dan Farah menginap di rumah om Nur Juli selama seminggu. Kemudian pindah sebuah flat milik Teungku Yacob (abang Om Nur Juli) di kawasan Chowkit. Tgk. Yacob sengaja membeli flat tersebut sebagai rumah singgah untuk dipakai oleh orang-orang Aceh yang datang sementara ke Kuala Lumpur.
Masa-masa ini bisa dikatakan arus kedatanagn orang Aceh ke Malaysia sangat membludak. Rata-rata mempunyai alasan yang sama. Kondisi keamanan Aceh yang tidak stabil dan masyarakat tidak bisa mencari nafkah. Sebagian besar dari pelarian tersebut berada di bawah perlindungan UNHCR. Para pengungsi mendapatkan masing-masing selembar kartu dari UNHCR untuk membuktikan kalau mereka datang dari Aceh.
Di Malaysia warga Aceh bebas berkeliaran mencari nafkah. Kerajaan Malaysia pun memberikan perlindungan khusus untuk warga Aceh yang berada di sana. Bagai warga yang kondisi keamanannya sangat terancam, UNHCR akan mengirmkan mereka ke negara ketiga seperti Norwegia, Swedia dan juga Kanada.
Farah masuk dalam katagori pelarian yang harus dikirim ke negara ketiga tersebut. Ia menolak karena tidak mau berada di Eropa. Begitu pun dengan Kausar. Mereka akhirnya menetap di Malaysia.
Beberapa bulan mereka di Malaysia, para aktivis lain mulai masuk ke Malaysia. Mereka adalah Tarmizi yang bekerja sebagai staf di LBH Aceh dan juga ketua organisasi Forum Rakyat. Zulham dan Misdawan juga termasuk aktivis yang tidak aman di Aceh. Keduanya adalah anggota Forum Rakyat. Mereka menetap di Pulau Penang. Mereka membangun jaringan dengan mahasiswa Aceh di Universitas Sains Malaysia (USM) melalui Professor Kamaruzzaman, Tarmizi Age dan Nurul Kamal.
Karena beberapa teman Farah tinggal di Penang, Farah menyusul ke Penang dan menetap di sana. Tarmizi dan teman-temannya telah mendirikan sebuah organisasi yang bertugas membantu UNHCR dalam hal melakukan pendataan terhadap pengungsi Aceh yang datang ke Malaysia. Organisasi itu diberi nama Aceh Refugee Center (ARC). Organisasi ini berlokasi di Bukit Jambul, Pulau Penang. Dari rumah itulah selembar kertas dikeluarkan untuk membuktikan seseorang benar datang dari Aceh.
Bulan ke Sembilan di Malaysia, tsunami melanda Aceh. Bagi sebagian masyarakat ini adalah musibah. Bagi sebagian lainnya menjadi pintu keluar dari derita yang selama ini menjerat kehidupan mereka. Bagi Farah, tsunami adalah berkah. Karena tsunami para aktivis yang sudah terusir dari tanah kelahiran mereka dapat kembali.
Para aktivis yang di Jakarta juga kembali ke Aceh dengan misi kemanusiaan. Atas nama kemanusiaan pula perang berhenti seketika berhenti. Meskipun di beberapa wilayah titik merah seperti Aceh Utara, Aceh Timur, Pidie masih bersiap siaga. Setidaknya TNI/Polri tidak melakukan aksi seperti sebelumnya.
Para aktivis dari mana saja kembali dengan misi kemanusiaan. Mereka terlibat dalam rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Sehari setelah tsunami, Tarmizi kembali ke Aceh. Farah, Zulham, Misdawan, dan Nyak Din masih menetap di Penang.
Selama lebih kurang setahun lebih Farah di Malaysia. Banyak perjalanan hidup yang harus dikenang, salah satunya kelahiran putra pertamanya di Pulau Penang disaat dirinya masih sebagai status seorang DPO.
Jauh hari sebelum tsunami menerjang Aceh, gagasan perdamaian untuk Aceh sudah dilakukan. Sudah ada kesepakatan dan dialog antara Republik Indonesia dengan GAM pada awal Januari 2004. Berbagai macam kendala mencuat, gagasan tersebut gagal dilaksanakan. Dialog selanjutnya disepakati untuk dilaksanakan pada September 2004. Tapi sebelum dialog tersebut terjadi tsunami melanda Aceh.
Banyak orang yang berpikir bahwa dialog antara Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kembali dilakukan karna tsunami menerjang Aceh. Farah tidak terlibat lagi dalam proses negosiasi ke meja perundingan yang telah digagas oleh Juha dan teman-temannya. Terlibat juga Yusuf Kalla dan para petinggi GAM di Swedia.
Dua bulan setelah perundingan di Helsinki Farah kembali ke Aceh. Ia memutuskan untuk melupakan semua sejarah yang pernah membayangi hidupnya. Rasa lelah membuatnya memilih untuk diam dan menghindar dari komunitas yang pernah dibangunnya.
Ia melanjutkan kuliah sambil bekerja di bebeberapa NGO Internasional, di antaranya adalah Caritas German, TDH German dan CRS.
Cut Meutia lebih dikenal dengan nama Cut Farah Meutia lahir pada 20 April 1979. Ia kerap disapa dengan Farah. Pendidikan dasarnya diselesaikan dari SD Desa Baroeh Kota Batee dan melanjutkan ke SMP hingga SMA ke Bustanul Ulum Langsa. Lulus SMA ia melanjutkan pendidikan di D3 Farmasi dan Makanan di Yayasan Harapan Bangsa, S1 hukum Abulyatama, S2 hukum Unsyiah.