Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kunjungan kerja ke Jepang.
Kunjungan diawali courtesy call ke Direktur Centre for Southeast Asian Studies (CSEAS) yang dipimpin langsung oleh Dubes RI untuk Jepang Heri Akhmadi dan Konjen Osaka di RI, BPK RI, Atase Kehutanan di Jepang, Dirjen PSKL Bambang Supriyanto para delegasi.
Dalam pertemuan ini, Prof. Fumiharu Mieno mengapresiasi kerja sama yang sangat baik antara Jepang dan Indonesia.
Kemudian, sore harinya Bambang Supriyanto menyampaikan kuliah umum pada the 2 Indonesia-Japan Forest Talk, atas kerja sama MIDORI dan CSEAS yang sebelumnya diisi rangkaian pembukaan dengan welcoming remarks oleh Konjen RI, sambutan Dubes RI dan pembukaan oleh Direktur CSEAS di Kyoto University.
Dubes Heri Akhmadi dalam pernyataannya menyebutkan “forestry is not about tress, but about people” sehingga sangat tepat bila pada kesempatan ini menghadirkan Dirjen PSKL dalam kuliah umum bertema “Strategy of Social Forestry Towards the Carbon Neutrality in Indonesia: Building Strategic Internationl Partnership in the Implementation of Indoneia’s FOLU Net Sink 2023”.
Diskusi dipimpin Dr Zahrul Mutaqin, Atase Kehutanan di Jepang dan menghadirkan para pakar pembahas yaitu Prof. Em. Masuda Misa, Emeritus Professor of Tsukuba University, Dr. Dianto Bachriadi, Research Institute for Humanity and Nature dan Dr. Daisuke Naito dari Kyoto University.
Para pakar Jepang yang menjadi pembahas mengapresiasi kontribusi sosial forestry dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, perubahan iklim dan pengakuan adat.
“Perhutanan sosial bukan merupakan obat tetapi proses untuk perbaikan pengelolaan hutan di Indonesia,” ujar Prof. Em. Masuda Misa. Kepastian tata kelola dan right menjadi salah satu perhatian Prof. Em. Masuda Misa.
Sementara itu, Dr. Dianto Bachriadi mengungkapkan data-data empirik tata kelola hutan di Indonesia yang menjadi tantangan untuk mendorong lebih keras implementasi Perhutanan Sosial ke depan.
Dia menekankan pentingnya pendelegasian atau memberikan kewenangan besar kepada masyarakat dalam pengelolaan hutan termasuk masyarakat hukum adat.
Pada kesempatan terakhir, Bambang memberikan respons terhadap penanggap kritis dari tiga pembahas, sekaligus menyampaikan terima kasih atas saran dan tanggapan untuk kemajuan perhutanan sosial di Indonesia.
Di samping itu dijelaskan pula terminologi masyarakat hukum adat di Indonesia yang telah disampaikan pada COP 27 Forum yang selalu menjadi perdebatan dengan istilah “indigioneus people” di Indonesia.
Bambang optimistis perhutanan sosial di Indonesia dapat dicapai sesuai harapan melalui dukungan para pihak dalam pelaksanaannya. Dukungan ini dituangkan dalam draft Pepres Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial.(rel)