”Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” Prinsip itu dipegang teguh oleh seorang ibu delapan anak di Kota Padang. Tidak ingin mengemis, ia mencukupi kebutuhan hidup dengan cara memulung botol bekas. Sudah 16 tahun pekerjaan itu ia jalani. Tak ada malu baginya asalkan rezeki yang didapat itu halal.
Nama ibu tersebut Yunisa, warga Jalan Sawo Nomor 20, Purus Kota Padang. Padang Ekspres bertemu dengannya Jumat (27/10) siang di Jalan Veteran, Kota Padang.
Saat itu ia mengayuh becak yang berisikan botol-botol plastik bekas. Wajahnya terlihat kusam dan pakaian yang ia kenakan kumal. Di salah satu tempat yang teduh, ia melepas penat dan mengibas topi merah yang ia kenakan ke wajah. Siang itu cuaca memang cukup terik.
Yunisa tidak sendirian, ia didampingi tiga anaknya. Dua diantaranya berjalan kaki sambil mengais botol plastik bekas di sekitar jalan. Sedangkan anak yang paling kecil tertidur di antara kumpulan botol plastik bekas.
Saat ditemui Padang Ekspres, di sebuah gang, Yunisa menyambut dengan ramah meski mengumpulkan botol plastik. Ia juga meluangkan waktunya untuk berbincang-bincang tentang perjuangan hidupnya menghidupi keluarga.
”Saya sudah 20 tahun merantau di Padang,” ucapnya memulai .
Baginya bekerja sebagai pemulung botol bekas, tidaklah hina. Yang jelas uangnya didapatkan dengan cara usaha yang baik dan halal.
”Mending memulung botol plastik dari pada saya mengemis,” ujarnya.
Pantang baginya mengemis selagi tulang masih kuat. Saat ini ia bekerja untuk menghidupi tiga anaknya yang masih berada di SD dan Taman Kanak-Kanak (TK). Sebenarnya ia punya delapan anak. Lima diantaranya berada di kampung dan sudah mampu biayai hidup sendiri.
”Hidup anak saya di kampung juga pas-pasan. Saya merantau karena tak tahu harus ke mana lagi,” ungkapnya sambil mengelus kepala si bungsu.
Sedangkan suaminya bekerja sebagai buruh bulanan. Terkadang dapat panggilan kerja jadi tukang bangunan. Namun lebih sering tak dapatkan job. Sehingga kebutuhan sehari-harinya di biayai dari hasil memulung.
”Pekerjaan suami saya yang tak jelas ini, membuat saya harus ikut bekerja,” ujarnya.
Kini keluarga kecil Yunisa tinggal di sebuah rumah kontrakan di Purus.dia harus mengeluarkan Rp 600 ribu setiap bulannya untuk membayar kontrakan itu. Jika tidak dibayar bisa-bisa ia tidak punya tempat tinggal.
Maka itu, ia berusaha keras mengumpulkan uang dari hasil memulung agar segela kebutuhan bisa terpenuhi. Tidak pernah sekalipun ia menunggak pembayaran kontrakan.
”Saya pisahkan hasil memulung itu, karung yang pertama untuk makan dan lainnya untuk kontrakan,” jelasnya.
Dengan manajemen seperti itu ia mampu memenuhi segala kebutuhan. “Bagi kami sekeluarga yang penting ada beras sudah cukup, walaupun tak pakai sambal,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Perempuan paruh baya ini juga pernah merasakan tak makan karena harus berhemat demi membayar segala tagihan kebutuhan rumah. ”Di sini semuanya bayar, air dan listrik. Sampai-sampai saya tidak makan, yang penting anak makan,” ucapnya dengan suara lirih.
Sebenarnya hasil dari memulung tak begitu mencukupi. Mulai dari pukul 12.00 hingga sore, ia hanya bisa mendapatkan uang Rp 30 ribu. Paling besar Rp 50 ribu. Setiap harinya kegiatan memulung rutin dilakukan, sembari mengajak anak-anaknya. ”Saya tunggu anak pulang sekolah dulu nanti kami sama-sama bekerja,” tuturnya.
Dalam memulung jarak yang ditempuh Yunisa mencapai belasan kilometer. Dari Purus hingga Pasarraya adalah rute hariannya dalam mengayuh becak. Meski letih, namun hal itu harus dikesampingkan. Jika tidak bekerja asap dapur bisa berhenti mengepul.
”Anak-anak saya sudah biasa berjalan sejauh itu. Jadi gak masalah baginya,” ujarnya sambil menyeka keringat di kening.
Yunisa memang ibu tangguh yang membesarkan anaknya dengan segenap tenaga. Kesulitan hidup harus tetap dihadapi. Ia juga tidak ingin megeluhkan hidup yang sedang dijalani. Apa yang didapat dan apa yang dipunya baginya harus disyukuri. ”Saya tidak mau mengeluh, kalau letih perbanyak istirahat. Yang jelas jalani saja hidup ini,” terangnya.
Meskipun mendapat dari hasil memulung, bukan berarti anaknya tak punya cita-cita. Jauh dari itu semua kedua anak yang masih bersekolah berkeinginan jadi seorang dokter. ”Kalau untuk semangat belajar saya akui mereka rajin. Tapi kalau untuk cita-cita mereka, saya sedikit ragu, karena saya hanya seorang pemulung dan kami adalah keluarga miskin. Namun saya akan terus coba berusaha agar mereka bisa berpendidikan yang baik,” ujarnya.
Baginya daripada mengemis atau mengamen biarlah memulung. Setidaknya hasilnya jelas dan jerih payahnya sendiri.
”Saya tidak akan pernah malu bekerja seperti ini,” tukasnya. (***)
LOGIN untuk mengomentari.