>> Perkuat ekonomi domestik, Indonesia perlu beri perhatian khusus industri nasional.
>> Belasan tahun utang negara dan kredit bank tertumpah pada sektor nonproduktif.
JAKARTA – Sejumlah kalangan mengingatkan Indonesia perlu bergegas mengantisipasi potensi resesi ekonomi yang sudah di depan mata. Alarm resesi itu antara lain terlihat dari perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional dan penurunan daya beli masyarakat yang tergambar dari melemahnya penjualan otomotif pada semester I tahun ini.
Selain itu, dari faktor eksternal, memanasnya kembali tensi sengketa dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, hingga melangkah ke perang mata uang dinilai akan meningkatkan ketidakpastian ekonomi global. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan memicu terjadinya resesi dunia.
Pakar Hubungan Internasional Universitas Airlangga Surabaya, Joko Susanto, menilai jika pemerintah tidak memberikan perhatian khusus pada industri dalam negeri, maka diperkirakan dampaknya akan sangat buruk. Sebab, peningkatan eskalasi perang dagang menjadi perang mata uang, sangat berpotensi membawa ekonomi global pada resesi dunia.
“Begitu Tiongkok melakukan devaluasi, daya saing mereka bangkit kembali. Problemnya adalah kalau produk Tiongkok kompetitif, produk sejenis dari Indonesia akan semakin sulit. Sebelum devaluasi pun, Tiongkok pun sudah membanting harga agar barangnya bisa dilempar untuk mengatasi tarif AS. Sekarang sudah didiskon ditambah devaluasi yuan, makin susah kita,” papar dia, saat dihubungi, Rabu (7/8).
Sebagaimana dikabarkan, Presiden AS, Donald Trump, pada Kamis (1/8), mengumumkan AS akan mengenakan tarif 10 persen pada produk impor Tiongkok yang tersisa senilai 300 miliar dollar AS, karena Beijing tidak menepati janji dalam membeli produk pertanian AS.
Kemudian, pada Senin (5/8), Tiongkok membalas dengan membiarkan mata uangnya melemah di bawah 7 yuan per dollar AS, ditambah ancaman akan menghentikan pembelian produk pertanian AS. Beberapa jam kemudian, Trump lewat Twitter mengecam Tiongkok sebagai manipulator mata uang, disusul pengumumuan Departemen Keuangan AS.
Menyikapi langkah Tiongkok itu, Joko menyatakan Indonesia harus membaca ulang produk yang basisnya sama dengan milik Tiongkok. Ini harus mendapat perhatian khusus supaya bisa lebih kompetitif. Ada banyak langkah yang harus dilakukan, prinsipnya adalah produk sejenis tetap kompetitif, dan menguatkan pasar domestik. “Kalau tidak, Tiongkok akan gila-gilaan,” tukas dia.
Indonesia juga dinilai perlu mengubah paradigma dari ekonomi konsumsi menjadi ekonomi produksi. Selama belasan tahun, utang negara dan kredit intermediasi bank tertumpah pada sektor konsumtif atau tidak produktif. Contohnya, outstanding kredit properti yang mencapai 900 triliun rupiah dan mengarah pada bubble properti.
Selain itu, kredit otomotif. Oleh karena itu, penurunan penjualan otomotif bisa menjadi salah satu indikator melemahnya daya beli masyarakat.
Sebelumnya, Gaikindo mencatat penjualan mobil pada semester I-2019 mencapai 481.577 unit, atau menyusut 13 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya sebesar 553.773 unit kendaraan. Penurunan penjualan kendaraan terjadi hampir di seluruh merek.
Strategi Koreksi
Joko menjelaskan, walaupun nilai yuan dari devaluasi bukan nilai yang sebenarnya, tapi kemampuannya untuk menahan tekanan nilai cukup berarti, bahkan sempat membuat panik pasar AS dan Asia.
“Tiongkok mendevaluasi yuan karena punya amunisi banyak. Apalagi yang ditakutkan setelah ini adalah perang devaluasi, AS akan ikut menurunkan nilai dollar. Dengan begitu, nilai mata uang yang melemah bukan nilai sebenarnya, bukan karena market driver, tapi karena kepentingan politik. Itu bahaya sekali karena akan memicu resesi dunia,” tutur dia.
Sementara itu, Financial Times mewartakan bahwa Departemen Keuangan AS kehabisan alat untuk melemahkan dollar. Presiden Trump mengaku semakin frustrasi soal nilai dollar AS.
Gedung Putih tidak berjalan sendiri dalam merespons Tiongkok. Sebelumnya, tokoh Partai Demokrat di Senat, Chuck Schumer, menyerukan tindakan balasan. Kandidat presiden dari Partai Demokrat, Senator Elizabeth Warren, juga telah berjanji dalam kampanye untuk membuat nilai dollar yang lebih lemah.
Namun, kampanye Warren tidak merinci contoh cara atau alat yang akan digunakan untuk menurunkan nilai dollar. Karena hal itu mengarah ke masalah yang lebih luas, tidak ada cara yang cukup andal. SB/YK/WP