Pemerintah diharapkan membuat insentif khusus untuk menarik relokasi industri dari Tiongkok, seperti di sektor elektronik dan tekstil.
JAKARTA – Kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengenakan tarif baru sebesar 10 persen bagi barang impor dari Tiongkok senilai 300 miliar dollar AS mulai 1 September mendatang dinilai akan memengaruhi kinerja ekonomi Indonesia.
Dampak itu antara lain defisit transaksi berjalan bakal melebar dan kurs rupiah akan melemah akhir tahun ini. Selain itu, ada potensi guncangan ekonomi yang bisa memicu krisis sistemik ke Indonesia, karena barang yang dikenakan tarif semakin luas.
Tak cukup hanya itu, Indonesia juga perlu mengantisipasi kemungkinan Presiden Trump kembali menaikkan tarif lebih tinggi pada barang impor dari Negeri Tirai Bambu itu mendekati pemilu AS tahun depan. “Ini mesti diantisipai agar kita bisa meminimalkan risiko dari dampak eskalasi perang dagang antara dua Raksasa Ekonomi Dunia itu,” ujar ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara, di Jakarta, Jumat (2/8).
Menurut Bhima, langkah antisipatif yang perlu dilakukan antara lain membuat insentif khusus untuk menarik relokasi industri dari Tiongkok, khususnya di sektor elektronik dan tekstil. “Kemudian, meningkatkan hambatan nontarif untuk proteksi pasar dalam negeri dari serbuan barang impor Tiongkok,” jelas dia.
Dia mengungkapkan, berdasarkan hasil penelitian Indef terhadap dampak perang dagang sebelumnya, kinerja ekspor Indonesia terpengaruh sebesar 0,24 persen dan pengaruh terhadap investasi mencapai 1,02 persen. Adapun produk ekspor yang bakal terkena dampak negatif, di antaranya kayu olahan, kertas, barang tambang, dan batu bara.
Di sisi lain, potensi Indonesia untuk mengambil celah ekspor dari perang dagang sebenarnya cukup besar. Misalnya, ekspor produk tekstil seperti pakaian jadi, barang dari kulit, dan elektronik yang berpeluang naik masing-masing 8,2 persen, 5,12 persen, dan 5 persen. “Tapi faktanya, kita terlambat memanfaatkan momentum karena Vietnam lebih dulu mengambil kesempatan,” tukas Bhima.
Tarif Baru
Sebagaimana dikabarkan, Presiden AS, Donald Trump, pada Kamis (1/8) waktu setempat, mengumumkan akan mengenakan tarif baru pada barang impor dari Tiongkok senilai 300 miliar dollar AS.
Trump beralasan, dalam pertemuan tingkat tinggi antara kedua negara yang baru berlangsung di Shanghai, Beijing, akhir bulan lalu, Tiongkok terlalu sedikit memberi konsesi untuk AS. Untuk itu, mulai 1 September nanti, Bea Cukai AS akan mengenakan tambahan bea masuk sebesar 10 persen.
“Tiongkok setuju untuk membeli produk pertanian dari AS dalam jumlah besar, tapi tidak melakukannya. Selain itu, teman saya Presiden Xi (Presiden Tiongkok, Xi Jinping) mengatakan bahwa dia akan menghentikan penjualan Fentanyl ke Amerika Serikat, ini tidak pernah terjadi, dan banyak orang Amerika terus mati!” kata Trump lewat Twitter, seperti dikutip Jumat.
Seluruh sektor industri AS yang terdampak kebijakan itu seperti Kamar Dagang AS, Federasi Ritel Nasional, Asosiasi Pemimpin Industri Ritel (RILA), dan Asosiasi Pakaian dan Alas Kaki Amerika, langsung mengecam langkah Trump.
“Tarif baru merupakan pukulan langsung pada produk konsumen dan belanja keluarga, jelas dan sederhana. Tarif sama dengan pajak bagi konsumen Amerika. Dan jika tarif ini terjadi, konsumen Amerika akan menanggung beban dari taktik ini melalui harga yang lebih tinggi untuk barang-barang sehari-hari, seperti pakaian, mainan, barang-barang rumah tangga dan elektronik. Seharusnya keluarga Amerika tidak menjadi pion dalam perang dagang ini,” tulis pernyataan dari RILA.
Namun, Trump menegaskan bahwa Tiongkok- lah yang menanggung beban paling besar dalam perang dagang itu “Tiongkok membayar tarif ini. Kami tidak. Sampai ada kesepakatan, kami akan menarik pajak ke mereka,” kata Trump.
Menanggapi kebijakan Trump itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, meminta Indonesia agar tetap waspada terhadap dampak perang dagang tersebut, karena perekonomian dunia diprediksi akan turun hingga 0,5 persen pada 2019.
“Kita juga harus terus waspada terhadap kemungkinan terjadinya perang dagang yang eskalasinya memang sudah disampaikan satu tahun terakhir,” kata dia, Jumat.
ers/YK/SB/SCMP/WP