Kasus Bencana Lingkungan – Upaya PK Tak Sejalan Regulasi Buatan Pemerintah Sendiri
>> Dukung penegakan hukum, pemerintah jangan ragu-ragu laksanakan putusan MA.
>> Tanpa ada penindakan hukum, sama saja dianggap tidak ada pelaku dan sanksi.
JAKARTA – Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak permohonan kasasi pemerintah terkait gugatan masyarakat dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan Tengah (Kalteng) pada 2015 dinilai memiliki sejumlah implikasi ke depannya.
Pakar hukum Univeritas Al Azhar Indonesia, Sadino, mengemukakan putusan itu tidak hanya berlaku di Kalteng, tetapi di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Jambi, Sumatera Selatan, Pekanbaru, serta daerah lainnya.
“Pemerintah harus segera menerbitkan peraturan baru yang mengatur soal kesiapan negara ketika terjadi kebakaran hutan. Hal itu seperti bagaimana melindungi korban, seperti apa evakuasinya, lalu bagaimana kompensasi dan rehabilitasinya,” jelas dia, di Jakarta, Senin (22/7).
Sadino menambahkan kesiapan lainnya terkait dengan badan penanggulangan bencana kebakaran di daerah. Menurut dia, kesiapan itu belum didukung oleh regulasi yang kuat. “Perusahaan memang harus bertanggung jawab terhadap kasus kebakaran itu, namun kuncinya di pemerintah. Bila pemerintah benar-benar siapkan regulasinya maka perusahaan dengan mudah bisa mengikuti,” ujar dia.
Ketika terjadi kasus karhutla tersebut, lanjut Sadino, aturan seperti itu belum ada. Padahal, ini sangat penting sebagai bagian dari upaya mengantisipasi kebakaran hutan.
Sebelumnya, sejumlah kalangan meminta negara segera melaksanakan kewajiban atau konsekuensi hukum setelah MA menolak permohonan kasasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan sejumlah menteri dalam kasus karhutla di Kalteng pada 2015.
Di antara kewajiban itu, ada tiga hal yang dinilai paling penting untuk dilaksanakan secepatnya, yakni penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang melanggar regulasi lingkungan hidup, mengumumkan kepada publik perusahaan yang terlibat dalam karhutla itu, dan perusahaan yang terlibat harus memberi kompensasi ganti rugi kepada korban.
Penegakan hukum dinilai merupakan hal yang terpenting, karena tanpa ada penindakan terhadap pelanggar hukum, sama saja dianggap tidak ada pelaku dan sanksi. Akibatnya, tidak ada lagi penegakan hukum di kemudian hari.
Pakar hukum dari Universitas Airlangga, Herlambang Perdana Wiratman, mengatakan pemerintah tidak perlu ragu melaksanakan putusan MA, karena langkah itu akan menunjukkan bahwa pemerintah mendukung penegakan hukum, dan akan memberi contoh yang baik bagi masyarakat.
“Pemerintah mungkin tidak ingin malu, dan tidak mau mengakui ada kelalaian yang menyebabkan kebakaran hutan itu. Dengan melaksanakan putusan MA itu akan menunjukkan bahwa pemerintah mendukung langkah-langkah penegakan hukum di negeri ini,” tutur dia. Kedua, imbuh Herlambang, dengan melaksanakan putusan itu, pemerintah akan menjadi teladan yang baik dalam mengedukasi supremasi hukum di hadapan publik.
Alasan PK
Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, mengungkapkan alasan pemerintah terkait upaya Peninjauan Kembali (PK) atas putusan MA yang menolak kasasi Presiden Joko Widodo dan sejumlah pejabat lain supaya pemerintah tidak terlihat lemah oleh negara lain.
“Ini berkaitan dengan obligation responsibility, jangan sampai nanti dilihat oleh negara luar, negara Indonesia masih lemah dalam menangani karhutla,” ujar Moeldoko, Senin.
Menanggapi upaya PK pemerintah, Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law, Reynaldo Sembiring, menilai upaya itu merupakan usaha yang sia-sia. Pasalnya, putusan MA di tingkat kasasi merupakan bentuk permintaan pertanggungjawaban dari pemerintah untuk menjalankan amanat undang-undang yang memiliki relevansi dengan pencegahan dan penanganan karhutla.
Dia pun menilai langkah PK itu justru mengkhianati aturan yang dibuatnya sendiri, yakni Inpres Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. YK/SB/Ant/ers/WP