Jika Kebijakan Sekolah 5 Hari Dijalankan
Pro-kontra mewarnai rencana penerapan program sekolah lima hari mulai tahun ajaran 2017-2018 mendatang. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) menyebut bahwa durasi belajar selama 8 jam per hari tersebut, dikhawatirkan mengganggu pembelajaran di madrasah dan pesantren.
Wakil ketua Umum MUI, Zainut Tauhid Saadi mengungkapkan bahwa praktik pendidikan keagamaan di madrasah (Madrasah Diniyah) sudah lama dilakukan oleh masyarakat. Pengelolaannya pun secara sukarela dan dibiayai secara swadaya.
Pendidikan di madrasah lumrahnya setelah selesai jam pelajaran di sekolah umum baik SD, SMP maupun SMA. ”Kalau jam pelajarannya sampai 8 jam, pendidikan madrasah akan gulung tikar,” katanya.
Padahal, pendidikan di Madrasah Diniyah, kata Zain, selama ini telah memberikan kontribusi yang tidak ternilai dalam penguatan nilai-nilai keagamaan, pembentukan karakter dan penanaman akhlak bagi anak didiknya.
Selain itu, selama ini Madrasah Diniyah biasanya dikelola secara mandiri dan sukarela oleh masyarakat. Tidak ada support tetap dari pemerintah. Para guru yang mengajar juga dibayar dengan nilai yang tidak seberapa.
”Para ustad/ustadzah yang mengabdi tanpa pamrih akan kehilangan ladang pengabdiannya, ini akan jadi catatan kelam bagi pendidikan Islam di negeri ini,” kata Zain.
Meskipun kebijakan sekolah 5 kali 8 jam tidak buruk, namun Zain meminta Mendikbud Muhadjir Effendy untuk memikirkan kembali kesiapan sekolah-sekolah.
Pendidikan selama 8 jam harus diakomodasi dengan sarana dan prasarana pendukung yang nyaman dan memadai. Seperti kantin, sarana ibadah, dan sarana bermain.
Zain juga meminta Mendikbud untuk tidak memaksakan kebijakan sekolah 5 hari kali 8 jam untuk diterapkan serta merta di seluruh wilayah indonesia dalam waktu yang bersamaan. Prosesnya harus bertahap dengan seleksi dan persyaratan yang ketat. ”Misalnya, cuma diberlakukan bagi sekolah yang sudah punya sarana pendukung yang memadai,” ungkapnya.
Daerah juga diberikan opsi untuk menjalankan sistem pendidikan ini, atau memilih menyelenggarakan sistem pendidikan sesuai kearifan lokal masyarakat.
Sementara itu, Staf Ahli Mendikbud bidang Pendidikan Karakter, Arie Budiman menegaskan bahwa kekhawatiran bahwa madrasah dan pesantren akan gulung tikar tidaklah benar.
Pembelajaran 5 kali 8 jam bertujuan untuk menguatkan pendidikan karakter. Prinsip pendidikan karakter ini adalah sekolah mampu kreatif mengkolaborasikan kurikulum dengan sumber-sumber di luar sekolah. ”Seperti madrasah diniyah, komunitas sastra, sains, seni dan budaya,” kata Arie.
Justru dengan diberlakukannya pendidikan semacam ini, kolaborasi antara sekolah dan madrasah akan semakin erat. ”Jadi waktunya bisa disesuaikan, sangat fleksibel,” pungkasnya.
Penolakan juga datang dari Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU). Menurut PBNU, jam sekolah yang pagi hingga sore tidak sesuai dengan kultur budaya muslim Indonesia.
”Hal mendasar yang terjadi saat full day school diterapkan adalah matinya madrasah-madrasah diniyyah, belajar agama sore hari, interaksi santri-kiai di sore hari,” ujar Ketua PBNU Muhammad Sulton Fatoni dalam keterangan tertulis yang diterima koran ini, kemarin (11/6).
”Padahal di waktu dan proses sore hari itulah anak-anak muslim usia sekolah mendapatkan bimbingan etika dan moralitas yang matang, bukan di sekolah yang sarat target angka-angka. Inikah yang pemerintah inginkan?” tegas dia.
Menurut dia, kebijakan full day school tersebut tak aspiratif dan mendapat penolakan masyarakat. Jika aturan tersebut tetap dilaksanakan, ia menganggap Mendikbud hanya sekehendak sendiri. ”Jika tetap dilaksanakan mulai tahun ajaran baru, ini bentuk kebijakan yang tidak aspiratif, menang-menangan, sekehendaknya sendiri,” tegas dia.
Secara langsung dia juga mengkritisi pemerintah yang kerap gonta-ganti kebijakan dalam dunia pendidikan. Hal itu pula yang dianggap membuat pendidikan Indonesia belum mampu bersaing dengan dunia internasional.
”Sudahlah, sudahi tradisi buruk mengutak-atik sesuatu yang tidak substansial. Lakukan evaluasi secara berkala dalam kurun waktu yang ideal. PBNU tetap tidak setuju konsep full day school dan jika dipaksakan, Ketua Umum PBNU akan menghadap langsung ke Pak Presiden untuk menyampaikan ketidaksetujuan hal ini,” ancam dia.
Sebelumnya, Mendikbud Muhadjir Effendy menyebut, pemberlakuan sekolah lima hari dalam satu pekan sudah sesuai dengan standar kerja Aparatur Sipil Negara (ASN). Karena itu, jam belajar sekolah pun akan disesuaikan dengan jam kerja ASN, yaitu delapan jam.
”Jadi, kalau minimum delapan jam dan lima hari masuk, maka sudah 40 jam per minggu. Itu sudah sesuai standar kerja ASN untuk guru,” kata Muhadjir, beberapa waktu lalu.
Dia pun menegaskan bahwa pengurangan hari belajar di sekolah tidak lantas mengurangi waktu belajar. Sebab, jam belajar setiap hari bertambah, meski hari sekolah berkurang.
Sementara Direktur Jenderal (Dirjen) Guru dan Tenaga Kemendikbud Sumarna Surapranata menambahkan kebijakan lima hari sekolah dalam sepekan mulai diterapkan Juli 2017 atau pada tahun ajaran baru.
Kini, pemerintah masih mengodok regulasi terkait kebijakan ini. Terkait regulasi yang mengatur waktu kerja guru dan kepala sekolah, dia mengatakan, sudah tertuang dalam PP No 19 Tahun 2005. (*)
LOGIN untuk mengomentari.