Dahulu di Minangkabau, kalau seorang anak lahir ke dunia, bukan ayah-ibunya saja yang berbahagia, tapi juga seluruh isi korong-kampung. “Lah lahia anak si anu?” “Alah!.” “Sia namonyo?” “Abaknyo.” “Baa ruponyo?” “Kundua”. Begitulah dialog dalam cara kampung apabila seorang anak lahir, seperti dicatat oleh A.A. Navis dalam bukunya, Alam Terkembang Jadi Guru.
Apalagi kalau yang lahir itu adalah anak orang gedang-gedang, anak orang-orang berbangsa, anak raja asal-berasal, anak puti sundut-bersundut. Maka itu berarti rahmat bagi seluruh isi kampung. Barangkali ini tradisi yang berasal dari dunia kerajaan, baik yang ada di negeri-negeri jauh maupun yang dekat berhampiran. Lihatlah misalnya di Kerajaan Inggris, sampai kini kalau ada anak raja atau pangeran yang lahir, kelahirannya jadi berita besar dalam masyarakat Inggris.
Rubrik Minang saisuak kali ini menurunkan foto klasik yang mengabadikan perayaan “mencukur anak” di rumah satu keluarga terpandang di Padang (waktu itu): Hoofddjaksa Pamoentjak Maharadja. Peristiwa ini berlangsung pada bulan Oktober 1902. Maklumlah, yang mendapat anugrah titipan Tuhan adalah seorang besar: Jaksa Kepala. Tentu saja, seluruh handai tolan dan anggota masyarakat ikut bersuka ria. Lihatlah foto ini: terlihat deretan angku-angku datuak yang datang, juga orang-orang muda yang mejeng dengan sepeda mereka, kendaraan mewah waktu tu. Di latar depan kelihatan sang Hoofddjaksa sedang menimang sang buah hati yang diperhelatkan.
Foto kiriman Baginda Djamaloedin Rasad – putra Pariaman yang menjadi ‘koresponden’ berkala Bintang Hindia di Padang, yang kemudian pergi ke Belanda di akhir 1903 untuk menuntut ilmu di Sekolah Menengah pertanian di Wageningen – ini dimuat dalam Bintang Hindia bulan Januari 1903. Bintang Hindia menulis:
“(S)e-isi kota (Padang) beralat bersama-sama angkoe Pemoentjak Maharjadja, Hoofd-djaksa Padang.
Lebih poela dari pada itoe, dari Padang Darat poen toeroen berpoeloeh2 orang jang mengoendjoeng.
Orang Olanda, Orang Tjina, teroetama poela boemi poetera mengikoet beralat belaka. Kabarnja koenoen: Angkoe Pemoentjak-Maharadja ‘mentjoekoer anaknja’.
Lahir si anak ini menjoekakan hati beliau. Kesoekaan ini ta’ tjakap beliau simpan. Inilah sebabnja maka angkoe Pemoentjak Maharadja menoendjoekkan kesoekaan ini: Beliau beralat.
Setelah boemi poetera mendengar kabar ini, maka [mereka] poen bersiap hendak mengikoet melakoekan pekerdjaan itoe. Inilah soeatoe tanda, bahoea pegawai ini disajangi boemi poetera.
Apakah sebab, jang menimboelkan kesajangan, ketjintaan ini?
Kabarnja koenoen: angkoe Pemoentjak Mahardja telah 30 tahoen mendjabat pekerdjaan di Kota Padang. Tiga poeloeh tahoen beliau bekerdja dengan tiada pernah menimboelkan sakit hati pendoedoek kota ini. Daja oepaja ini menimboelkan pertjintaanm menimboelkan kesajangan didalam hati boemi poetera. Di boelan October j.l. (1902) telah ditoendjoekkan olih boemi poetera kesajangannja itoe. Lima hari koenoen lamanja angkoe Pemoentjak Maharadja wadjib mendjamoe orang jang datang.
Demikianlah latar sejarah foto yang kami tampilkan kali ini. Terlihat dalam foto ini rumah besar kediaman Angku Pemoentjak Maharadja. Insya Allah di nomor yang lain akan kami turunkan profil Hoofddajka Pemoentjak Maharadja. Prosesi mencukur anak adalah salah satu adat masyarakat Padang di zaman dulu. Sekarang mungkin tidak banyak lagi orang tua yang mempraktekkan adat lama pusaka usang ini. Maklum, kita adalah bangsa yang terus tagageh mengejar modernisasi.
*Suryadi – Dr Suryadi merupakan pengajar di negeri Belanda yang berasal dari Sumatera Barat. Tulisan beliau sering dimuat di Padang Ekspres dan media lainnya di Sumbar dan Indonesia. (Sumber foto: Bintang Hindia No. 1, Tahoen jang pertama, “Januari” 1903:2)
LOGIN untuk mengomentari.