Setelah delapan tahun menjabat sebagai orang nomor satu di Amerika Serikat, Barack Obama akhirnya kembali ke Chicago untuk memberikan pidato terakhirnya sebagai presiden pada Selasa (10/1). Obama terharu melihat sambutan masyarakat yang begitu antusias. Saat ia memberikan kata-kata pertamanya, para penonton bahkan meneriakkan, “Empat tahun lagi! Empat tahun lagi!” yang hanya bisa dijawab oleh Obama dengan, “Saya tidak bisa melakukan itu.”
Ia kemudian tersenyum, mengenang kembali ketika pertama kali menginjakkan kaki di Chicago, saat baru akan meniti kariernya di dunia politik. Kota itu menjadi saksi perjuangannya. Hingga akhirnya, di kota itu pula, delapan tahun lalu, Obama dielu-elukan dunia karena berhasil menjadi presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat. Namun kini, Obama mengakui bahwa rasisme masih menjadi salah satu tantangan bagi negaranya.
“Setelah saya terpilih, ada perbincangan mengenai Amerika pasca rasisme. Satu visi yang baik, maksudnya baik, tapi tidak realistis karena rasisme masih menjadi kekuatan yang dapat memecah belah masyarakat kita,” ucap Obama. Obama tak memungkiri, masyarakat sudah mulai berkembang dan menerima perbedaan ras dengan sangat baik. Namun hingga kini, masih ada diskriminasi dalam ekonomi di AS.
Obama berkata, tahun lalu, di bawah kepemimpinannya, pendapatan penduduk yang berasal dari beragam ras, jenjang usia, dan jenis kelamin memang meningkat. Namun, itu semua belum cukup. “Jika semua masalah ekonomi masih digambarkan sebagai perjuangan antara kelas menengah kulit putih yang bekerja keras dan minoritas yang tak pantas, maka kelas pekerja di segala bidang sebenarnya masih terus berjuang mendapatkan serpihan, sementara orang kaya mendapatkan keuntungan lebih banyak,” katanya.
Ia kemudian mengangkat isu kesetaraan bagi kaum pendatang yang belakangan menjadi sorotan karena presiden AS pengganti Obama kelak, Donald Trump, dikenal dengan pernyataan anti-imigran. Menurut Obama, AS justru harus merangkul para anak imigran. Pasalnya, pemuda imigran sebenarnya memiliki porsi besar dalam masyarakat AS sehingga dapat menjadi potensi pelaku ekonomi. “Jika kita tak mau menaruh investasi pada anak-anak imigran hanya karena mereka tak terlihat sepetti kita, kita kehilangan peluang bagi anak kita sendiri karena anak-anak berkulit cokelat itu mewakili porsi yang lebih besar dalam lingkungan kerja Amerika,” tutur Obama.
Lebih jauh, Obama juga mengatkaan bahwa AS harus menegakkan hukum untuk melawan diskriminasi, baik itu dalam masalah pekerjaan, perumahan, pendidikan, dan sistem pengadilan. Semua hal ini, kata Obama, sebenarnya sudah dijamin dalam konstitusi AS. “Namun, hukum saja tidak cukup. Hati kita harus berubah. Kita harus mencoba nasihat dari karakter fiksi hebat di Amerika, Atticus Finch, yang berkata, ‘Kalian tidak akan pernah memahami seseorang hingga kalian mempertimbangkan hal melalui sudut pandangnya, hingga memanjat kulitnya dan berjalan di atasnya.'” tutur Obama.
Obama pun menasihati para warga kelahiran Amerika. Ia mengingatkan bahwa prasangka mengenai imigran juga pernah melanda keturunan Irlandia, Italia, dan Polandia. Namun, Amerika tidak pernah melemah karena kedatangan pendatang baru, tapi justru menjadi lebih kuat. “Kita harus mencoba lebih keras untuk meulai pemikiran bahwa setiap warga negara kita mencintai bangsa kita sama besarnya seperti kita, bahwa mereka menghargai kerja keras dan keluarganya sama seperti kita, bahwa anak-anal mereka sama penasaran dan berharapnya dan berhak atas cinta sama seperti kita,” katanya.
Lantas, Obama meminta AS untuk belajar keluar dari kungkungan pemikiran sendiri. Kebanyakan warga AS, kata Obama, tak mau keluar dari tempurungnya, hanya menyerap informasi yang sesuai dengan pandangannya dan menolak perbedaan pendapat. “Tanpa kemauan untuk menerima informasi baru, dan mengakui bahwa lawan kalian menyampaikan poin yang baik, dan ilmu pengetahuan dan alasan juga penting, kita hanya akan terus berselisih, membuat kompromi tak mungkin dilakukan,” ucap Obama.
Ia mengakui, kini ada kekhawatiran mengenai terorisme terkait dengan penerimaan ideologi yang salah. Namun, itu tidak dapat menjadi alasan AS untuk mendiskriminasi kaum tertentu. “Demokrasi akan melenceng jika dikaitkan dengan ketakutan. Karena itu, saya melawan terorisme dengan posisi hukum yang jelas. Karena itu, saya menolak diskriminasi terhadap Muslim Amerika,” katanya.
Obama mengatakan, pertempuran melawan ekstremisme dan sektarian sebenarnya merupakan bagian dari upaya perlawanan terhadap agresi kekuatan otoriter. “Jika kebebasan dan penghormatan terhadap hukum semakin rendah di seluruh dunia, kemungkinan perang di dalam negara juga meningkat, dan kebebasan kita akan terancam. Jadi, mari waspada, tapi jangan takut,” tuturnya.
Dengan mantap, Obama mengatakan bahwa ISIS tidak akan dapat mengalahkan Amerika selama bangsanya berpegang pada konstitusi. “Rival-rival seperti Rusia atau China tidak dapat menandingi peran kita di dunia, selama kita tidak melepaskan apa yang kita yakini, dan membuat diri kita menjadi negara besar yang menindas negara tetangga yang lebih kecil,” katanya.
Agar bangsanya dapat terus berpegang pada konstitusi, kata Obama, masyarakat harus berperan aktif. “Semua ini membutuhkan partisipasi kalian. Kita semua memiliki tanggung jawab sebagai warga negara, tak peduli ke arah mana pendulum kekuasaan mengarah,” katanya. Akhirnya, Obama menutup pidatonya dengan memodifikasi slogannya saat berkampanye. “Yes, we can. Yes, we did. Yes, we can!”
LOGIN untuk mengomentari.