in

Pilkada Usai, Pilprogram Mulai

Pilkada daerah Jakarta usai, dengan keunggulan pasangan Anis Baswedan-Sandiaga Uno, menyisihkan pasangan Ahok Basuki Purnama dengan Djarot. Berakhirlah, sementara, keriuhan dan kegaduhan yang dinilai bisa merobek keutuhan bersama. Bukan hanya “membelah” masyarakat Jakarta Raya, melainkan juga di daerah lain—yang tidak ikut memilih dalam Pilkada ini.

Kini, semua sudah usai, Rabu (18/4/17) lalu. Yang tersisa masih dalam bentuk humor lucu-lucuan: kalau Ahok tak terpilih di Jakarta, bisa ikut pemilihan di Palangka Raya, kan ibu kota akan dipindah ke sana. Atau sudah disediakan jabatan lain. Atau yang haru:

memberi kesempatan Ahok beristirahat dari “sasaran demo.” Ahok menjadi titik pembicaraan karena petahana, karena ia mengundang perhatian. Ada juga yang mengingatkan janjijanji : bisa memperoleh rumah di Jakarta dengan uang muka 0 %, atau bertransformasi dengan kendaraan hanya dengan lima ribu rupiah,atau hal lain yang terkait dengan janji dalam kampanye.

Atau juga komentar jenis lain: mana ada janji pilkada atau pemilu menjadi janji yang harus dipenuhi? Barang kali ini semua karena masyarakat terlibat –walau tidak langsung, dan memberi komentar.

Mungkin juga sikap kritis karena telah dikecewakan sebelumnya. Bisa jadi karena menggunakan media sosial sangat mudah, juga murah— apalagi kalau dibayari. Dan selama kejadian berlangsung, sejak putaran pertama, hal – hal semacam ini menderas di arus informasi dengan segala ketajaman,kedalaman, dan “keterbelahan”.

Keterbelahan dua sisi yang saling berlawanan, bukan sekadar berbeda. Dan ini bukan sekadar ucapan dasn ungkapan melalui cuitan belaka, melainkan dengan tulisan panjang— kadang lebih panjang dari opini di koran, kadang layak baca. Walau, seperti di mana pun, juga ada kelewat emosional.

Namun dari opini yang panjang itu kadang muncul hal-hal baru menawarkan sesuatu yang baru, atau minimal tak terpikirkan sebelumnya. Apa hubungannya dengan Freeport, atau Donald Trump, atau Tiongkok. Kenapa media besar di manca juga membahas secara serius di halaman satu ?

Kenapa Koran sekaliber The Wall Street Journal , edisi Asia, menampilkan di “head line” tanggal 20 kemarin, dengan mengingatkan kekuatan tertentu? Tanpa mengabaikan kerisauan yang sempat muncul dan tak mudah dianggap tidak ada, sebaiknyalah setelah Pilkada usai, yang menjadi prioritas adalah Pilihan Program2 untuk kesejahteraan rakyat Jakarta khususnya. Baik program sosial,pendidikan, transformasi dan yang terlihat dan dialami setiap saat:

kemacetan,atau juga program banjir. Ini bisalah tetap menjadi pilihan untuk diselesaikan sebaik-baiknya, dalam waktu yang telah ditentukan dalam masa jabatan. Itulah yang diharapkan, itulah yang “sebaiknya”. Namun, di sini kembali kita menenggelamkan kegelisahan, bahwa pengertian “sebaiknya” adalah atas dasar yang paling mendasar.

Kebersamaan dalam memahami konsensus dasar kebangsaan 1945. Barang kali ini sekadar pengingat lagi, barang kali juga diabaikan kalau tetap berada dalam pemikiran yang sama.

Yang membedakan hanya cara pelaksanaan, mungkin juga prioritasnya yang bisa diatasi dalam komunikasi. Namun masih dalam harapan, dalam kata “sebaiknya”, dalam istilah “seharusnya”, yang berawal dari benar-benar sebuah kebersamaan. Untuk kesejahteraan dan masa depan yang lebih baik bagi Jakarta.

What do you think?

Written by virgo

Menikah Itu Bukan Hanya Menyatukan Dua Hati, Tetapi Juga Dua Keluarga

10 Meme "Ujian Sekolah" Ini Pasti Bikin Kamu Semangat