in

Piutang Negara dari BLBI Wajib Ditagih

Pengelolaan Keuangan I Penagihan Sisa Piutang Harus Mengacu Perjanjian MRNIA dengan Bunga Majemuk 2 Persen Per Bulan

» Utang pajak pengusaha kecil ditagih dan dikejar-kejar, kenapa utang debitur BLBI yang begitu besar didiamkan.

» Moratorium pembayaran bunga obligasi rekap BLBI satu-satunya jalan karena pemerintah sudah kehabisan instrumen moneter.

JAKARTA – Pemerintah se­benarnya masih punya celah mengoptimalkan penerima­an negara di tengah anjlok­nya sumber penerimaan dari perpajakan dan penerimaan lainnya. Peluang itu dengan memanfaatkan piutang negara seperti hak tagih Bantuan Li­kuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang oleh obligor (penerima) belum dibayar seluruhnya ka­rena mereka berlindung di balik Surat Keterangan Lunas (SKL) yang mereka kantongi dan hanya ditandatangani oleh Kepala Badan Penyehatan Per­bankan Nasional saat itu.

Padahal UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Nega­ra, Bab V Pasal 37 Ayat 2 Poin c menyebutkan penghapusan piutang negara ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR untuk jumlah lebih dari 100 miliar rupiah.

Sedangkan yang diterima obligor nilainya triliunan ru­piah dan tidak pernah ada pembahasan soal ini antara Presiden dan DPR apalagi se­cara tertulis.

Guru Besar Ilmu Hukum Perdata Universitas Airlang­ga Surabaya, Lucianus Budi Kagramanto, yang dimintai pendapatnya, Kamis (10/9), mengatakan dalam kondisi menjelang resesi seperti seka­rang, pemerintah layak menca­ri pemasukan untuk menutupi kekurangan anggaran, teruta­ma sumber pemasukan poten­sial seperti piutang BLBI yang telah lama terabaikan.

“Dalam kondisi pandemi seperti sekarang, apalagi teran­cam resesi, sangat layak ditagih utang-utang seperti BLBI dan lainnya. Meskipun sudah lama sekali, utang-utang ini perlu dikejar pokok dan bunganya sesuai kesepakatan yang me­reka tanda tangani dalam Mas­ter of settlement and Acquisi­tion Agreement (MSAA) dan Master of Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA),” kata Lucianus.

Dengan anggaran yang minus, sangat wajar, kata Lu­cianus, mengoptimalkan ber­bagai upaya untuk mendapat pemasukan, karena rakyat da­lam krisis pandemi sudah sa­ngat terbebani, sementara sulit mengharapkan pajak.

Sebagai informasi, dalam klausul MRNIA disebutkan untuk pokok utang yang tidak dibayar oleh obligor dikena­kan bunga 2 persen per bulan dengan bunga majemuk. Kalau tidak berbunga majemuk saja selama 22 tahun sudah menca­pai 258 persen.

Kehabisan Instrumen

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Kha­dafi, mengatakan moratorium pembayaran bunga obligasi rekap BLBI satu-satunya ja­lan karena pemerintah sudah kehabisan instrumen moneter untuk memfasilitasi kebutuh­an APBN. Apalagi utang sudah menggunung dan untuk mem­bayar sudah tidak cukup walau­pun dengan utang berapa pun. Sebab itu, pemerintah harus mencari pendapatan lain saat pajak sulit diharapkan.

“Kasus BLBI dibuka lagi, un­tuk mengejar pendapatan nega­ra karena BLBI itu besar. Negara harus kejar dan tagih debiturnya dan tujuh turunannya, harus tanggung jawab,” kata Uchok.

Pemerintah, kata Uchok, harus tegas mengejar debitur BLBI itu karena tidak pernah melunasi kewajibannya. SKL tidak menghapus utang karena tidak benar secara hukum dan bertentangan dengan UU Per­bendaharaan Negara. Selama ini belum pernah Presiden dan DPR mengeluarkan secara ter­tulis penghapusan utang.

Sementara itu, para debitur itu sangat kata raya meninggal­kan Indonesia dan rakyat yang miskin. “Itu harus ditagih, utang pajak saja ditagih, apalagi Utang BLBI. Jangan hanya pokok, tapi juga bunganya sesuai MSAA dan MRNIA,” kata Uchok.

Semua itu, jelasnya, harus dikejar untuk diselesaikan se­cara hukum, jika perlu menyita hartanya. Langkah yang dilaku­kan Menteri Keuangan (Men­keu) menatausahakan aset eks BLBI dengan melakukan peng­amanan fisik dan yuridis atas sejumlah aset properti dinilai hanya sebagian kecil dari bunga­nya yang sudah mencapai 300 triliun rupiah, bukan pokoknya. Jika dibandingkan dengan be­ban yang ditanggung negara aki­bat penerbitan obligasi tersebut tidak adil karena sudah menca­pai sekitar 4.000 triliun rupiah.

Kemenkeu, tambah Uchok, semestinya bisa menagih piu­tang BLBI itu melalui Badan Urusan Piutang Negara. Pene­gak hukum seperti KPK bisa membantu apalagi tiga pim­pinan terdahulu sudah berjanji akan menagih.

“Debitur BLBI itu kong­lomerat, menurut Forbes, 40 persen kekayaan negara dia kuasai. Kenapa tidak ditagih, padahal negara lagi membu­tuhkan makan, lucunya malah diajak berteman,” katanya.

Kalau penagihan tidak di­lakukan, dia khawatir akan mengganggu kepercayaan in­vestor terhadap Indonesia da­lam melakukan penegakan hu­kum. Investor internasional pasti enggan ke Indonesia kalau hu­kumnya seperti hukum rimba.

Di AS, katanya, ada UU yang dikenal dengan Foreign Practice Act yang melarang warganya melakukan suap di negara mana pun. Kalau dia menyuap di In­donesia, dia akan dipidanakan.

Dengan aturan seperti itu, investornya mana mungkin mau ke Indonesia.

“Akhirnya, investor yang datang ke Indonesia adalah in­vestor yang mau enaknya saja. Padahal yang kita harapkan adalah investor yang mem­buka lapangan kerja, transfer teknologi, meningkatkan kon­ten lokal. Tapi investor seperti itu mana mau kalau tidak ada kepastian hukum, keadilan hu­kum, dan kebenaran hukum. Belum lagi pajak siluman yang tidak dipertanggungjawabkan. Mereka akan memilih Taiwan, Vietnam, dan Thailand yang hukumnya lebih pasti,” katanya.

Manfaatkan Momen

Sebelumnya, Ekonom Uni­versitas Muhammadiyah Yogya­karta, Ahmad Maruf, mengata­kan di tengah pandemi Covid-19, semestinya pemerintah memanfaatkan jadi momentum untuk melakukan moratorium bunga obligasi rekap BLBI guna meringankan keuangan negara yang sedang tertekan.

“Saat ini ada momentum moratorium. Pertama, bunga BLBI menyedot banyak uang rakyat karena sudah dibayar berlipat-lipat. Kedua, momen­tum krisis ini menjadikan kita bisa renegosiasi,” kata Maruf.

Pakar Hukum Pidana Univer­sitas Trisakti, Abdul Fickar Had­jar, dalam kesempatan terpisah mengatakan negara sangat me­mungkinkan menagih sisa piu­tang ke obligor sesuai perjanjian yang ada sebelumnya.

Dia mengatakan ada keke­liruan dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 yang menjadi dasar dikeluar­kannya SKL bagi debitur, sehing­ga lalai melunasi kewajibannya.

“Kerugian negara itu, bu­kan hanya secara materil, te­tapi juga mencederai keadilan terhadap rakyat karena para obligor masih hidup dengan bergelimang harta, sedangkan masyarakat yang terdampak,” tutupnya. n SB/uyo/ola/E-9

What do you think?

Written by Julliana Elora

Kasdam II Sriwijaya Bagikan Masker di Pasar Lemabang

Impor Membuat Posisi Tawar Petani Terus Jatuh