Pertemuan Presiden Jokowi dengan para pimpinan media di Istana Merdeka Rabu siang berlangsung gayeng. Dengan sangat gamblang dan lancar, presiden menjelaskan berbagai capaian pembangunan yang telah berjalan. Mulai pertumbuhan ekonomi 2016, pengembangan infrastruktur pelabuhan, hingga pembangunan jalan trans-Papua yang baru saja dia kunjungi. Semua diceritakan dengan sangat lancar, hafal di luar kepala.
Tapi, penjelasan itu terhenti sejenak tatkala presiden mengawali penjelasan tentang penegakan hukum. Suasana hening beberapa saat, setelah itu dia mengungkapkan komitmen pemerintah untuk tetap membubarkan organisasi yang bertentangan dengan Pancasila. Menurut dia, organisasi itu sudah ada selama bertahun-tahun dan tetap dibiarkan. Pembubaran tentu saja melalui prosedur hukum dan saat ini sedang diurus Kemenko Polhukam.
Siapa pun tahu, organisasi masyarakat yang dimaksud presiden adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ormas Islam yang sebenarnya tidak terlalu besar, tapi gaung rencana pembubarannya membuat HTI dibicarakan di mana-mana. Sampai-sampai, presiden membuat suasana hening sejenak untuk memberikan penekanan penjelasan kepada pimpinan media bahwa masalah itu sangat penting.
Entah sudah dihitung konsekuensinya atau belum, publikasi rencana pembubaran HTI dilakukan setelah pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Pro-kontra pun langsung mengiringi. Sebab, pilkada DKI telah “membangun” polarisasi masyarakat dengan kasus penistaan agama oleh petahana Basuki Tjahaja Purnama. Mayoritas umat Islam merasa tersakiti dan tidak sedikit yang akhirnya menaruh simpati pada HTI.
Media sosial menyambut peristiwa itu dengan sangat liar. Ada yang mendukung pembubaran, ada pula yang mengkritik pemerintah bersikap lebay. Lebih parah, ada yang membuat analisis bahwa sikap pemerintah sangat reaktif terhadap apa pun yang berbau Islam. Begitulah, media sosial dengan bebas membuat gambaran dengan framing sesuka hati.
Bibit polarisasi telanjur tumbuh mengiringi pilkada DKI Jakarta. Harapan bahwa polarisasi itu terurai setelah pilkada usai ternyata tidak terwujud. Bukan tidak mungkin, pola risasi itu akan sengaja dijaga oleh pihak tertentu untuk menuju Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Sangat penting bagi pemerintah, khususnya presiden, untuk memberikan perhatian lebih dalam masalah polarisasi itu. Mungkin sudah saatnya dicari penasihat yang benar-benar memahami dinamika terbaru kehidupan beragama, khususnya Islam di Indonesia. Penasihat yang membantu membangun jembatan antara pemerintah dan semua kelompok masyarakat, bukan yang malah memutus komunikasi.
Jangan sampai presiden yang merupakan representasi pemerintah dikesankan terbawa dalam polarisasi dan menjauh dari umat. Apalagi jika ujung-ujungnya adalah hajatan politik 2019. (*)
LOGIN untuk mengomentari.