Oleh Yuli: Rahmad*
Dulu, seorang teman yang tak lain tetangga berbilang tiga rumah di bagian utara kena cap olah oleh ayahnya. Ayahnya pemilik toko sembako. Cukup dikenal di tempat kami tinggal. Sang Teman sebut saja namanya Kumbang memang dimanja. Jajannya besar, 1:10 dibandingkan saya. Kalau jajan saya Rp 1000, Kumbang bisa Rp 10.000. Sayang, itu juga masih belum cukup. Ada saja bualan yang disampaikan ke orang tuanya untuk mendapatkan jajan tambahan.
Pun sang ayah tetap memberikan jajan tambahan, namun pemberian itu selalu dibarengi dengan kecaman sekaligus nasehat. “Dia itu memang pintar olah. Padahal duit itu mungkin dipakai untuk main game di Banda Plaza. Jangan contoh dia itu, kalian anak baik,” ujar ayahnya kepada kami, dulu sekali.
Beberapa tahun lalu, seorang kandidat legislatif DPR RI meluapkan kemarahannya kepada sang asisten. “Itu orang olah aja. Nggak bisa pakek. Nggak bisa masuk dalam tim. Cukup kali ini aja” katanya menunjuk salah satu Timses yang mengaku aktif di organisasi besar.
Kemarin, seorang seniorita di salah satu organisasi keagamaan, sebut saja namanya Cut Kak menelpon saya untuk mencari tau keberadaan seorang teman. Sebut saja teman yang dicari bernama Bang Sam (Sem-Red). Namanya dipanggil dengan sedikit gaya kebarat-baratan. Cut Kak marah besar. Dulu Bang Sam pinjam uang Rp 50 Juta untuk alasan bisnis, sampai sekarang belum selesai. Ditelepon tak diangkat, di-sms tak dibalas, dan di-wa hanya dibaca saja. Tak ada respon. Padahal utangnya sudah berkalang tahun.
Pernah satu waktu rumahnya didatangi Cut Kak. Alasannya banyak. Sakitlah. Lupa balas. Keluar kota selama seminggu. Pas ditelepon, kebetulan lagi rapat. Dan banyak alasan lainnya. “Dasar tukang olah, ngakunya tokoh muda, padahal tokoh olah,” ujar Cut Kak berang.
Nampaknya tiga pengalaman empiris itu memberikan gambaran kepada saya betapa kata olah di Aceh termasuk kategori perilaku buruk. Hanya tingkat olah saja yang berbeda. Bedanya, hanya korban olah saja yang berganti. Tapi tetap saja buruk.
Padahal sebagai orang yang sedang belajar berwirausaha, kata olah itu tidak selalu bermakna negatif. Olah dalam pendekatan bisnis, saya artikan sebagai negosiasi. Dalam sebuah negosiasi, apapun bisa diolah untuk mendapatkan sebuah kepercayaan bisnis. Untuk mendapatkan kontrak kerja, kita perlu mengolah tata bahasa yang bagus tapi dibarengi dengan wawasan yang luas. Kita perlu mengolah produk yang biasa menjadi luar biasa.
Yang paling penting, hasil olah tersebut berupaya kepercayaan dari para mitra mesti dijaga dengan baik. Semua tanggungjawab kerja baik berupa hak dan kewajiban harus dipenuhi dengan konprehensif. Tidakpun sempurna, minimal para pihak terkait menerima hasil kerja tersebut sebagai proses perjalanan kesepakatan dan kemudian diakhiri dengan baik-baik.
Tapi, apa yang terjadi kemarin dalam pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad SAW oleh pengurus Fund Oentoek Bantoean Atjeh (FOBA) belum termasuk olah yang bijak. Para pihak tentu sudah menyadari betapa menghadirkan sosok Gubernur Aktif Basuki Thahaja Purnama (Ahok) yang tersandung Kasus Penistaan Agama Islam dalam kegiatan Maulid di wahana FOBA adalah perjudian besar. Antara dipuji karena memiliki kedekatan personal dengan sang gubernur dengan harapan tertentu, atau sebaliknya bakal dicaci karena banyak sekali unsur khilafiah yang tidak sembarangan kesimpulan baiknya bisa diambil.
Dan yang terjadi adalah kiriman caci maki. Tudingan. Kecaman. Do’a jelek, dan lain sebagainya yang datang dari berbagai elemen. Bahkan beberapa tokoh ulama ikut mengomentari hal tersebut. Sungguh, hasil olah yang tidak tepat dan tidak baik.
Ironisnya, tekanan tersebut kini dialamatkan kepada teman-teman pengurus FOBA. Tentu kita perlu melihatnya secara jernih. Kami meyakini, kemampuan olah teman-teman pengurus aktif FOBA belum sampai ke meja Ahok. Pun secara administrasi pihak penyelenggara dan pengurus ikut mengirimkan undangan, namun menghadirkan Ahok ke acara komunitas yang belum bisa dikatakan mayoritas sangatlah susah. Ada andil yang lain di belakang ini. Ada andil tokoh lain.
Diakui atau tidak, belajar itu tak pernah lepas dari bagaimana pendahulu belajar. Pun ada perubahan baik alasan geografis dan iklim, metode belajar jarang sekali berubah secara drastis. Misalnya saat di kampus dulu, setiap empat tahun, kurikulum boleh berubah, namun nuansanya sama. Masih ada mahasiswa olah absen, olah tugas, dan lainnya. Sebagian melakukan hal itu karena kondisi alam seperti alasan bekerja setengah hari dan lain sebagainya. Sebagian yang lain mengaku belajar dari pendahulunya. Kakak leting, senior.
Apa yang terjadi di FOBA kemarin harusnya direspon dengan cepat oleh para pendahulu, atau senior yang ikut dalam acara itu. Khususnya senior yang mau mengakui ada keterlibatan dirinya dalam menghadirkan Ahok ke acara Maulid. Para pihak ini mesti gentleman (berani-Red) tampil dan mengaku ke public atas insiden salah olah ini. Mengaku politik olahnya salah akan lebih baik dibandingkan mengorbankan para pengurus aktif FOBA yang terus ditekan oleh public Aceh. Mereka sedang studi, sedang berjuang menyelesaikan sarjana dan masternya. Dosa ini tak layak dibebankan kepada mereka. Sikap negarawan ini akan menjadi pembelajaran yang baik bagi anak-anak muda. []
*Penulis merupakan warga Aceh di Bekasi.