Dilatari niat tulus, selama ini, saya selalu mengusung tiga tema utama saban kali menyoroti institusi kepolisian. Pertama, pentingnya kepedulian pada sisi insani personel kepolisian. Kedua, situasi idaman berupa kemitraan antara masyarakat dan polisi. Ketiga, masukan apalagi kritik terhadap polisi tetap dibutuhkan, namun jangan sampai membuat para personelnya, utamanya yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, mengalami demotivasi dan demoralisasi.
Semua muatan itu bisa ditakar lewat pernyataan-pernyataan maupun tulisan-tulisan saya di berbagai media dan forum diskusi publik.
Tapi film “Kau adalah Aku yang Lain” benar-benar bikin gempar. Kendati cuma berdurasi hanya beberapa menit, isi film itu diperburuk oleh penayangannya pada masa keramat bagi umat Islam. Tambahan lagi, film itu dipublikkan melalui akun media sosial resmi Polri, serta diperparah oleh penghargaan yang dianugerahkan kepadanya. Empat hal itu -isi, momen, pengunggah, dan trofi- menggumpal sedemikian sempurna, mempertaruhkan kepercayaan masyarakat sebagai amunisi andalan otoritas kepolisian.
Perpaduan empat hal pada film “Kau adalah Aku yang Lain”, seperti tersebut di atas, berpotensi kuat menimbulkan sejumlah dampak. Yaitu, kekecewaan, amarah, dan sakit hati masyarakat, khususnya komunitas muslim. Dan itu adalah respons yang sangat manusiawi. Terlebih ketika pada saat yang sama masyarakat secara sungguh-sungguh tengah berupaya memadamkan gelegak hati mereka pasca inkracht-nya putusan hakim terhadap terdakwa penista agama.
Dampak lain adalah, alih-alih menanam impresi serta ingatan positif masyarakat tentang profesionalisme dan civility personel kepolisian, film dimaksud justru menghadirkan risiko berupa merenggangnya relasi masyarakat dan polisi. Juga, tak bisa dipungkiri, ‘berhadap-hadapan’-nya dua representasi umat dalam film tersebut dapat berimbas suram terhadap harmoni dalam kebhinekaan sebagai narasi sentral yang sedang hangat di Tanah Air. Ringkasnya, gagal menjadi produk kreatif yang mendapat tempat di hati khalayak, film “Kau adalah Aku yang Lain” justru sangat mungkin berakibat kontraproduktif bagi institusi kepolisian sendiri.
Secara khusus, penghargaan yang diberikan kepada film “Kau adalah Aku yang Lain” menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana sesungguhnya persepsi masa kini antara polisi dan komunitas agama tertentu. Pertanyaan semacam itu pula yang melatarbelakangi banyak riset tentang persepsi bahkan perlakuan antara polisi dan kelompok ras tertentu di Amerika Serikat.
Simpulan kajian-kajian di negeri Paman Sam tersebut ternyata serupa satu sama lain, bahwa memang ada persepsi dan perlakuan diskriminatif. Polisi cenderung memandang negatif warga dari ras tertentu dan, demikian pula kebalikannya, ras tertentu cenderung menilai polisi secara lebih negatif dibandingkan dengan penilaian dari ras lain.
Tentu, apabila studi yang sama dilakukan di sini, saya berharap temuannya tidak akan semengerikan itu. Begitu juga, saya ingin menyingkirkan jauh-jauh purbasangka bahwa sentimen negatif itu pula yang mendasari keputusan juri untuk memenangkan “Kau adalah Aku yang Lain” sebagai juara pertama kategori film pendek Police Movie Festival ke-4. Sama halnya, saya ingin mengubur dalam-dalam rasa khawatir bahwa saat ini pada otoritas penegakan hukum tengah berkembang agenda untuk memomisikan komunitas tertentu sebagai pihak yang harus dijadikan sebagai sasaran utama dalam kerja partikular mereka.
Betapa pun masifnya reaksi negatif khalayak terhadap film “Kau adalah Aku yang Lain”, sebagai sebuah institusi, Polri tetap harus dijaga. Walaupun kepercayaan publik terhadap jajaran kepolisian bisa amat-sangat dipertaruhkan akibat film tersebut, korps Tribrata harus tetap terus didorong agar bisa menjadi sahabat terpercaya masyarakat. Membiarkan rasa percaya menguap tak bersisa hanya akan menciptakan situasi ideal bagi aksi-aksi kejahatan. Dalam situasi seperti itu, polisi dirugikan, meski tetap masyarakat sendirilah yang paling terkorbankan.
Memang, tidak adil bahkan sama sekali tidak realistis apabila masyarakat menjadi satu-satunya pihak yang diberikan ‘beban’ untuk mempertahankan kepercayaan mereka terhadap lembaga kepolisian. Institusi kepolisian juga harus melakukan sesuatu agar public -selaku pihak yang terlukai-sudi untuk melakukan itu. Langkah konkret yang sudah sepatutnya diambil Polri adalah dimulai dengan meminta maaf kepada masyarakat luas, teristimewa kepada komunitas yang di dalam film “Kau adalah Aku yang Lain” telah digambarkan (difitnah) secara keji sebagai kaum penindas.
Polri juga sudah sepantasnya menarik kembali pengumuman tentang pemenang Police Movie Festival ke-4, sekaligus menyatakan pengumuman tersebut sebagai kekeliruan.
Seiring dengan itu, Divisi Profesi dan Pengamanan Polri semestinya terpanggil untuk melakukan penyelidikan secara serius dan tuntas terhadap lingkup internal kepolisian. Langkah ini semakin relevan karena poster-poster Police Movie Festival memuat logo Polri. Divisi Propam perlu bergegas menelisik unit dan individu di dalam organisasi Polri yang telah menjerumuskan institusi kepolisian ke situasi kritis yang kini sedang berlangsung.
Puncaknya, sebagai kompensasi atas kerusakan fatal berupa terkoyaknya amunisi utama polisi, adalah tak terelakkan: seluruh jajaran kepolisian dan masyarakat yang polisi layani patut menundukkan kepala, serta mengkhidmatkan diri dalam doa yang selama ini berulang-ulang dipanjatkan oleh para pemuka agama sebagai tanda kecintaan pada bangsanya. Yaitu, agar Tuhan mengirimkan pemimpin yang melaksanakan perkara terbaik bagi diri mereka (baca: organisasi) sendiri serta bagi semesta orang di negeri ini. (*)
LOGIN untuk mengomentari.