Terkadang memang, butuh banyak kekuatan menceritakan ini. Cerita yang terkadang membuat suasana hati menjadi resah. Seakan-akan aku bukanlah manusia yang bersyukur dengan semua yang ku miliki sekarang. Sesekali, ku buka kotak usang bersemayamkan kenangan lama. Ketika kami berjalan bersama di ujung senja merah penuh romansa.
Ketika nelangsa berubah menjadi sorai gembira dan gundah pun berganti kidung sarat makna. Saat pundak itu siap menyambut lelah, seketika sedih terbasuh hangat pelukan. Dia adalah tentang hidup dengan perjuangan panjang, tentang mimpi yang remuk dan mati dalam genggaman. Demi menghidupkan keinginan jiwa yang lain.
Dia adalah pahlawan bagi seorang bocah perempuan. Kusebut dia Bapak. Bapak hanya pria biasa, sekilas tak ada yang istimewa darinya. Dengan seragam merah putih yang hanya empat tahun saja menemaninya, sudah jelas bapak bukan pria berpendidikan tinggi atau akademisi.
Sampai hari ini tak pernah kutemukan selembar Ijazah bertuliskan namanya. Bapak juga bukan pria berada jika Motor Honda cub 70 alias Astrea bulan disingkat asbul, menjadi tunggangannya sejak bujangan. Tapi Bapak memberiku sebuah sepeda motor (tentu lebih bagus dari motor Bapak) supaya lebih leluasa pergi bekerja.
Bapak tidak pernah punya telepon genggam apalagi smartphone yang canggih itu. Bapak juga hanya punya satu buah dompet kulit dengan bau yang sangat khas dan lusuh, yang sudah bertahun-tahun tak pernah diganti. Tak satupun barang mewah yang Bapak punya. Seingatku, Bapak hanya punya satu jam tangan yang sudah kusam besinya, retak dan penuh debu dalam lingkarannya.
Dan jam tangan itu hanya akan dipakai ketika hari-hari penting dan istimewa saja. Dengan kesederhanaan yang melekat dengan dirinya, maka mustahil bagi kami sekeluarga hidup bermewah-mewah. Namun sebagai Pahlawan superior, tentu tak kan mungkin Bapak biarkan kami tidak bahagia. Bapak selalu punya cara melakukan itu semua.
Meski jajanan termewah kami hanya semangkok bakso atau sepiring sate yang dibeli dengan porsi setengahnya, supaya bisa cukup untuk kita semua. Bahkan martabak Mesir H. Wan yang tersohor itupun juga sama nasibnya. Tapi hebatnya Bapak, kami tidak pernah merasa kelaparan dan kekurangan.
Bapak juga selalu membuat hari-hari pertama sekolah kami bersemangat pada setiap tahunnya. Karena pasti akan ada kotak pensil baru lengkap dengan isiannya. Sepatu sekolah dan tas baru akan Bapak pastikan awet dan tahan banting anti badai petir selama setahun penuh.
Jangan harap semua itu akan terlihat lucu dengan model feminin, karena tidak mungkin bagi kami membelinya kembali di tahun yang sama. Semua sudah terukur dengan baik oleh Bapak. Pada saat pembagian rapor juga menjadi penentu, karena perolehan angka sembilan dan delapan nilai rapor kami berbanding lurus dengan jumlah uang yang akan kami peroleh.
Begitulah cara Bapak menghargai kerja keras dan memotivasi belajar kami dan juga rasa terima kasih Bapak kepada kami yang telah mengobati rasa penatnya. Wajah Bapak akan berbinar ketika angka sembilan muncul dirapor kami. Bapak akan senyum dan menatap dalam.
Aku ingat Bapak pernah membawaku ke toko buku untuk membeli kamus Bahasa Indonesia. Hanya karena aku bertanya arti sebuah kata malam itu. Bapak yang tidak ingin mati gaya karena tidak tahu maknanya, dan tentu saja Bapak tidak ingin aku seperti dirinya. Mungkin Bapak tidak tahu maknanya tapi Bapak akan pastikan ditangannya selalu ada solusi.
Kami pun selalu dibawa berlibur setiap tahunnya. Ibarat pegawai kantoran, Bapak akan ambil cuti dari kerjanya untuk kami liburan keluarga nonton pacuan kuda, yang berjarak tiga kilometer dari rumah kami. Bapak sangat bersemangat jika hari itu tiba, kami dibawa serta dan Bapak sangat gembira.
Bahkan sampai seragamku berubah putih abu-abu aku tetap nonton pacuan kuda, bersama Bapak. Pakaian barupun juga akan kami dapat satu kali dalam satu tahun, baju lebaran. Bapak akan ajak serta kami berkeliling toko yang sama setiap tahunnya, bahkan toko dan pemiliknya sampai sekarang masih ada. Dan Bapak selalu menawar di angka yang tepat, karena semua sudah terukur dengan baik.
Bapak telah bekerja keras tanpa jeda untuk semua itu. Seringkali ku lihat kuku kaki dan tangannya menghitam, bekas pukulan palu yang salah sasaran. Kulit tangan dan kaki yang kasar, legamnya kulit kering yang bermandi matahari, menjadi saksi apa yang kami santap dari hari ke hari. Ada peluh dan darah dalam tiap suapan kami.
Ada sakit yang tidak pernah Bapak ceritakan dalam setiap halaman buku-buku sekolah kami. Ada letih tak terperi di balik pakaian dan sepatu baru kami. Ada tangis yang sengaja bapak telan, demi kelangsungan hidup dan masa depan kami. Bahkan mungkin Bapak sudah mengubur sendiri semua keinginannya demi kami. Karena Bapak akan lebih kecewa jika tidak melihat kami tertawa bahagia didekatnya.
Kini aku anak sulungnya, hanya bisa menggambarkan Bapak kepada semua orang, tanpa bisa menghadirkannya. Aku yang pernah menjadi saksi bagaimana getirnya hidup sanggup kami jalani karena Bapak. Dan Bapakpun kuat karena memiliki kami. Namun sayang, takdir tidak pernah bisa kita tebak, akan membawa hidup kita ke mana. Karena kini kami sudah tidak bersama.
Seharusnya Bapak menjabat tangan suamiku di hadapan penghulu saat itu. Namun Bapak tidak hadir. Seharusnya Bapak hadir saat kami sedang membangun rumah tangga, saat sulitnya menyatukan dua kepala. Seharusnya Bapak menyaksikan bagaimana kami menjalani hidup dari hari ke hari.
Seharusnya Bapak hadir saat kelahiran anak-anak ku, dan ikut dalam pertumbuhan mereka. Tapi Bapak tidak ada, karena kami sudah tidak memilikinya. Seandainya kami punya kesempatan mengganti Baju Koko yang usang, membawakan Bapak sarung baru dengan kemasan kotak yang akan Bapak bawa Jumatan.
Seandainya jam tangan dan dompet lusuh Bapak bisa kami ganti dengan yang lebih baik. Seandainya bisa kami bawakan semangkok bakso dengan porsi penuh. Juga menyantap martabak Mesir H. Wan langsung digerobaknya, yang biasanya hanya bisa Bapak lirik dari seberang toko buku. Karena kotak pensil baru kami jauh lebih menjanjikan kebahagiaan bagi Bapak.
Seandainya Bapak punya waktu yang panjang sehingga senja dan rentamu adalah milikku, tentu rindu tak akan sepedih ini. “Alloohummaghfirlii waliwaalidayya warham humma kamaa rabbayaa nii shaghiiraa”. Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku (Ibu dan Bapakku), sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku di waktu kecil. Aamiin.(***)