Beberapa waktu lalu saya mendapatkan broadcast dari hasil diskusi group WA mengenai rencana privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang akan dilakukan oleh pemerintahan Jokowi. Bagi saya, info itu tidak lebih hanya sekadar berita hoax yang tidak jelas kebenarannya. Menariknya, muncul asumsi-asumsi yang cukup mengganggu seperti adanya keinginan sekelompok elite agar BUMN tersebut dibiarkan rugi sehingga bisa dijual ke swasta. Benarkah asumsi tersebut?
Privatisasi BUMN sering dianggap sebagai sebuah hal yang menakutkan, dan cenderung memicu sentimen negatif sehingga sering menjadi kontroversi publik. Memang, dalam aspek tertentu privatisasi ini sudah menjadi alat untuk memukul lawan politik seperti mengaitkan privatisasi ini dengan rezim ekonomi neoliberal. Apalagi pengejewantahan kepentingan asing dalam privatisasi tersebut cenderung berkonotasi negatif dan mengandung resistensi yang tinggi dari masyarakat.
Akibatnya isu privatisasi BUMN ini menimbulkan pro dan kontra. Bagi yang menentang, privatisasi ini dianggap sebagai bentuk sikap yang tidak nasionalis dan bentuk tunduknya negara terhadap kepentingan asing. Selain itu, privatisasi dipersepsikan akan menghabiskan aset negara sehingga menimbulkan gejolak serta penolakan oleh banyak pihak.
Kita dapat melihat contoh kasus penjualan saham PT Semen Gresik Group kepada Cemex. Kebijakan ini secara tegas ditolak oleh Serikat Pekerja Semen Gresik (SPSG) dengan melakukan mogok kerja. Begitu juga dengan penjualan Indosat kepada Temasek Holding melalui anak perusahaannya Singapore Technologies Telemadia (STT) juga mengundang kontroversi yang sangat luar biasa ketika itu.
Praktik Privatisasi BUMN
Privatisasi BUMN ini merupakan instrumen dalam pengelolaan kebijakan ekonomi suatu negara. Beberapa negara besar seperti Inggris, melakukan privatisasi ini pada akhir tahun 1970-an. Kebijakan ini berawal dari ketidakpuasan publik terhadap pengelolaan BUMN yang tidak menguntungkan. Belum lagi dorongan agar negara lebih fokus menyelenggarakan fungsi yang sesungguhnya. Salah satu caranya adalah dengan mengurangi keterlibatan negara dalam bisnis.
Privatisasi dipercaya sebagai cara yang tepat untuk membangun kekuatan pasar agar mencapai tujuan ekonomi negara. Dalam praktiknya, kebijakan privatisasi di Inggris ini cenderung pragmatis dan menjadi janji politik Perdana Menteri Margaret Thatcher yang didukung Partai Konservatif yang berkuasa pada waktu itu untuk menawarkan kemakmuran kepada masyarakat.
Lalu, bagaimana praktek privatisasi BUMN di Indonesia? Realitas pengelolaan BUMN di Indonesia sebenarnya dapat menjadi alasan kuat bagi pemerintah melaksanakan privatisasi tersebut. Pertama, BUMN pada umumnya memiliki kekurangan, yaitu ketiadaan mekanisme yang memadai sebagai insentif untuk mencapai efisiensi. Termasuk dalam konteks bahwa keberadaan BUMN yang sarat dengan kepentingan politik praktis jangka pendek sehingga BUMN dibebani dengan tujuan yang sebenarnya tidak berkaitan dengan tujuan keberadaanya di ranah publik.
Kedua,pengelolaan BUMN jelas melibatkan sumber daya manusia yang sangat banyak sehingga dituntut pengelolaan yang profesional untuk menggerakannya. Sayangnya, campur tangan pemerintah yang sangat kentara membuat jalannya BUMN ini menjadi sangat lamban, tidak efektif serta tidak fokus pada core bussiness-nya yang dilaksanakanya.
Ketiga, BUMN selama ini cenderung dimanjakan oleh pemerintah melalui subsidi dan proteksi-proteksi dari penguasa sehingga kurang komptetif menghadapi persaingan di pasar yang semakin terbuka.
Di Indonesia kisah kesuksesan privatisasi lebih banyak diwarnai oleh BUMN yang melakukan penjualan sahamnya melalui pasar modal atau dikenal dengan Initial Public Offering (IPO). Metode privatisasi IPO ini sendiri cenderung lebih diterima oleh banyak pihak karena lebih transparan, tidak dikuasai sekelompok orang dan yang lebih penting masyarakat mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam memiliki saham BUMN tersebut melalui penawaran terbaik. Walaupun begitu, metode IPO ini memiliki kelemahan dalam prosesnya. Misalnya, metode IPO ini memiliki titik krusial yang memungkinkan terjadinya praktek perburuan rente (reent seeking), yaitu pada proses pembentukan harga atau bookbuilding, penjatahan saham serta memberi ruang kepada kepemilikan saham asing.
Proses bookbuilding merupakan tahapan pertama yang sangat rawan karena sangat rentan terhadap penyalahgunaan otoritas dari penyelenggara negara dan permainan oleh lembaga penjamin. Apalagi, pada proses penjatahan saham terbuka, terdapat peluang intervensi pihak tertentu yang dekat dengan lingkaran kekuasaan serta memungkinkan mereka untuk meminta jatah saham melalui lembaga penjamin, manajemen perusahaan ataupun Kementerian BUMN.
Sebagai negara berkembang, masyarakat Indonesia memang agak kesulitan memiliki saham BUMN jika dibandingkan dengan negara maju seperti di Eropa dan Australia. Masyarakat di negara ini memiliki kekuatan sebagai pembeli domestik yang memadai ditambah pengetahuan dan kesadaran warga negara untuk berinvestasi sangatlah tinggi. Karenannya tidak mengherankan privatisasi yang dilakukan dengan metode IPO di negara-negara tersebut melibatkan pembeli yang berasal dari publik domestik. Dengan sendiri proses privatisasi ini memberi keuntungan bagi masyarakat karena ikut memiliki perusahaan yang sebelumnya dimiliki oleh negara.
Jadi jelas, privatisasi BUMN melalui metode IPO idealnya bisa menjadi alat pendistribusian aset negara kepada publik. Oleh karena itu, masuknya BUMN ke pasar modal harus disertai dengan tuntutan peningkatan distribusi aset ke masyarakat. Semakin banyak masyarakat memiliki saham di lantai bursa, maka semakin memungkinkan terjadinya redistribusi aset negara kepada masyarakat.
Hal yang harus menjadi perhatian tentu, perlu ada langkah sistematis dan terencana dari pemerintah, khususnya kementerian BUMN untuk melaksanakan privatisasi sehingga dapat menghasilkan dana segar untuk modal BUMN yang berasal dari publik domestik. Selama ini privatisasi emang cenderung menguntungkan orang-orang tertentu yang memang berminat dengan perusahaan-perusahaan negara. Akibatnya proses privatisasi ini tidak meningkatkan kemakmuran masyarakat apalagi menciptakan pemerataan ekonomi.
Jika dilihat sejarah, memang menjadikan BUMN sebagai entitas bisnis tidak pernah berjalan mulus. Banyaknya kepentingan ekonomi dan politik para elite justru berdampak pada tujuan yang sebenarnya dari privatisasi tersebut. Sudah saatnya, pemerintah memikirkan kesejahteraan masyarakat dengan mengutamakan distribusi aset kepada mereka, termasuk memberi ruang kepada publik domestik untuk memiliki perusahaan-perusahaan negara/BUMN dengan cara yang adil dan bijaksana. (*)
LOGIN untuk mengomentari.