in

Produser Musik Minang Hadapi Ancaman Digital

Terus Berkarya, Berpacu dengan Youtube

Di era 1970-an hingga 1990-an, terjadi perkembangan yang luar biasa dalam industri rekaman di Sumbar. Pada masa itu, lagu-lagu versi gamad naik daun, dari lagu kelas kampungan menjadi lagu gendongan. Posisi si penabuh drum Band Lime Stone, milik PT Semen Padang, Yan Juned, berjasa mengangkat citra musik Melayu dangdut di Tanah Air.

Inilah untuk pertama kali, pusat industri musik Minang mulai berbagi pengaruh antara Jakarta dan Padang. Sukses Yan Juned, memicu terjadinya “booming” bisnis lagu Minang di Sumbar. Belasan produser kaset bermunculan di Kota Padang, yang umumnya berasal dari pedagang elektronik dan penjual kaset.
Seperti Antara Baru Record, Medisca Record, USB Record, Diamond  Record,  Sinar Padang Record, Pitunang Record hingga Tanama Record yang mampu meraih popularitasnya hingga tahun 2000-an.

Namun, pasca-dunia musik memasuki era digital dari tahun 2005 hingga saat ini, mengakibatkan industri rekaman yang dulu menjamur, satu-satu per satu mulai rontok. Selain karena faktor maraknya pembajakan, semakin eksisnya youtube menjadi pendorong hancurnya industri rekaman di Sumbar saat ini. Implikasinya, banyak tenaga-tenaga yang terlibat dalam industri rekaman terpaksa beralih profesi.

Hal tersebut dirasakan Tanama Record, rumah produksi musik yang berdiri sejak tahun  1978 dan telah banyak melahirkan penyanyi Minang populer. Sebut saja, Zalmon, Elly Kasim, Yuse, Yuni Puspita, Asben dan belasan penyanyi Minang lainnya.

“Betul kata pepatah, hidup ini ibarat roda berputar. Mau tidak mau kami harus diterima. Jika dahulu, ratusan ribu keping VCD bisa terjual dalam kurun waktu singkat. Saat ini keadaannya justru berubah drastis. Paling banyak 30 pesanan kaset VCD yang kami terima dalam sebulan,” ujar Pendiri Tanama Record, Musfar, 77 kepada Padang Ekspres, Kamis (7/12).

Menurut pria yang akrab disapa Uncu itu, dengan masuknya Youtube di era digital saat ini menjadi penyebab utama lesunya penjualan kaset VCD. Sehingga, kata Uncu, diperkirakan 2 tahun lagi, kaset VCD ini tidak diproduksi lagi.

“Di era Youtube seperti sekarang, hampir semua lagu Minang modern tersedia di aplikasi tersebut.

Bahkan bisa langsung di- download. Akibatnya, penjualan kaset VCD menjadi terganggu. Ditambah lagi derasnya pembajakan yang terjadi,” jelasnya.
Hanya saja, masyarakat maupun beberapa orang produser  yang men-share lagu-lagu Minang di Youtube ini, tidak meminta izin kepada pencipta lagu maupun kepada si penyanyi terlebih dahulu.

“Kalau kami memang tidak memiliki keterampilan untuk itu. Jadi pada intinya saat ini, kami bertahan hanya mengandalkan penjualan kaset semata. Itu pun tergantung pesanan dari masyarakat,” pungkasnya.

Pandangan yang sama juga diutarakan Yuswandi, 39, anak kedua dari pendiri Sinar Padang Record, Haji Yuskal. “Sejak lesunya industri rekaman, studio rekaman kami tidak dipergunakan kembali. Saat ini, kami hanya menjual kaset-kaset VCD yang telah diproduksi ketika papa kami masih ada. Itupun jumlahnya tidak banyak,” jelasnya.

Ia menambahkan, penyebab utama hancurnya industri rekaman Minang, maraknya praktik-praktik pembajakan. Di samping itu juga, ia tidak menampik masuknya Youtube ini juga ikut mempengaruhi penjualan kaset.

“Ya, sejak lesunya penjualan kaset, kami memutuskan untuk beralih ke usaha lain. Yakni penjualan barang-barang elektronik dan pakaian. Meski pun kami tetap berjualan kaset dan juga berencana akan eksis kembali awal tahun depan. Namun berharap besar terhadap industri rekaman ini memang tidak bisa seperti dahulu lagi,” jelasnya.

Padahal, kata Yuswandi, studio yang mulai beroperasi sejak 1990-an itu telah melahirkan ratusan album dan penyanyi Minang. Banyak penyanyi terkenal Minang yang lahir di antaranya Ajo Andre, Susi, Zalmin, Yan Juned, Anroy, Ucok Sumbara, dan Zalmon. Album yang paling meledak adalah album Kasiek Tujuh Muaro, yang dinyanyikan Zalmon, mencapai 200 ribu kopi.

Hal senada juga dialami Nada Musik Record yang berdiri sekitar awal tahun 2000-an di Kota Bukittinggi. Adalah almarhum Idris Efendi yang memprakarsai berdirinya label produksi dapur rekaman tersebut. Berawal dari distributor kaset dan VCD kecil-kecilan di Pasar Atas Bukittinggi, pria yang akrab disapa Edi ini mencoba peruntungan dengan memproduseri musik sendiri.

Tercatat sejak Nada Musik Record berdiri sederet penyanyi Minang papan atas telah berkarya bersama label yang satu ini. Sebut saja Harry Parintang, Benny Z, Yani Lubas, Trio Nada, Yeyen Karet, dan Dedy Agam.

“Setelah suami saya meninggal empat tahun lalu, saya mencoba melanjutkan usahanya. Artis-artis yang pernah bekerja sama dengan Nada Musik tetap kami lanjutkan, ada pula yang baru bergabung,” ujar Wisnizar, Produser Nada Musik Record kepada Padang Ekspres, Jumat (8/12).

Uniknya, sejak berdiri, Nada Musik Record justru ternyata tidak memiliki studio rekaman tetap. Aransemen musik digarap oleh para seniman di berbagai studio musik. Begitu pula proses rekaman. Nada Musik berkolaborasi dengan Diva Production, Elta Record dan Delta Studio milik Jonpy di Aur Atas, Bukittinggi.

“Nada Musik Record kan tidak punya studio sendiri. Kami hanya menumpang rekaman di studio rekanan dan sahabat,” jelas Wis, sapaan akrab Wisnizar.

Sejak meninggalnya almarhum Idris Efendi, Nada Musik Record tercatat pertama kali menelurkan album Alek Palarai Cinto. Album ini sekaligus menandai kemunculan Atikah Edelweis, putri sulung Idris Efendi dan Wisnizar. Dalam album tersebut Atikah Edelweis berduet dengan Harry Parintang.

Ditanyakan fenomena Youtube sebagai tantangan baru bagi para produser, Wis sejenak menghela nafas. Baginya kemajuan zaman memang tak dapat dilawan. Saat peredaran VCD bajakan masih merongrong industri musik, diperparah lagi kehadiran Youtube.

“Ya, itulah tantangan terberat saat ini. Kami terpaksa meng-upload ke Youtube dulu sebelum VCD-nya diedarkan. Hal itu untuk menghindari plagiat oleh akun Youtube lainnya. Sedikit banyaknya, ada pula penghasilan dari Youtube itu,” katanya.

Kendati dihadapkan tantangan digital, tidak menyurutkan Nada Musik Record untuk terus berkarya dan memproduksi album. Buktinya, dalam waktu dekat, Nada Musik Record akan memasarkan album-album terbarunya menggandeng penyanyi seperti Febian, Sonia, Edi Cotok dan Atikah Edelweis sendiri.

“Album melayu milik Febian sudah siap edar, dan akan disusul Album kim oleh Edi Cotok. Semoga dapat diterima oleh para penikmat musik ranah Minang,” harapnya.

Sementara, Febian, salah seorang artis Minang berpendapat sama terkait kondisi industri rekaman maupun kualitas penyanyi dan lagu Minang saat ini. Ia menilai masih berkembang pesatnya lagu-lagu Minang di era sekarang, berbanding terbalik dengan kondisi industri rekaman. Ia pun setuju penyebab lesunya industri rekaman saat ini karena faktor pembajakan, dan pengaruh dari Youtube.

“Banyak pelanggaran hak cipta yang terjadi saat ini. Plus lemahnya penegakan UU Hak Cipta dan perhatian pemerintah kepada musisi, penyebab gairah musik Minang yang masih berkembang saat ini, hanya dikuasai beberapa industri rekaman,” jelasnya.

Di sisi penyanyi dan lagu Minang, ia pun sepakat kualitasnya tidak seperti dahulu lagi. Ia pun tidak menampik, penyebab dari hal tersebut karena faktor tuntutan selera masyarakat terhadap musik Minang saat ini.

“Jika pemerintah dan musisi Minang benar-benar ingin industri rekaman dan musik ini maju seperti dahulu lagi, saya meminta sesama kita untuk benar-benar serius dan saling membantu. Karena salah satu jati diri Sumbar, juga terletak pada budaya musik dan seni dimiliki,” jelasnya.

Febian yang juga musisi yang bernaung di bawah payung Nada Musik Record menuturkan prinsip kekeluargaan menjadi hal membuatnya nyaman bersama label tersebut.

“Nada Musik tidak hanya semata berbicara bisnis dapur rekaman. Namun ada nilai kekeluargaan mengalir antara produser, pemusik dan para penyanyi. Inilah yang membuat kami kompak,” ujar roker Minang yang identik dengan rambut gondrong ini.

Pria berumur 38 tahun ini menceritakan dirinya bergabung dengan Nada Musik Record sekitar delapan tahun silam. Sempat mengawali karir bersama Pitunang Record, Febian yang pernah menjadi musisi jalanan dan mengikuti berbagai festival band itu sempat menuai manisnya album hits di tahun 2004. Saat itu album Minang Katiko Cinto Musti Mangalah, dan Selamat Pagi Minangkabau laris manis di pasaran.

Kini, setelah menelurkan belasan album, di bawah naungan Nada Musik Record, Febian akan meramaikan kancah musik Minang dengan genre berbeda. “Produksi Nada Record yang akan hadir merupakan album bernuansa melayu. Album ini digarap oleh tangan-tangan yang profesional, seperti seniman pencipta lagu senior Sexri Budiman, Wawan CD dan ada juga karya saya di dalamnya. Nada Musik Record menggandeng pemusik Deky Ryan Studio dan dapur rekaman Diva PRO. Album melayu ini adalah album ke-20 saya. Doakan semoga laris ya,” ujar Febian.  

Hal yang sama juga diutarakan Anroy’s, penyanyi Minang yang pernah mendendangkan lagu hits Cinto Putiah Babungo Ungu yang diciptakan Agus Taher. “Saya sangat heran, kenapa berkembang pesatnya lagu-lagu Minang saat ini, bertolak belakang dengan runtuhnya industri rekaman. Menurut analisis saya dan beberapa pengamat musik, penyebab utamanya yakni, sistem pendistribusian kaset tidak fair, pembajakan, dan pengaruh Youtube,” jelasnya.

Terkait kualitas penyanyi Minang dan lirik dan syair lagu, ia pun setuju kualitasnya sudah jauh berkurang dibanding  dahulu. Semua itu disebabkan, tuntutan selera pasar yang kurang mengetahui indikator seorang penyanyi dan lagu berkualitas. “Kita juga tidak bisa menyalahkan produser. Perlu dilakukan adalah edukasi masyarakat tentang musik Minang,” jelasnya.  (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Tiga Terduga Teroris Dibekuk

Pasca Banjir, LSM BYTRA Minta Tata Ruang Aceh Utara Ditinjau Ulang