in

Psikolog sebut sehat mental bukan berarti selalu bahagia

Yogyakarta (ANTARA) – Psikolog klinis dewasa, Natasya menyebutkan bahwa sehat mental bukan berarti seseorang harus selalu merasa bahagia, melainkan kemampuan untuk tetap produktif dan mengelola stres dalam keseharian.

“Banyak orang yang masih salah terkait kesehatan mental. Mereka berfikir kalau kesehatan mental itu berarti kita harus bahagia,” ujar Natasya dalam diskusi bertajuk “Ruang Cerita: Ngobrol Santai Tentang Kesehatan Mental” di Yogyakarta, Minggu.

Padahal, lanjut dia, sehat mental sebenarnya adalah kesejahteraan psikologis dimana individu bisa tetap berkontribusi dalam kehidupan sehari-hari.

Seseorang dikatakan sehat mental, menurut Natasya, bukan karena tidak pernah mengalami stres, melainkan karena mampu mengelolanya dengan baik.

“Kita mungkin tidak bisa menghindari dari stres. Yang utama adalah bagaimana kita bisa mengelola stres itu dengan baik agar tidak berkelanjutan menjadi gangguan psikologis dan bukan malah menghindarinya dan terus menganggap tidak ada,” ucap dia.

Ia menambahkan sehat secara mental tidak selalu berarti seseorang berada dalam kondisi bahagia, melainkan mampu berproses dari setiap pengalaman hidup yang dialami, termasuk dari hal-hal yang tidak menyenangkan.

“Sehat mental bukan berarti tidak pernah merasa sedih, marah, atau kecewa. Namun, bagaimana kita bisa menghadapi dan memaknai perasaan itu agar tidak menjadi hambatan di kemudian hari,” kata Natasya.

Menurut dia, kemampuan untuk mengenali dan menerima emosi menjadi salah satu langkah penting dalam menjaga kesehatan mental.

Sebaliknya, menekan perasaan negatif justru dapat membuat seseorang semakin tertekan dan kehilangan keseimbangan psikologis.

“Ketika kita menolak atau menekan emosi, itu tidak membuat masalahnya hilang, justru bisa menumpuk dan menjadi beban. Maka, penting untuk punya ruang aman untuk mengekspresikan diri,” ujarnya.

Natasya menyebut ruang aman tersebut bisa berupa teman dekat, keluarga, maupun tenaga profesional seperti psikolog.

“Diri kita seperti wadah yang punya batas. Kalau disimpan sendiri terus, suatu saat akan meluap,” kata dia.

Sementara itu, psikolog lulusan Universitas Mercu Buana Yogyakarta Patricia Melati Rosari menambahkan bahwa penting bagi individu untuk mengenali tanda-tanda ketika mental membutuhkan istirahat.

Ia menyebutkan tiga tanda utama yang berkaitan dengan pikiran, emosi, dan perilaku.

“Kalau mengerjakan tugas kampus atau pekerjaan yang seharusnya selesai 30 menit, tapi jadi molor karena tidak bisa fokus, itu sudah menjadi tanda awal sebelum masuk ke fase stres yang lebih berat,” ujar Patricia.

Tanda kedua, lanjut dia, adalah perubahan emosi yang menjadi lebih sensitif, seperti mudah tersinggung atau marah karena hal-hal kecil. “Misalnya, ketika ditanya ‘sudah kumpul tugas belum?’ langsung kesal. Itu perlu disadari sebagai sinyal bahwa tubuh dan pikiran kita butuh jeda,” jelasnya.

Tanda ketiga adalah perubahan pola aktivitas sehari-hari, terutama pada tidur dan makan.

“Biasanya tidur jam sembilan malam, tapi sekarang jam sebelas masih terjaga menatap langit-langit, atau pola makan yang berubah drastis. Itu tanda yang perlu diperhatikan,” tambah Patricia.

Tanda-tanda itu, menurut dia, merupakan bentuk deteksi dini agar seseorang tidak sampai mengalami kelelahan mental yang lebih berat.

Menurutnya, dukungan dari orang sekitar juga berperan penting, meski kesadaran diri tetap menjadi faktor utama.

Sebagaimana Natasya, Patricia juga sepakat bahwa menerima emosi negatif merupakan bagian normal dari kehidupan.

Dia menuturkan bahwa manusia dikaruniai berbagai perasaan, sehingga wajar bila sesekali merasakan sedih, marah, atau kecewa.

“Yang menjadi masalah adalah bagaimana orang lain merespons perasaan kita. Kadang kita takut kalau mengungkapkan perasaan sedih atau stres akan dianggap lemah,” katanya.

Dia mengakui bahwa stigma negatif terhadap kesehatan mental di Indonesia masih cukup kuat, sehingga banyak orang enggan mengakui perasaan negatifnya.

“Sering kali kalau kita bilang capek atau sedih, dianggap lebay atau kurang bersyukur. Padahal, setiap orang punya kapasitas yang berbeda dalam menghadapi masalah,” ujar Patricia.

Ia menegaskan bahwa menerima dan menyadari emosi negatif bukan tanda kelemahan, tetapi justru bagian dari proses mengenali diri sendiri secara utuh. “Kita tidak mungkin hanya punya hal-hal baik dalam diri kita. Selama hidup akan selalu ada stres, dan itu adalah proses untuk menjadi individu yang lebih baik,” tutur Patricia Melati.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Psikolog sebut sehat mental bukan berarti selalu bahagia

What do you think?

Written by Julliana Elora

December Haul

SPPG Plaju Ulu II Kota Palembang