Headline Padang Ekspres Kamis (24/8) dengan judul Tugas Guru Makin Banyak, menarik untuk disimak. Pada headline ini, Padang Ekspres menurunkan berita, Muhadjir mengatakan, akar kebijakan sekolah lima hari itu terkait beban mengajar guru. Sebelumnya, beban mengajar guru minimal 24 jam pelajaran per pekan.
Karena banyak keluhan dari guru, di antaranya guru kesulitan mengejar beban minimal itu, akhirnya ketentuannya diubah. “Beban kerja guru menjadi delapan jam setiap hari dan lima hari dalam sepekan,” katanya. Boleh jadi, di satu sisi pendidik penerima tunjangan profesi guru (TPG) berbesar hati, karena beban mengajar guru minimal 24 jam pelajaran per pekan, diubah menjadi delapan jam setiap hari.
Pada akhirnya, apabila dihitung, tentu beban kerja lima hari sekolah (LHS), jauh lebih berat dibanding dengan beban minimal 24 jam pelajaran per pekan bagi guru penerima TPG. Di sinilah masalahnya, beban kerja delapan jam per hari, include dengan jam mengajar di kelas serta bekerja (mengawasi) di luar kelas.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) menegaskan, tugas guru harus sampai pada, mampu memastikan peserta didiknya pulang dan sampai di rumah dengan baik. Dengan beban kerja seperti ini dan panduan yang masih samar, tentu kita pesimis dengan kebijakan LHS, terutama berkaitan dengan sistem penilaian, yang akan melahirkan dua buku rapor seperti yang ditegaskan oleh Mendikbud.
Pertama, rapor untuk hasil belajar akademik selama bersekolah dan kedua, rapor catatan pribadi (rapor kepribadian).
Rapor untuk hasil belajar akademik, selama inipun masih ada masalah, belum tertuntaskan dengan bijak. Sekarang muncul rapor kepribadian, yang berisi catatan perilaku, kepemimpinan, sampai kegiatan ekstra kurikuler dan kegiatan lainnya diluar sekolah, ungkap Mendikbud (Padang Ekspres 24/8).
Kalaulah ini yang dijadikan pijakan rapor kepribadian, tentu akan berpeluang juga menuai masalah sepanjang masa. Sebab catatan perilaku, kepemimpinan, sampai kegiatan ekstra kurikuler dan kegiatan lainnya di luar sekolah ini bukan alat ukur kepribadian.
Hemat penulis, cacatan perilaku peserta didik belum bisa digunakan begitu saja menetapkan rapor kepribadian, walaupun perilaku berhubungan dengan kepribadian.
Kepribadian
Kepribadian sesuatu yang unik, sehingga apabila dinilai maka yang akan muncul cenderung perilaku yang tampak (perilaku yang dapat diamati saja), sementara perilaku yang tidak tampak diabaikan.
Perilaku yang tampak pun akan dimanipulasi sesuai dengan situasi sekitarnya. Sehingga perilaku itu tidak tetap. Dalam hal ini, tentu kepribadian sulit untuk di deskripsikan (dinilai).
Dari banyak teori kepribadian dalam ilmu psikologi, tentu cara kerja dan analisisnya bebeda-beda juga, terkait rapor kepribadian. Terus Mendikbud mau menggunakan yang mana? Atau belum terpikirkan sama sekali.
Satu contoh, Teori Kepribadian Psikoanalisis dari Sigmund Freud, diikhtisarkan dalam struktur kepribadian, terdiri atas tiga sistem kerja; id (das es), ego (das icb), dan super ego (das uber icb), masing-masing sistem kerja dibangun oleh aspek biologis, psikologis, dan sosiologis.
Prinsip kerja id mencari kenikmatan dan menghindari diri dari ketidakenakan. Sedangkan ego, aspek psikologis timbul dari kebutuhan untuk berhubungan dengan dunia nyata (realitas), dunia sesungguhnya, tujuannya masih sama dengan id.
Perbedaanya, ego sudah berhubungan dengan dunia riil, sesuai dengan kenyataan baik dunia benda maupun nilai sosial.
Sementara super ego, aspek sosiologis lebih tepat dikenal dengan aspek idial atau moral. Fungsinya mengatur dan logika berpikirnya pantas atau tidak pantas, salah atau benar, boleh atau tidak, dan sebagainya. Sehingga lahir perilaku (pribadi) yang dapat bertindak dengan cara yang sesuai dengan moral masyarakat.
Jauh sebelum Freud, Islam juga mengajarkan konsep kepribadian yang dibangun atas tiga aspek, dengan lima kompetensi pilar keislaman, enam kompetensi pilar keimanan, dan multi kompetensi pilar keikhsanan.
Dari sini akan lahir kepribadian ammarah, kepribadian lawwamah, kepribadian mutmainnah. Masing-masingnya didominasi oleh nafsu (al-nafs), akal (al-‘aqlu), dan qalbu (al-qolb).
Apabila yang mendominasi nafsu, maka lahirlah pribadi ammarah yang cenderung berperilaku rendah, bahkan bisa lebih rendah dari binatang.
Kemudian apabila yang mendominasi akal, maka lahir pribadi lawwamah, yang baru mampu mengantarkan manusia pada tingkat kesadaran bersifat rasional (riil) atau nyata. Sebab akal belum mampu mencerna sampai tingkat kesadaran supra rasional (Teori kepribadian psikoanalisis Freud baru sampai pada kepribadian lawwamah).
Lebih tegas, Abdul Mujib dalam bukunya Psikologi Islami, kepribadian muslim lahir dari dominasi qalbu, dari sinilah kepribadian mutmainnah bersumber, menuntun manusia pada jalan yang benar. Mengantarkan manusia pada tingkat kesadaran supra rasional, hingga menjadikan manusia berkepribadian muttaqien.
Kalaulah uraian kepribadian di atas dimaksud Mendikbud, tentu rapor kepribadian peserta didik sulit dideskripsikan guru-guru LHS dalam penilaian atau memberikan catatan riil kepribadian, sesuai dengan tes kepribadian yang reliabel dan teori-teori psikologi kepribadian yang ada.
Penulis pesimis, rapor kepribadian akan menjadi polemik baru, dalam sistem pendidikan Nasional Indonesia. Menghindari polemik ini, alangkah bijak Mendikbut melibatkan para psikolog dan konselor bersertifikasi tes psikologis di LHS menetapkan rapor kepribadian.
Masalahnya, sekolah-sekolah berkonsep LHS, belum memiliki psikolog atau konselor bersertifikasi tes psikologis tersebut untuk pelaksanaan tes kepribadian.
Solusinya, sekolah dengan konsep LHS, membina kerja sama dengan lembaga-lembaga psikologi. Salah satunya IBKIK Lembaga Psikologi STKIP PGRI Sumatera Barat, siap membina kerja sama dengan konsep LHS. Salam Psikologi Pendidikan. (*)
LOGIN untuk mengomentari.