in

Rechtsstaat Kita Sedang Diuji

Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Rumusan tersebut tertulis jelas di dalam Konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Untaian kalimat rancak itu adalah salah satu dari hasil amandemen ketiga dari empat kali amandemen yang sudah dilakukan. 

Meskipun kalimat tersebut baru muncul pada amandemen ketiga, bukan berarti para pendiri negara kita tidak menginginkan hukum sebagai pijakan dalam penyelenggaraan negara. Buktinya, di dalam penjelasan UUD 1945 yang dulu merupakan bagian dari konstitusi tertulis jelas bahwa ‘Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). 

Profesor Jimly Asshiddiqie menguraikan dengan terang makna kata bertuah rechtsstaat itu di dalam bukunya berjudul “Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia”. 

Menurut Jimly, di dalam terminlogi rechtsstaat terkandung makna bahwa negara Indonesia mengakui prinsip supremasi hukum dan konstitusi. Dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur di dalam UUD, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa. 

Jimly menegaskan bahwa dalam konsep rechtsstaat, yang memegang kendali penyelenggaraan negara adalah hukum yang disebutnya dengan istilah nomocratie atau kekuasaan yang dijalankan oleh hukum (Jimly, 2011: 57). Jimly kemudian merumuskan 13 prinsip rechtsstaat, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), persamaan dalam hukum (equality before the law), asas legalitas (due process of law), pembatasan kekuasaan, organ-organ eksekutif independen, peradilan bebas dan tidak memihak, peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara (constitutional court), perlindungan hak asasi manusia, bersifat demokratis (democratische rechtsstaat), berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare rechtsstaat), transparansi dan kontrol sosial, dan berketuhanan Yang Maha Esa (Ibid: 127-134). 

Yang menarik, dari 13 prinsip rechtsstaat yang dikembangkan Jimly, ternyata 6 di antaranya berkaitan dengan hukum dan penegakannya, yakni supremasi hukum, persamaan dalam hukum, asas legalitas, peradilan bebas dan tidak memihak, peradilan tata usaha negara, dan peradilan tata Negara. Ada tambahan 1 prinsip lainnya yang dalam praktik berkelindan dengan 6 prinsip hukum dan penegakannya tersebut, yaitu prinsip pembatasan kekuasaan. 

Pesan penting yang disampaikan Jimly adalah, tanah subur Indonesia bukanlah tanah yang disediakan untuk menanam dan mengembangkan kekuasaan absolut, tapi kekuasaan yang dibingkai hukum (supremasi hukum). Menurut Jimly, secara teknis, ‘kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks and balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain’ (Ibid: 129).

Dengan dipilihnya bentuk negara Indonesia sebagai negara kesatuan yang berbentuk Republik (Pasal 1 ayat (1) UUD 1945), yang berkuasa atau menjalankan pemerintahan bukanlah seorang raja, tapi seorang petugas atau pemimpin pemerintahan. Hal ini cocok betul dengan filosofi kepemimpinan suku bangsa Minangkabau yang pada awal kemerdekaan, tokoh-tokohnya banyak berkontribusi dalam mendisain dan mendirikan negara Indonesia. Sebutlah Hatta, Syahril, Yamin dan yang lainnya. Di ranah Minang, seorang pemimpin hanya didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting. Pemimpin yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting itupun harus siap pula ditungkai (dikontrol), setiap saat dengan aturan-aturan hukum yang ketat. Itulah makna rechtsstaat yang sebenarnya.

Sedang Diuji 

Setelah beberapa lama melempar wacana di media massa akan membubarkan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, akhirnya pada 10 Juli 2017 Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Perppu itu menghapus Pasal 63 sampai Pasal 80 UU Nomor 17/2013. Juga, menyelipkan Pasal 80 A dan mengubah beberapa pasal lainnya. 

Kebijakan Presiden itu membuat gaduh dunia hukum. Pasalnya, penghapusan beberapa pasal tersebut jelas tidak sejalan dengan konsepsi rechtsstaat. Lain di mulut, lain di hati. Penghapusan Pasal 70 UU Nomor 17/2013 adalah faktanya. Pasal ini bersisi tentang kewajiban pemerintah mengikuti proses hukum di lembaga peradilan manakala hendak membubarkan sebuah ormas yang dianggap menyimpang dari aturan yang berlaku. Dengan dihapusnya Pasal 70, sebuah ormas, sebagai subyek hokum kehilangan hak konstitusionalnya untuk membela diri dan/atau memberikan penjelasan yang layak pada forum pengadilan berkenaan dengan tuduhan yang ditujukan kepadanya. 

Dengan dihapusnya Pasal 70, berarti kekuasaan pemerintah tidak lagi terbatas. Karena, dengan meletakkan kewenangan pembubaran di tangan pemerintah, berarti pemerintah telah memborong, paling tidak, dua kekuasaan sekaligus, yaitu kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Pemerintah menghukum ormas yang dianggapnya bersalah, dan pemerintah juga yang langsung membubarkannya.

Rechtsstaat kita sedang diuji. Dari sudut pandang hukum, kebijakan yang menegasikan peran lembaga peradilan dalam pembubaran ormas, pemerintah sudah melanggar konstitusi yaitu Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Kelakuan menyimpang Pemerintah ini tidak boleh dibiarkan. Semua komponen bangsa berkewajiban meluruskan pemerintah yang sudah sesat air itu. Apapun alasannya, negara haruslah tetap diselenggarakan dalam bingkai rechtsstaat bukan machtsstaat. 

Banyak jalan yang bisa ditempuh untuk itu. Permohonan judicial review beberapa orang dan kelompok ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan Perppu Nomor 2/2017 haruslah didukung penuh. Gerakan politik atau political review juga mesti dilakukan. Rakyat harus mendorong Dewan Perwakilan Rakyat untuk tidak ragu-ragu menolak Perppu Nomor 2//2017. Kalau dua-duanya gagal, rechtsstaat kita tidak lulus ujian. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Biaya Umrah Syahrini dan Vicky Shu Miliaran

Steven and Coconuttreez Reuni setelah 8 Tahun Berpisah