Dibatalkannya Permenhub No 26 Ta hun 2017 yang mengatur dan membatasi taksi online oleh Mahkamah Agung mesti menjadi momentum agar regulator bisa membuat aturan yang lebih adaptif terhadap model bisnis baru.
Apabila pengaturannya tidak disamakan, munculnya taksi online memang terkesan menimbulkan persaingan tidak sehat dengan moda transportasi umum lainnya. Namun, kebanyakan kesan itu lebih disebabkan kemalasan para incumbent bisnis dalam menyesuaikan diri dengan perubahan pola hidup konsumen.
Sudah menjadi hukum ekonomi bahwa semua pihak menginginkan biaya seefisien mungkin. Pemerintah sebagai regulator memang bertugas menjadi wasit. Namun, regulator haruslah menempatkan diri sebagai pengadil yang mampu menjadi solusi.
Dan yang lebih penting adalah mengembalikan kepada substansi tujuan pembuatan aturan. Tujuan keselamatan penumpang, misalnya. Tidak harus diimplementasikan dengan uji kir yang berbelit. Semua orang juga tahu. Mobil pribadi yang rutin diservis akan tetap lebih aman jika dibandingkan angkot reyot.
Keharusan angkutan umum agar berbadan hukum juga merupakan kebijakan yang usang. Di era ekonomi berbagi, semua orang tentu bisa berbisnis. Sebagai contoh, siapa saat ini yang mampu menghentikan gelombang pedagang online?
Jika dalam konteks transportasi, jangan lupakan salah satu tugas utama pemerintah. Yakni, menciptakan transportasi publik yang efisien. Selama pemerintah belum bisa memberikan alternatif transportasi masal yang memadai, pembatasan-pembatasan di bisnis tersebut akan semakin tidak produktif.
Di sisi lain, pelaku bisnis baru seperti taksi online juga harus terus melakukan perbaikan. Sudah banyak keluhan-keluhan atas layanan taksi online. Keluhan tersebut muncul karena produk inovatif itu terkadang tidak dibarengi dengan mental pelaku yang belum lepas dari nilai-nilai usang. Masih banyaknya driver yang membatalkan pesanan hanya karena si calon penumpang menggunakan kartu kredit adalah contoh mental dengan nilai-nilai usang itu. (*)
LOGIN untuk mengomentari.