Para rektor diminta untuk mengawasi tindakan menyeleweng yang ada di lingkungan kampusnya.
JAKARTA – Para rektor perguruan tinggi telah memegang data para dosen yang tergabung dalam kelompk Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Rektor dan Kemristekdikti akan melakukan pendekatan persuasif untuk menyadarkan para dosen yang tergabung dalam organisasi yang dinyatakan bertentangan dengan nilai Pancasila dan UUD 45 tersebut.
“Kalau menurut undang- undang itu maka kami melakukan pendekatan persuasif dulu,” kata Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir, di Jakarta, Kamis (27/7). Mantan Rektor Terpilih Universitas Diponegoro ini juga mengatakan bahwa dirinya telah mengingatkan para rektor untuk mengawasi tindakan menyeleweng yang ada di kampusnya.
Tidak hanya terkait kegiatan HTI, namun juga kegiatan yang menyeleweng terhadap Pancasila. “Semua yang menyeleweng terhadap Pancasila akan kita bina sehingga mereka kembali menjadi warga negara Indonesia,” ujar Nasir. Nasir mengaku tidak akan memublikasikan jumlah dan nama dosen yang tergabung di HTI kepada publik.
Namun diakuinya, setiap rektor saat ini sudah memegang data masing-masing dosen di kampusnya yang tergabung HTI. “Ada yang bilang dua, tiga. Ternyata mereka sudah memegang data masing-masing, dan saya minta tanggung jawab,” paparnya. Saat ini yang harus dilakukan adalah melakukan tindakan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki rektor. Jika terbukti melanggar administrasi, harus dilakukan pemeriksaan, peringatan, dan teguran.
“Khusus untuk dosen swasta akan diawasi oleh koordinator perguruan tinggi swasta (koperstis),” kata Nasir. Wakil Rektor Institut Pertanian Bogor Bidang Sumber Daya dan Kajian Strategis, Hermanto Siregar, mengonfirmasi jika di IPB ada enam orang dosen yang masuk dalam kelompok HTI. “Dosen tersebut akan dikenakan sanksi tegas jika setelah dibina tidak juga kembali kepada Pancasila dan UUD 45,” tandasnya.
Sementara itu, untuk menjaga mahasiswa dari hal-hal negatif, terutama paham radikalisme, IPB menerapkan sistem asrama bagi mahasiswa baru. “Di asrama akan kita bina sehingga mereka terfiltrasi dari paham-paham radikal, LGBT, dan negatif lainnya,” tegas Hermanto. Sementara itu, Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI), Suyatno, meminta pemerintah mengedepankan dialog dalam menyikapi adanya dosen yang tergabung dalam HTI. “Ajak dialog, arahkan, dan ini harus didata,” katanya.
Pembubaran HTI sendiri, kata Suyatno, terkait dengan Perppu Ormas, di mana saat ini legitimasinya masih “digugat”secara hukum. Namun, jika proses hukumnya sudah selesai dan Perppu ini sudah jelas statusnya maka siapa pun harus menghargai dan melaksanakannya. Rektor Universitas Jember, Mohammad Hasan, mengaku pihaknya telah berkoordiasi dengan pihak- pihak yang terkait dan melakukan pemetaan internal.
“Kami terus terang sedang menugaskan tim untuk melakukan pemetaan, sama juga pada mahasiswa. Sudah ada laporan hasil sementera pemetanan,” jelas dia. Berdasarkan hasil pemetaan sementara, dari sisi organisasi, eksistensi HTI di Jember memang relatif kuat. “Dari sisi organisasi memang eksis di Jember, tapi kita belum ketemu angkanya masing ada gambaran- gambaran pemikiran mereka ke arah sini,”ujarnya.
Setia NKRI
Sementara itu, Wali Kota Semarang, Jawa Tengah, Hendrar Prihadi, menegaskan, Pemkot Semarang tidak akan melakukan verifikasi terhadap jajaran pegawai negeri sipilnya (PNS) terkait kemungkinan keterlibatan dengan HTI. “Salah satu sumpah yang diucapkan pegawai negeri sipil (PNS) adalah setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” kata dia.
Bagi Hendi, PNS yang sudah mengucapkan sumpah ketika diangkat sebagai abdi negara harus melaksanakan dengan sepenuh hati dan bertanggung jawab terhadap tugas-tugas yang diembannya. “Kami melihat sampai saat ini kawan-kawan PNS di jajaran Pemkot Semarang masih setia dengan sumpahnya.,” kata politikus PDI Perjuangan itu.
Secara terpisah, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, menegaskan pemberhentian PNS yang terlibat dalam organisasi anti-Pancasila harus disertai bukti kuat. “Sanksi bagi PNS yang terlibat ini mulai dari teguran, disiplin, sampai pemberhentian, tapi harus ada bukti dia mengucapkan, berdakwah, atau mengorganisir kegiatan yang memberikan pemahaman anti-Pancasila dan anti-Bhinneka Tunggal Ika. Ini harus ada saksi yang detail, tidak boleh hanya katanya,” jelas Tjahjo. cit/ags/E-3