Uswatun Khasanah mengenalkan tarian dan permainan tradisional serta makanan khas Indonesia di sela mengajar di sebuah SMP di Sejong, Korsel. Sejak awal mendaftar, kemajuan pendidikan Negeri Ginseng itulah yang membuat guru SMPN 22 Surabaya tersebut kepincut.
USWATUN Khasanah bukanlah K-popers. Hanya sesekali juga dia maraton menonton drakor (drama Korea) di sela-sela kesibukan mengajar di SMPN 22 Surabaya dan jadi pengurus inti musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) bahasa Inggris SMP se-Kota Pahlawan.
Meski begitu, Korea Selatan (Korsel) menjadi salah satu negara impian yang ingin dikunjunginya. Bukan untuk menonton idol K-pop yang bening menik-menik. Melainkan karena dia begitu terpukau dengan kemajuan pendidikan di sana.
“Modal Korea hanya SDM (sumber daya manusia). Karena itu, mereka memperbaiki SDM untuk kemajuan negara,” ujar perempuan yang akrab disapa Uswah itu ketika dikontak Jawa Pos (grup Padang Ekspres) dari Surabaya pertengahan bulan lalu (18/10).
Semesta mendukung, Uswah satu-satunya guru dari Jawa Timur yang terpilih untuk mengajar di Negeri Ginseng. Tahun ini ada 749 guru dari jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK negeri serta swasta yang mendaftar dalam program Pertukaran Guru Indonesia-Korea 2023 (Indonesian-Korean Teacher Exchange) 2023.
Program tersebut diselenggarakan Ditjen GTK Kemendikbud RI bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan Korsel serta Asia Pacific Center Education for International Understanding (APCEIU) UNESCO sebagai pelaksana.
Se-Indonesia, hanya delapan orang yang lolos. Tujuh lainnya dari Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sebelumya pada 2021, Uswah juga pernah terpilih dalam program diklat online untuk guru dan kepala sekolah yang merupakan program kerja sama antara Pemkot Surabaya dan Universitas Dong Eui, Busan, Korsel.
Dalam pertukaran guru kali ini, selama periode tiga bulan, yakni 18 Agustus–18 November 2023, guru 43 tahun itu bertugas di Geulbeot Middle School (selevel SMP) Kota Sejong. Berpartner dengan Siti Amalia, guru SMPN 17 Bogor.
Sejong kota administratif dan pemerintahan yang baru lima tahun berdiri. Anak-anak yang bersekolah di tempatnya bertugas mayoritas merupakan anak dari orang-orang yang bekerja pada dinas-dinas pemerintahan di kota yang secara de facto disebut sebagai ibu kota kedua Korsel itu.
“Anak-anaknya pintar, disiplin, dan sangat menghormati guru. Guru di sini seperti raja, sangat tinggi kedudukannya. Selain itu, waktu pembelajaran hanya 45 menit per pelajaran,” jelasnya.
Sistem pendidikan itu pun membuatnya takjub. Dalam 45 menit, semua pembelajaran harus tersampaikan dalam bentuk praktik maupun teori. Power point pembelajaran sangat singkat, tetapi padat. Siswa juga mengisi lembar kerja.
Di sela mengajar, Uswah mengajarkan beragam hal seputar budaya Indonesia. Di antaranya, tari remo dan angklung yang dipelajarinya secara singkat bersama guru seni di SMPN 22 Surabaya sebelum berangkat ke Korsel.
Dia membawa kostum lengkap penari remo dengan 20 selendang yang dibeli di Pasar Blauran, Surabaya. Remo dia pilih karena tarian itu sangat identik dengan Surabaya dan Jawa Timur. Anak-anak Korsel, kata Uswah, pintar menari modern.
Tapi, remo adalah tari tradisional yang butuh gerakan berbeda. “Mereka susah saat gerakan nanjak atau kuda-kuda. Akhirnya, kaki lurus saja. Yang penting, mereka mengenal remo,” katanya.
Sementara untuk angklung, yang dia bawa dari SMPN 22 sebanyak 18 set. Kemampuan siswa-siswa Korea yang sudah belajar angklung pun sempat ditampilkan saat ada Festival Budaya Indonesia di sekolah.
Uswah juga mengajarkan beberapa jenis permainan tradisional Indonesia seperti congklak, bekel, dan gasing. Dia mendemonstrasikan pula bagaimana memasak pecel dengan bumbu yang dibawa dari Indonesia. Pada saat praktik memasak, para murid Uswah senang dan antusias. Tapi, giliran menjajal, mereka malu-malu.
“Pas sudah betulan menjajal pecel, ekspresinya itu lucu sekali. Karena tidak biasa dengan rasanya, jadi seperti bilang dalam hati, ’Kok rasanya begini ya?’,” kenang juara II Olimpiade Guru Nasional Jenjang SMP Mapel Bahasa Inggris Se-Kota Surabaya pada 2019 itu.
Uswah mengaku tidak menemui kendala berarti selama kurang lebih dua bulan mengajar di negeri semenanjung itu. Meski diakuinya bahasa menjadi tantangan tersendiri. Di sekolah yang ditempatinya, hanya ada beberapa siswa yang mahir berbahasa Inggris.
Dia memanfaatkan Google Lens, Google Translate, dan Papago untuk memudahkan. Selain itu, worksheet alias lembar kerja siswa dibuat sendiri dengan instruksi bilingual Inggris-Korea. “Juga saat penyampaian di kelas, dijelaskan bergantian dalam dua bahasa. Agak kurang cepatnya di situ. Tapi, ada guru di sana juga yang membantu,” ungkapnya.
Uswah mengaku belajar banyak dari kultur kerja disiplin dan cepat khas Korea. Terutama disiplin dalam pemilahan sampah yang dikelola secara modern. Kebetulan Uswah menaruh perhatian besar pada lingkungan.
Dia bahkan pernah didapuk sebagai Eco Teacher (Junior) of the Year 2020, Pembina Keluarga Sadar Iklim Terbaik 2020, serta Pembina Pangeran Puteri Lingkungan Hidup Terbaik Jenjang SMP di Surabaya.
“Di sini CCTV di mana-mana. Saya pikir orang Korea lebih takut CCTV daripada Tuhan, hehehe. Namun, akhirnya muncul kesadaran diri yang secara otomatis tumbuh dari dalam diri,” katanya. (*/c6/ttg/jpg)