Suhu muka air laut Indonesia sudah jauh meningkat, namun rencana aksi perubahan iklim belum secara nyata menyentuh pembenahan di laut.
YOGYAKARTA – Kondisi suhu muka air laut Indonesia diyakini sudah jauh meningkat, namun rencana aksi perubahan iklim yang dikeluarkan Bappenas belum memiliki concern terhadap hal itu. Padahal, bencana yang ditimbulkan oleh peningkatan suhu muka air laut tidak kalah besar dan akan langsung terasa.
“Salah satu penanda penting dari naiknya suhu muka air laut perairan Indonesia adalah terjadinya Siklon Cempaka hingga mengakibatkan sejumlah kerusakan besar di selatan Jawa,” kata pakar iklim dan lingkungan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Emilya Nurjani, di Yogyakarta, Jumat (12/1).
Emilya mengatakan dalam sejarah Indonesia, bibit siklon yang membutuhkan uap air laut hangat memang sering terlihat di dekat perarian Indonesia. Namun tidak pernah siklon tersebut kemudian mengalir dan mengarah ke daratan Indonesia, sebaliknya justru menjauhi Indonesia. “Nah, sekarang pergerakannya mendekati daratan Indonesia.
Ini artinya kita diingatkan bahwa suhu muka air laut kita sudah jauh meningkat, karena siklon butuh uap air hangat,” kata Emilya. Emilya menyadari pemerintah punya banyak keterbatasan untuk menyikapi perubahan iklim, terutama isu di laut.
Karenanya Emilya meminta Bappenas bekerja lebih cepat dalam menyelesaikan isu penggunaan lahan di darat yang saat ini menjadi konsentrasi utamanya sehingga bisa bergerak untuk mengantisipasi perubahan iklim di laut.
Makin Sulit
Selama ini isu laut masih sebatas konservasi sumber daya laut, seperti terumbu karang itu pun juga berjalan jauh dari harapan. Dengan adanya Siklon Cempaka yang berarti suhu muka air laut meningkat. Emilya mengatakan konservasi terumbu karang juga akan makin sulit karena terumbu karang tidak bisa tumbuh jika suhu laut meningkat.
“Isu laut ini isu yang perlu perhatian semua stakeholder karena limbah rumah tangga, perusahaan, yang semua dialirkan ke laut ini kan perlu diatur oleh semua pihak dari pemerintah daerah dan semua kementerian,” kata Emilya. Secara terpisah, pengamat lingkungan dari Unika Soegijapranata Semarang, Djoko Suwarno mengatakan adanya perubahan iklim membuat kadar oksigen di laut menurun sehingga akan mengancam ekosistem laut.
Terlebih keberadaan laut menjadi pemasok terbesar oksigen di bumi. Menurut Djoko, perubahan iklim yang terjadi di Indonesia umumnya ditandai adanya perubahan temperatur rerata harian, pola curah hujan, tinggi muka laut, dan variabilitas iklim seperti El Nino dan La Nina, Indian Dipole, dan lainnya.
Perubahan ini memberi dampak serius terhadap berbagai sektor di Indonesia, misalnya kesehatan, pertanian, perekonomian, dan sektor lainnya. “Penurunan oksigen merupakan dampak paling serius akibat tingkah laku manusia di bumi. Manusia hendaknya jangan main-main dengan melakukan hal yang merugikan lingkungan dan merusak eksositenm laut, seperti membuang limbah serta emisi gas rumah kaca,” kata Djoko.
Hewan di air perlu oksigen terlarut dengan konsentrasi 5 mg/liter atau lebih untuk bisa hidup dan berkembang. Namun, jumlah kebutuhan oksigen dapat berbeda-beda, bervariasi tergantung pada seberapa besar atau kompleks hewan tersebut dan di mana dia hidup.
YK/SM/N-3