Sejak tamat SMA hingga berkeluarga dan memiliki empat anak, Reni bertahan hidup sebagai buruh tani. Namun seiring makin beratnya beban kehidupan, tahun 2013 Reni memutuskan belajar menenun. Ternyata, tenun mengubah hidupnya. Lewat Kelompok Tambose Berkarya, dia berhasil memberdayakan ibu-ibu di kampungnya.
Dulu, saking susahnya hidup, Reni harus meninggalkan kampungnya, Jorong Tambose, Nagari Tanjungbonai, Kecamatan Lintaubuo Utara, Tanahdatar dan tinggal di kampung suaminya di Jorong Tanjungmodang, yang masih berada di Nagari Tanjungbonai.
“Di kampung, keluarga saya banyak, sementara lahan hanya sedikit. Makanya, kami tinggal di kampung suami. Karena susahnya hidup, kami harus tinggal menumpang di lahan orang,” ujar perempuan 47 tahun itu ketika berbincang dengan Padang Ekspres, kemarin.
Tak pernah terbayangkan oleh Reni hingga akhirnya dia menjadi seorang penenun. Dia hanya mencoba bertahan menjalani hidup, meski berbagai kesusahan terus menerpanya. Karena susahnya hidup, bahkan anak tertuanya pun terpaksa putus sekolah di kelas 2 SMP. Jangankan rumah layak, sepeda motor butut pun tak dimilikinya.
“Hari gini nggak punya motor,” kalimat itu pernah dilontarkan seorang kawan kepadanya ketika melihat dia melintas sambil mendorong anaknya naik gerobak.
Tahun 2013, kehidupan buruh tani semakin susah. Tidak ada orang yang menggunakan jasa dia dan suaminya, karena musim hujan atau kemarau berkepanjangan. Dia pun memutuskan belajar menenun dari penenun di Jorong Tanjungmodang tersebut.
Ternyata, kemampuan menenun yang didapatkannya bisa membantu perekonomian keluarganya. Reni kemudian teringat bahwa banyak kaum perempuan di kampungnya yang tidak ada pekerjaan bisa diberdayakan untuk menenun.
Berkat bimbingan Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M), akhirnya Reni mendirikan kelompok bernama Tambose Berkarya. Lewat kelompok itu, dia mendekati ibu-ibu di kampungnya untuk mau belajar menenun.
Namun, usahanya tidak mudah. Cibiran dan pandangan sebelah mata adalah hal biasa diterimanya. Namun, dia terus bekerja. Awalnya dia ajak orang-orang terdekatnya, seperti saudaranya, sepupu dan tetangganya.
Selain mempraktikkan hasil belajarnya, dia terus mengembangkan keterampilannya dengan belajar ke Pandaisikek dan Silungkang. Berkat pelatihan yang diikutinya di Padangpanjang, kelompok yang didirikan Reni memiliki pelanggan tetap seorang pengusaha di Jakarta.
Selain sibuk menenun, Reni juga ikut kegiatan majelis taklim di kampungnya. Sambil kegiatan majelis taklim, dia juga mendekati ibu-ibu untuk sama-sama berjuang mengembangkan tenun.
Perlahan tapi pasti, ibu-ibu yang melihat manfaat dari usaha Reni mulai banyak bergabung. Bahkan, banyak juga yang sudah tak bisa menenun karena matanya sudah minus atau rabun minta bergabung. Reni bersemangat menyambut ibu-ibu yang mau belajar dan datang kepadanya tersebut.
Dia memperkerjakan mereka sesuai kemampuannya. Meski tidak bisa menenun, ibu-ibu tadi diberdayakan untuk mencelup benang, menyambung benang, memintal benang. Di sisi lain, suaminya, Syafridal juga belajar membuat alat tenun dan sekarang sudah bisa membantu membuat alat tenun.
Reni mengaku tak mengharap bayaran dari orang yang belajar tenun kepadanya. Bagi dia, yang penting ibu-ibu sama-sama memiliki tekad dan bisa mengembangkan tenun di Lintau.
Suatu ketika, kelompok Tambose Berkarya dikunjung istri Wapres RI, Mufidah Jusuf Kalla yang sedang pulang kampung. Kepada Reni, istri Wapres berpesan agar mempelajari songket Lintau dan mengembangkannya. Sebab, dulu di Lintau juga ada pusat songket dan memiliki ciri khas sendiri.
Mendapat amanah itu, Reni kemudian menelusuri sejarah songket Lintau. Dia menggali dan mencari songket-songket khas Lintau tersebut. Sejak mendapat kunjungan istri wapres itu, dukungan pun semakin mengalir ke kelompok Tambose Berkarya tersebut.
“Saya dapat amanah mambangkik batang tarandam. Ini menjadi motivasi tersendiri buat saya,” jelas perempuan kelahiran 15 Maret 1970 tersebut.
Beberapa waktu lalu, Reni mendapat penghargaan sebagai perempuan inspiratif di bidang pemberdayaan dan sosial kemasyarakatan. Dia menilai, semua itu bukanlah akhir perjuangannya.
Dia bertekad terus mengembangkan tenun dan membangkitkan songket Lintau yang lama terpendam hingga akhirnya kampung halamannya bisa jadi pusat tenunan seperti Pandaisikek dan Silungkang.
“Sekarang dukungan sudah sangat banyak. Baik dari pemerintahan nagari, Pemkab Tanahdatar dan pihak-pihak lainnya. Ibu ketua PKK Tanahdatar juga banyak men-support saya. Namun, paling banyak perannya saya rasakan adalah LP2M. LP2M lah yang membukakan jalan dan memperkenalkan tenun kepada orang-orang luar di sini,” ujar. (*)
LOGIN untuk mengomentari.