JAKARTA – Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, menegaskan resesi ekonomi yang akan dialami Indonesia ke depan harus dihadapi dan menjadi momentum untuk melakukan transformasi guna memperkuat fundamental ekonomi.
“Saat resesi adalah saat terbaik untuk melihat yang harus diperbaiki dari kondisi ekonomi. Kita lakukan transformasi agar semakin kuat setelah keluar resesi,” katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Senin (12/10).
Transformasi, tambahnya, perlu karena eskalasi pandemi Covid-19 yang masih meningkat menyebabkan investasi dan konsumsi menurun sehingga pertumbuhan ekonomi terkontraksi.
“Ini mungkin menjadi ancaman tahun depan. Pekerjaan hilang dan mengancam daya beli. Harus mengoreksi jangka pendek. Tapi resesi jangan sampai disia-siakan,” kata Febrio.
Transformasi juga untuk mengejar target Indonesia emas menjadi negara maju pada 2045 mendatang melalui kesiapan infrastruktur, sumber daya manusia (SDM) berkualitas, teknologi, perencanaan kewilayahan, hingga menyehatkan ekonomi serta keuangan.
“APBN sehat, makro stabil, politik stabil, aturan hukum semakin pasti,” katanya.
Menurutnya, saat ini tren pengangguran menurun, namun jumlah orang menganggur didominasi usia muda produktif dan berpendidikan rendah. Sebab itu, reformasi harus dilakukan agar SDM dapat ditampung di lapangan kerja yang berkualitas, sedangkan transformasi dilakukan untuk memastikan kemudahan berusaha Indonesia terus meningkat.
“Ease of doing business (EODB) luar biasa meningkat dari 2014–2018, tapi peningkatan harus dilanjutkan. Terlihat dari 2018, kita belum mengalami perbaikan signifikan. Perbaikan ini harus dilanjutkan,” katanya.
Penegakan Hukum
Sementara itu, pakar ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan transformasi ekonomi dalam menghadapi resesi mutlak membutuhkan stabilitas politik dan kepastian hukum.
“Untuk hukum, yang perlu diperhatikan adalah penegakannya. Jangan ada tebang pilih, dan permainan kolutif terutama dalam pemberian sanksi, keringanan, dan semacamnya. Karena ini berkaitan dengan efek jera yang menjadi tujuan hukum itu dibuat,” kata Wibisono.
Secara terpisah, pakar ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Bhima Yudhistira, mengungkapkan resesi ekonomi harus menjadi momentum mendorong transformasi ekonomi nasional khususnya di ketahanan pangan.
“Akhir-akhir ini banyak negara mulai mengurangi ekspor pangan untuk mengamankan cadangan pangan nasionalnya seperti Vietnam. Dengan cadangan pangan yang cukup ketika terjadi guncangan global, harga pangan lebih stabil dan kelangkaan pangan bisa dihindari,” kata Bhima.
Selain itu, transformasi ekonomi harus menyasar industri manufaktur dengan memperbesar kontribusinya terhadap PDB yang sempat melorot di bawah 20 persen. “Untuk sektor industri transformasi yang dibutuhkan adalah pengendalian impor barang jadi, percepatan fasilitas di kawasan-kawasan ekonomi khususnya terkait perbaikan kapasitas infrastruktur, menurunkan pungli dan menurunkan biaya logistik, musuh industrialisasi adalah ekonomi berbiaya tinggi (high cost economy),” pungkasnya. n SB/uyo/ers/E-9