Hari Rabu 29 Maret 2017, Rumah Sakit Universitas Andalas baru saja diresmikan melalui soft launching oleh Menristek Dikti yang diwakili Dirjen Sumber Daya Iptek Dikti Kemenristek Dikti, Ali Ghufron Mukti.
Rumah sakit pendidikan yang dimulai pembangunannya tiga tahun lalu ini merupakan rumah sakit tipe C yang terdiri dari 200 tempat tidur dengan fasilitas rawat inap dan rawat jalan. Rumah sakit ini dilengkapi ruang operasi yang modern dengan peralatan canggih, serta berbagai fasilitas laboratorium yang juga sophisticated.
Sebagai warga kampus, tentu saja penulis bangga dengan adanya rumah sakit ini. Rumah sakit ini tentu menambah unsur yang dapat dibanggakan ke dunia luar, dan menjadikan Unand semakin mengokohkan dirinya sebagai perguruan tinggi yang terkemuka.
Keberadaan RS Unand ini tidak terlepas dari amanat UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, di mana dalam salah satu pasalnya ditegaskan bahwa perguruan tinggi yang memiliki fakultas kedokteran wajib memiliki rumah sakit pendidikan.
Dengan adanya amanat UU No. 20 Tahun 2013 itu, maka sejumlah rumah sakit di beberapa perguruan tinggi sudah berdiri seperti antara lain RS Universitas Airlangga, RS Universitas Tanjung Pura, RS Universitas Indonesia, RS UGM, RS USU.
Bagi warga Kota Padang, khususnya yang bertempat tinggal dekat dengan kampus, keberadaan rumah sakit ini diyakini disambut dengan gembira. Sebab, dengan jumlah penduduk yang ada yang tersebar di wilayah yang cukup luas, jumlah rumah sakit yang ada belum dapat melayani semua warga yang membutuhkan. Sering kita dengar pasien yang membutuhkan perawatan, terutama perawatan untuk kelas menengah/atas, terpaksa menunggu antrean. Bahkan, ada yang akhirnya terpaksa dibawa ke Jakarta.
Akan tetapi ada yang terpikir oleh penulis, yakni masalah transportasi ke kampus. Sudah dapat dipastikan bahwa dengan beroperasinya rumah sakit ini arus lalu lintas ke arah kampus akan semakin padat. Sebab volume kendaraan akan meningkat pesat. Penulis terpikir, apakah untuk urusan transportasi ini Unand sudah melibatkan para pakar transportasi.
Penulis punya kekhawatiran ini karena dulu pernah pimpinan universitas kurang tepat dalam membangun model (bundaran) beberapa persimpangan di dalam kampus. Waktu itu penulis langsung menemui rekan di fakultas teknik yang pakar di bidang transportasi. Penulis sampaikan pandangan terkait model persimpangan yang tidak tepat dirasakan.
Saat ditanya, ternyata pakar tersebut membenarkan pendapat penulis sambil menjelaskan bahwa tidak satu orang pun pakar transportasi Unand yang dilibatkan dalam mendesain transportasi di dalam kampus. Padahal di jurusan Teknik Sipil ada empat orang pakar transportasi bergelar doktor lulusan Eropa dan Australia.
Kalau ditambah dengan yang di Politeknik, maka ada lima orang doktor transportasi. Tapi waktu itu cukup mempercayakan saja urusan ini kepada konsultan. Untunglah tahun lalu desain bundaran di persimpangan ini dibongkar dan direkonstruksi kembali.
Berpedoman pada masalah desain lalu lintas (bundaran) yang pernah keliru di atas, maka timbul pula keraguan penulis tentang masalah transportasi yang akan muncul dengan beroperasinya RS Unand ini nantinya. Apakah para pakar transportasi Jurusan Teknik Sipil Unand sudah dilibatkan? Sebab, sebelum rumah sakit ini beroperasi saja kita sudah menghadapi masalah kemacetan di daerah Pasar Baru, terutama pada jam-jam sibuk (pagi dan sore). Di Pasar Baru banyak angkot “ngetem”, sehingga kendaraan yang datang dari arah kampus, dari arah Bypass dan dari arah Bandarbuat terjebak macet.
Yang paling parahnya adalah ketika bulan Ramadhan tiba. Pada bulan puasa di Pasar Baru biasanya berdiri pasar pabukoan, yang menempati badan jalan. Akibatnya, jalan yang sudah sempit semakin susah dilalui kendaraan warga kampus yang pulang sore. Saat itu, antrean kendaraan sangat panjang, dengan pergerakan merayap. Warga kampus yang ingin cepat sampai ke rumah terpaksa bersabar menghadapi kemacetan yang rutin dan parah tersebut.
Nah, jika belum dipikirkan langkah mengantisipasi kemacetan, maka ini akan jadi persoalan besar nantinya. Bayangkan, ketika terjadi kemacetan akut di daerah sekitar Pasar Baru, pada saat bersamaan ada pasien yang harus cepat sampai ke rumah sakit, maka sebuah musibah bisa saja terjadi. Di saat terjadi kemacetan parah, sebuah mobil ambulan pun bisa tertahan.
Walaupun ada akses jalan dari dan ke RS Unand di arah selatan kampus, namun jalan itu lebarnya tidak memadai. Penulis yakin, penambahan volume kendaraan dengan beroperasinya RS Unand ini akan melebihi daya dukung jalan di semua sisi, dengan Jl Moh Hatta akan tetap sebagai pilihan utama. Di jalan utama ini pula potensi besar kemacetan tersebut bisa terjadi.
Untuk itu beberapa solusi penulis usulkan. Pertama, daerah sekitar persimpangan harus bebas dari angkot yang “ngetem” sejauh beberapa puluh meter dari simpang Pasar Baru, baik yang di jalan Moh Hatta maupun ke arah Bandarbuat. Kedua, jembatan dan jalan ke arah Gunung Nago harus direhabilitasi sehingga aman dan nyaman dilalui. Dengan kondisi jalan, terutama jembatan (darurat) yang ada sekarang banyak orang enggan melaluinya.
Jika jembatan Gunungnago ini direhabilitasi/direkonstruksi menjadi permanen dan jalan ke arah sana ditingkatkan pula, maka arus kendaraan ke arah Pasar Baru dipastikan berkurang. Pasalnya, banyak warga Unand yang bertempat tinggal di daerah Belimbing dan Kuranji, yang tentu akan lebih nyaman dan cepat sampai ke tempat tujuan dengan memilih jalur ini.
Ketiga, di simpang Pasar Baru harus selalu stand-by polisi untuk mengatur lalu lintas. Walaupun misalnya sudah dibuat aturan angkot dan kendaraan lain tidak diperbolehkan berhenti beberapa puluh meter dari simpang Pasar Baru, namun bila ada sopir yang membandel, tetap saja akan terjadi kemacetan. Karena itu perlu seorang polisi stand-by agar kemacetan dapat dicegah.
Ini hanyalah pendapat dan usulan dari penulis sebagai pengamat transportasi. Tentu akan lebih baik bila Unand melibatkan para pakar transportasi yang dimiliki kampusnya sendiri. Mereka tentu lebih kompeten menyikapi masalah ini. (*)
LOGIN untuk mengomentari.