in

Rupa-rupa Pileh Radja di Bumoe Teuku Umar

Mustafa Woyla

Oleh: Mustafa Husen Woyla*

Pilkada sudah lama usai. Pelantikanpun sudah dihelat dengan gegap gempita. Sebelum, sedang dan sesudah Pilkada, tentu ada rupa-rupa dinamika plitek yang berlaku di berbagai daerah. Salah satunya adalah di bumoe Teuku Umar Johan Pahlawan.

Di sana, ada pasangan calon (Paslon) yang sedang “terpuruk” mampu bangkit menang. Sementara yang sedang di atas “Awan Kejayaan” malah tersungkur di jalan. Menggapai puncak kesuksesan dalam lingkaran kekuasaan dengan jumlah pengikut, pengusung dan pendukung yang melimpah adalah sebuah perkara yang lumrah dan biasa-biasa saja. Namun unggul dalam “keterbatasan” itulah fenomena yang menarik dan mengilitik untuk dianalisa, dicermati dan disimpulkan. Apa yang melatarbelakangi terjadinya loncatan perubahan budaya, sosial dan politik dalam PESTA DEMOKRASI PILKADA bilkhusus di Aceh Barat pada periode 2017-2019 ini.

Berangkat dari itulah penulis tergugah membuat “coretan” sederhana ini, namun sebelumnya perlu dicacat bahwa, Penulis bukanlah relawan apalagi tim suksesi Ramli MS & Banta Puteh Syam. Coretan ini hanya bentuk al-Hamasat (ungkapan kekaguman) bukan maddah (pujian mengharap imbalan raja). Ini hanya panggilan jiwa dari seorang warga Aceh Barat berasal dari Woyla.

Langsung saja:

Bismillahi tawakkaltu ‘alallahi, walaa haula wala quwwata illa billah

Ka trôh Watê tabalah jasa rakjat (sudah saatnya kita balas jasa rakyat).
(Jargon Politik, Ramli MS & Banta Puteh Syam).
Pesan tersirat di sini antara lain, tekad yang kuat serta ber’azam kembali bekerja untuk mensejahterakan rakyat.

Kamoe hana janji, le bukti yang ka nyata (Kami tidak berjanji, banyak bukti yang sudah nyata). (Jargon Politik HT. Alaidinsyah – H. Kamaruddin).

Pesan disini antara lain, Yang penting kerja nyata bukan harapan dan juga semacam laporan pertanggungjawaban sebagai landasan menuju peroide selanjutnya.

Memang, Jargon bukanlah bagian yang menentukan untuk mendongkrak elaktabilitas Pasangan Calon (Paslon) yang berkompetisi, namun dari kedua jargon tersebut keubit meuseunia dan sarat makna. Pun demikian, semua berpulang kepada rakyat yang menentukan pilihan dan rakyat sudah memilih.

Hasil final dari Pemilihan Kepada Daerah (PILKADA) adalah perkara ghaib dan spekulatif, jadi tidak bisa ditebak dan direka-reka. Hanya Allah pengatur alam semesta yang tau. Memang, jika ditilik dari sejumlah survey, parpol pengusung dan pendukung. Banyak orang menduga RATA kembali mengalami hal serupa di Pilkada lalu. Namun tetaplah suara rakyat itu milik Tuhan karena Tuhan Allah-lah yang membolak-balikkan hati hambaNya. Oleh karena demikian siapapun dia, sangat terlarang sacara aqidah mendahului kententuan Allah SWT dalam klaim kemenangan kecuali bersifat politis belaka.

Ada energi positif dalam diri Ramli, benarlah kata sebagian orang sufi dan ahli thariqat “Berkah Tauhid Tasawuf itulah yang mengantarkannya kembali diberi amanah oleh Allah menjadi mudabbir (pengatur) di Bumoe Teuku Umar Djohan Pahlawan dan Djut Nyak Dien itu. Dan kita doakan, semoga kejayaan “KOTA TAUHID TASAUF” kembali Gemilang setelah meredup selama 5 tahun silam”.

Kendatipun masyarakat Aceh gemar membahas politik di keude kuphi, bak jamboe blang hatta kenduri sinujoh pun plôh plitek. Namun tak terbantahkan suara mereka tak mudah di-Peuron begitu saja lagee padee dipot lam blang, sahoe sajan kiban yang angen badee ba. Ada hasrat politik yang kuat yang mereka kehendaki dan itu mesti terwujud. Jadi, han meumada ngon sioen ija krong cap topah, sitrop dan baje sareng kuphi.

Slogan yang menglitik “peng cok, pileh bek” konon tak bertuan itu, ternyata bukan isapan jempol. Terbukti diaplikasikan di hari H (hari pencoblosan). Hal itu berdasarkan azas pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, Tersebab itu dalam menentukan pilihan dalam bilik suara hanya Allah dan dia (pemilih) yang tau.

Diakui atau tidak, di era reformasi dan sistem Pemilihan Langsung (Pilsung) adanya finansial sebuah keniscayaan. Namun hal ini tidak berlaku pada sosok Ramli. Dimana dia dengan susah payah berjibaku dengan satu “jaloe dan satu nakhoda” yang pernah ’’oleng dan pecah’’ kembali berlayar dengan muatan penuh dan sampai dengan selamat.

Hampir menjadi adat kebiasaan, para calon pemilih terkadang hanya bersedia datang meramaikan kampanye jika na peng minyeuk, bu leuhoe dan peng ie. Namun semua itu tak berlaku di kampanye paslon BUPATI-Wakil BUPATI disingkat dengan RATA ini. Dimana mereka ada yang bungkoh bu keudroe, peng ie dan minyeuk ata droe bahkan ketika mendatangi kediaman Ramli mereka pun datang layaknya jak bak khauri Seunujoh atawa peut ploh saweub na Seunijik, Lengkap dengan beras seureuta bawang campli dan engkot wala ka engkot. Bukankah itu sebuah perkara yang amazing wa ajib?

Hal di atas benar-benar sebuah peristiwa langka di Pilkada dengan sistem Pemilihan Langsung (pilsung) ini. Karena selama ini masyarakat sudah apatis dengan politik. Sering terdengar. Tapileh soe yang galak. Sebab taloe menang, han meu ubah cit nasib tanyoe. Dan anehnya lagi, para dermawan yang alergi politik juga ikut menyisihkan sedikit rupiahnya.

Realitas lain juga membuktikan kepada publik bahwa, pemilih kabupaten Aceh Barat sangat selektif dan cerdas mengevaluasi kinerja Bupati PETAHANA. Terbukti dengan kalahnya pasangan PETAHANA dua kali berturut-turut. Perubahan sosial politik inilah menjadi catatan tersendiri bagi pengamat politik sehingga tak berujung payah ta amati jih wate dipeuteubit haba. Untuk itu ke depan siapapun dia, tidak perlu gentar melawan persaingan antara kandidat petahana dan non petahana jika kinerja dan janji-janji politiknya tinggal di atas kertas alias tidak dibuktikan di alam nyata. Konkritnya bisa disimpulkan, tak ada istilah membangun dinasti dan “raksasa” politik yang mengangkang di BUMOE TEUKU UMAR dan DJUT NYAK DIEN ITU.

Anti HOAX, selektif dan bijak dalam menyikapi isu yang berkembang selama PILKADA, dengan adanya sejumlah isu miring yang menyerang sejumlah paslon. ternyata masyarakat Aceh Barat punya cara tersendiri menyikapi dengan arif dan bijak. Bagi mereka tahun politik semua bisa “digoreng” untuk meraih kemenangan.

Kesan pribadi penulis, ketika menjabat selaku salah satu ormas Islam di Aceh. Pernah melaporkan pengaduan via SMS (Short Message Service) untuk minta dihentikan perhelatan yang melanggar Syariat Islam di Aceh. Walaupun yang menggelar acara itu pihak vertikal. Ironisnya, akhir-akhir ini bukan dibela, malah mengecam dengan tuduhan radikal terhadap para pengawal syariat Islam. Duuuh, miris bukan?

‘Ala kulli haal (ateuh ban mandum) Saleum dan Seulamat Teuka Kembali Teungku Ramli bin Teungku Mansur, pejabat yang terkenal dengan “Sang Pendekar” Pembela Syariat Islam. Hari ini bukan dilantik tapi hanya meneruskan amanah yang sudah lama jeda.

Terima kasih yang tak terhingga kepada pimpinan daerah sebelumnya yang sudah fokus dan berhasil membangun infrastruktur yang kokoh.

Kini, tibalah saatnya Bupati berlanjut membangun hati, moral dan sumber daya manusia dalam bingkai Syariat Islam yang meusenia.

#Tabek dan saleum hormat keu Teungku Ramli bin Teungku Mansur, tetap istiqamah bek goyang.

*Mustafa Husen Woyla
Penulis adalah; Sektaris Jenderal Ikatan Penulis Santri Aceh (IPSA) dan Pengamat Bumoe Singet), Email: [email protected]

Komentar

What do you think?

Written by Julliana Elora

Aceh Perkuat Kerjasama Sub Kawasan IMT-GT

Dari Lombok, Menuju Cirebon