Saksi ahli keuangan negara yang dihadirkan jaksa mempertegas proses pelepasan aset PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim tidak melanggar prosedur. Kerugian yang muncul di perusahaan tidak bisa serta-merta dikategorikan sebagai kerugian negara.
Hal tersebut disampaikan Siswo Sujanto dalam sidang dengan terdakwa Dahlan Iskan di Pengadilan Tipikor Surabaya, kemarin (17/3). Dosen di Universitas Patria Artha Makassar itu menjelaskan, pertanggungjawaban keuangan di BUMD tidak serta-merta menjadi kerugian negara.
Mantan sekretaris Direktorat Jenderal Perbendaharaan Departemen Keuangan itu menjelaskan, prinsipnya penjualan aset dilakukan untuk menghindarkan kerugian negara. Hal tersebut, salah satunya dilakukan dengan cara mencari harga yang paling menguntungkan.
Dia mencontohkan, bila ada 10 orang yang mengajukan penawaran, dicari yang paling tinggi. “Ketika mencari harga, harus sudah punya ukuran dan keyakinan,” tuturnya.
Ukuran itu didapat dengan cara melakukan penaksiran yang hasilnya dijadikan untuk menentukan harga perkiraan. Penaksiran tersebut dilakukan orang atau lembaga yang memiliki keahlian khusus.
Proses itu sudah sesuai dengan tahap pelepasan lahan milik PT PWU Jatim di Kediri dan Tulungagung yang dipermasalahkan jaksa. Dalam pelepasan tersebut, tim restrukturisasi dan tim penjualan aset PWU sudah melakukan penaksiran harga melalui tim appraisal. Hasil itu kemudian dijadikan acuan untuk menilai penawaran yang masuk.
Selain itu, tim penjualan sudah melakukan lelang. Ada beberapa pihak yang mengajukan penawaran harga untuk dua aset tersebut. Tim penjualan yang diketuai Wisnu Wardhana kemudian memilih PT Sempulur Adi Mandiri (SAM) karena mengajukan penawaran paling tinggi. Akhirnya, penawar dengan harga tertinggi itulah yang ditetapkan sebagai pemenang.
Mantan Kasubdit Pinjaman dan Hibah Luar Negeri Direktorat Tata Usaha Anggaran Depkeu itu juga memberikan pencerahan terkait dengan kerugian negara. Pria yang pernah menimba ilmu tentang keuangan negara di Perancis tersebut mengungkapkan, ada perbedaan cara pandang kerugian negara antara lembaga pemerintah dan pengelola kekayaan negara yang dipisahkan. Kekayaan negara yang dipisahkan itu seperti terjadi pada PT PWU yang berstatus BUMD Pemprov Jatim.
Menurut Siswo, di lembaga pemerintah, setiap perbuatan yang menyalahi ketentuan dan merugikan keuangan dipandang sebagai kerugian negara. Pengertian itu tidak memiliki pengecualian karena menyangkut keuangan yang bersumber dari anggaran belanja negara.
Lain halnya dengan kerugian perusahaan berstatus BUMD yang berorientasi bisnis. Menurut dia, dalam hal bisnis, kerugian tidak selalu dianggap sebagai kerugian negara. Sebab, motivasi bisnis adalah mencari keuntungan. “Walaupun milik pemerintah. Karena ada misi utama melayani masyarakat,” jelasnya.
Menurut dia, bisnis dikelola secara profesional. Misinya adalah mencari keuntungan. Walaupun profesional, perusahaan bisa jadi mengalami kerugian. Siswo mencontohkan jika ada yang akan berinvestasi. Agar tidak rugi, dibuatlah analisis. Setelah ada analisis, saham dibeli.
Dalam perjalanannya, tidak bisa dipastikan bahwa nilai saham yang dibelinya akan selalu naik. Bisa saja anjlok. “Apakah disalahkan? Tidak bisa,” ucapnya. Sebab, lanjut Siswo, pembeli saham itu sudah melakukan analisis. “Kerugian negara tidak bisa disamakan dengan kerugian bisnis,” tegasnya.
Menurut Siswo, apabila tahapan sudah ditempuh tapi masih merugi, perseroan dianggap mengalami kerugian perusahaan. Misalnya, bila ada keputusan yang secara sadar dikeluarkan karena bisnis dan bukan karena kepentingan pribadi, itu disebut risiko bisnis. Tapi, jika dilakukan seenaknya tanpa proses analisis, pembelian tersebut bisa dianggap sebagai kerugian negara.
Dalam sidang tersebut, jaksa Trimo berusaha mengejar orang yang harus bertanggung jawab jika terjadi kesalahan dalam mengelola perusahaan. Menurut Siswo, ada dua jenis pegawai dalam lembaga. Yakni, pengambil kebijakan dan pelaksana.”
Jika ada kesalahan, dilihat terlebih dahulu sumbernya. Apakah kesalahan kebijakan atau kesalahan teknis. Bisa jadi, kebijakan sudah benar, tapi pelaksanaannya yang keliru. Atau sebaliknya. Kebijakannya keliru, tapi pelaksanaannya sudah benar. Jika kebijakan sudah benar dan terjadi kesalahan pada sisi teknis, yang dimintai pertanggungjawaban adalah pelaksananya.
Dalam undang-undang keuangan negara, ada penjelasan mengenai akuntabilitas. Ada akuntabilitas politik yang diarahkan pada tanggung jawab pengambil kebijakan. Ada akuntabilitas kinerja yang diarahkan pada operator atau pelaksana teknis kebijakan. Nah, dengan nadanya akuntabilitas itu, pertanggungjawaban dalam perseroan tak harus diarahkan kepada pengambil kebijakan.
Siswo juga menyinggung kemungkinan adanya pengambilan kebijakan perusahaan yang tidak sesuai tahapan. Menurut dia, proses dan tahapan bisa dilakukan tanpa berurutan. Asalkan dalam keadaan darurat.
Jaksa Trimo langsung bertanya dengan mengajukan penggambaran. Apakah termasuk dalam kondisi darurat, jika ada perusahaan yang merugi dan kalau tidak segera dijual akan semakin rugi. Siswo mengatakan, salah satu kategori darurat adalah perusahaan itu mendapat ancaman. “Misalnya, perusahaan, kalau tidak melakukan langkah, akan mati. Itu termasuk ancaman,” ucap Siswo.
Hal tersebut menggambarkan kondisi pabrik keramik di Tulungagung. Ketika produksi menurun, muncul tuntutan kenaikan gaji dari para karyawan. Pada waktu yang sama, harga BBM naik beberapa kali sehingga semakin mempersulit kondisi pabrik.
Siswo menambahkan, mengelola BUMN/BUMD tidak sesederhana mengelola lembaga kementerian. Menurut dia, untuk dikatakan akuntabel, lembaga kementerian cukup mengikuti proses. Misalnya, mengikuti lelang dengan melewati semua tahapan. Jika tahapan itu diikuti, lembaga sudah disebut akuntabel.
Lain halnya dengan mengelola BUMN/BUMD. Agar BUMN/BUMD dikatakan akuntabel, pendekatannya jauh berbeda dengan lembaga kementerian. Misalnya, kalau kondisi perusahaan sedang darurat, harus ada langkah-langkah yang diambil. Pengambilan keputusan juga harus cepat.
Jaksa pun sempat meminta ahli menilai jika ada penjualan aset BUMD yang pembayarannya dipecah-pecah. Pertanyaan itu diajukan terkait dengan pemecahan pembayaran penjualan aset di Kediri. Salah satunya pemecahan untuk biaya penjualan.
Siswo menegaskan, hasil penjualan dimasukkan ke negara dalam bentuk bruto. Kalau ada kebutuhan selama proses penjualan, biaya bisa diambilkan dari pemasukan tersebut. Sebab, biaya penjualan seperti yang dicontohkan jaksa itu termasuk pengeluaran negara. Dia memberikan contoh jika tanah dikuasai orang lain dan tidak bisa dikosongkan. Tanah tersebut kemudian dijual. Ada sebagian hasil penjualan yang digunakan untuk mengosongkan. Sisanya baru disetorkan ke negara.
Agus Dwiwarsono, salah seorang pengacara Dahlan, menyatakan bahwa keterangan ahli yang diajukan jaksa itu justru menegaskan bahwa tahapan penjualan aset PT PWU sudah benar. Misalnya, adanya seleksi penawar dan diambil yang menawar paling tinggi. Selain itu, saksi ahli memberikan penegasan tentang kerugian negara di BUMN/BUMD. “Batasannya sudah jelas. Mengelola perusahaan berbeda dengan lembaga pemerintah. Tidak bisa disamakan,” jelasnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.