Diposkan pada: 15 Feb 2018 ; 194 Views Kategori: Transkrip Pidato
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakatuh.
Selamat sore,
Salam sejahtera bagi kita semuanya,
Shalom,
Om Swastiastu,
Namo Buddhaya,
Salam kebajikan.
Yang sudah hormati Bapak Din Syamsuddin selaku Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban,
Yang saya hormati para Menteri Kabinet Kerja beserta seluruh staf,
Yang saya hormati Yang Mulia para Pemuka Agama dari seluruh tanah air yang hadir pada sore hari ini.
Setiap saya bertemu dengan kepala negara, kepala pemerintahan baik itu raja, presiden, maupun perdana menteri dari negara-negara sahabat, saya merasa bangga dan saya kira kita semuanya merasa bangga bahwa beliau-beliau selalu menyanjung, selalu menyanjung Indonesia dan selalu menyampaikan terima kasih kepada negara kita Indonesia.
Mengapa Indonesia disanjung? Karena Indonesia-lah contoh masyarakat yang majemuk, masyarakat yang beragam, yang penuh toleransi dan kebersamaan. Itu yang menyampaikan beliau-beliau, bukan saya. Karena Indonesia-lah contoh masyarakat muslim yang mengedepankan Islam moderat. Karena Indonesia-lah contoh keberhasilan menjaga Bhinneka Tunggal Ika.
Dan saya selalu menjawab apa yang disampaikan oleh beliau-beliau tersebut, “Ya, karena Indonesia memiliki pemuka-pemuka agama yang mengajarkan toleransi dan persatuan. Karena para tokoh masyarakat dan pemuka-pemuka agama selalu mengedepankan dialog, mengedepankan musyawarah dengan penuh kesabaran. Karena Indonesia adalah rumah bersama bagi seluruh rakyat yang begitu majemuk. Dan karena Indonesia mempunyai Pancasila yang menjadi rumah bersama kita.”
Oleh karena itu, saya menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pak Din, kepada seluruh pemuka agama, peserta musyawarah besar pemuka agama atas komitmennya untuk memperkuat kerukunan bangsa, serta atas komitmennya untuk memperkokoh NKRI, memperkokoh Pancasila, serta memperkokoh Bhinneka Tunggal Ika. Seperti tadi yang disampaikan oleh Prof. Din mengenai butir-butir kesepakatan dari tujuh bahan baku yang sudah dibahas di dalam musyawarah besar selama tiga hari penuh.
Yang saya hormati Yang Mulia para Pemuka Agama,
Sebagai masyarakat yang majemuk, yang memeluk agama yang berbeda-beda, peran Bapak dan Ibu selaku pemuka agama sangatlah penting, sangatlah strategis. Peran kita semuanya untuk terus-menerus memberikan contoh dan teladan-teladan yang baik. Teladan untuk berinteraksi dengan pemeluk agama yang lain dengan penuh empati dan saling menghormati, saling menghargai.
Kita aparat pemerintah dan para pemuka agama harus selalu bekerja sama untuk membangun Indonesia yang kokoh. Bukan saja toleran dan saling pengertian semata, tetapi juga terus saling bekerja sama, bersinergi menjaga pendidikan dan sikap umat kita masing-masing. Bekerja sama untuk mengembangkan pendidikan yang terbuka, bekerja sama untuk meningkatkan saling pengertian antaragama, antaretnis, dan antarstatus sosial.
Kita juga harus terus-menerus mengingatkan masyarakat tentang nikmatnya perdamaian, nikmatnya persaudaraan, nikmatnya kerukunan, nikmatnya persatuan. Ini yang terus harus kita syukuri. Jangan sampai kita lupa tentang anugerah dari Tuhan mengenai ini. Jangan sampai kita lupa nikmatnya perdamaian dan kerukunan, karena selama ini kita selalu rukun, jadi lupa kita mensyukuri hal-hal tadi.
Dan mohon umat dan masyarakat luas selalu diingatkan tentang nasib saudara-saudara kita di beberapa negara yang sedang konflik, yang dilanda konflik dan perang saudara, yang kehidupan sehari-harinya selalu dihantui oleh konflik dan perang, yang peradabannya mundur sampai puluhan tahun dan bahkan ratusan tahun ke belakang.
Pada bulan Januari yang lalu, saya pergi ke India, Sri Lanka, Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan. Di Bangladesh, saya mengunjungi Cox’s Bazar, lokasi pengungsi Rohingya di Bangladesh. Kondisinya betul-betul sangat- sangat-sangat memprihatinkan. Dan, kita Indonesia adalah kepala negara pertama yang mengunjungi Cox’s Bazar. Ini adalah komitmen kita untuk kemanusiaan dan komitmen kita untuk perdamaian dunia.
Kemudian hari berikutnya, saya pergi ke Afghanistan, ke Kabul. Delapan hari sebelum saya ke Kabul ada bom yang menewaskan dua puluh orang, delapan hari sebelum saya ke Kabul, yang tewas dua puluh orang. Dua hari sebelum saya mendarat di Kabul ada bom lagi yang menewaskan 103 orang. Bahkan dua jam sebelum saya mendarat di Kabul, markas Akademi Militer di Kabul diserang, lima tentara tewas dan belasan-puluhan luka-luka.
Saya pernah bercerita waktu di sini, Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani datang ke Indonesia. Setelah itu datang juga Ibu Negara Afghanistan Ibu Rula Ghani. Setelah itu datang lagi kelompok besar dari High Peace Council yang berasal dari Afghanistan untuk melihat kondisi Indonesia. Setelah saya menyampaikan kepada Presiden Ashraf Ghani mengenai Indonesia, beliau ternyata juga belum tahu mengenai negara kita. Saya saat itu bercerita, “Presiden Ashraf Ghani, Indonesia itu memiliki 714 suku, memiliki 17.000 pulau, memiliki 1.100 lebih bahasa daerah.” Beliau saat itu betul-betul sangat terkejut dan kaget, bahwa begitu sangat majemuknya, sangat beragamnya Indonesia. Berbeda suku, berbeda agama, berbeda bahasa daerah.
Padahal di Afghanistan itu hanya ada tujuh suku. Kemudian ada konflik dua suku, kemudian membesar menjadi perang, karena ada Soviet ikut, ada Amerika ikut. Dan sudah empat puluh tahun tidak selesai-selesai sampai sekarang.
Oleh sebab itu, Presiden Ashraf Ghani berpesan pada saya saat itu, “Presiden Jokowi hati-hati, negaramu ini negara besar dan berbeda suku, berbeda agama, berbeda bahasa lokal, betapa sangat besar negaramu itu. Di Afghanistan itu hanya ada tujuh suku. Jadi hati-hati. Selesaikanlah secepat-cepatnya apabila ada konflik antarkampung. Selesaikanlah secepat-cepatnya apabila ada konflik antarsuku. Secepat-cepatnya jangan tunggu berlama-lama, apalagi kalau sudah menyangkut agama. Tegas, secepatnya selesaikan.” Beliau menyampaikan seperti itu kepada saya. “Karena kalau sudah menjadi sebuah konflik besar, penyelesaiannya sangat sulit sekali.” Itu yang saya ingat-ingat betul.
Sehingga waktu saya kesana, saya kaget betul. Kota yang sangat besar, gedungnya besar-besar, tetapi kehidupan kesehariannya betul-betul dapat dikatakan, saya enggak bisa menyampaikan dengan kata-kata. Di setiap jalan ada tank, di setiap gang ada tank, di setiap tempat ada. Istananya sangat besar sekali, dari zaman, beliau menyampaikan, 340 tahun yang lalu Istana itu dibangun. Besar sekali, indah sekali.
Beliau menyampaikan kepada saya bahwa Afghanistan itu adalah negara yang memiliki deposit gas paling besar di dunia, deposit minyak bukan terbesar tapi besar sekali, memiliki deposit emas paling besar di dunia. Beliau yang menyampaikan, bukan saya. Tetapi tidak bisa dikelola karena peperangan-peperangan tadi.
Begitu saya bertemu dengan Ibu Negara, Ibu Rula Ghani menyampaikan hal yang berbeda. “Presiden Jokowi, empat puluh tahun yang lalu sebelum perang, negara kita ini dibandingkan negara-negara tetangga levelnya sedikit lebih tinggi. Dan perang yang berkecamuk sudah lebih empat puluh tahun ini menyebabkan peradaban di Afghanistan mundur jauh ke belakang.” “Dulu perempuan”, beliau bercerita, “dulu perempuan menyetir mobil ke kota, antarkota sudah sangat biasa di sini. Mungkin negara lain saat itu belum ada orang yang pegang mobil, setir mobil, di sini sudah pegang setir mobil. Tetapi karena konflik perang, sekarang ini sudah lebih dari empat puluh tahun, perempuan enggak bisa bersekolah lagi. Keluar rumah pun dibatasi karena masalah keamanan.” Dan beliau menyampaikan, yang terkena dampak paling dahsyat adalah hanya dua, anak dan perempuan. Beliau yang menyampaikan, bukan saya.
“Dan saat ini, karena kondisinya sudah lebih baik, meskipun masih ada bom begitu banyaknya”, beliau menyampaikan, “sudah lebih baik.” Berarti yang enggak baiknya kayak apa, enggak mengerti saya. “Sekarang, anak perempuan pada lingkungan tertentu diperbolehkan naik sepeda dan itu bahagianya, sangat berbahagia sekali bisa naik sepeda. Dulunya empat puluh tahun yang lalu naik mobil, sekarang naik sepeda saja sudah sangat berbahagia dan merupakan sesuatu yang luar biasa.” Ini yang menyampaikan Ibu Rula Ghani, bukan saya.
Perang dan konflik betul-betul menghancurkan nilai kemanusiaan. Karena yang ada, ini beliau bercerita, karena yang ada itu bagaimana kelompok itu bisa survive. Kalau sudah perang, konflik itu bagaimana kelompok itu bisa survive. Tidak peduli lagi nilai-nilai, enggak perlu. Nilai benar dan nilai salah sudah tidak perlu, yang paling penting survive dan menang. Kalau situasinya sudah perang dan konflik seperti itu betapa sangat mengerikan sekali. Di sinilah nilai-nilai kemanusiaan hancur. Sudah tidak ada nilai yang benar, nilai yang salah. Yang penting survive, menang.
Inilah yang beliau gambarkan pada kita. Betapa yang namanya kerukunan, yang namanya perdamaian, yang namanya persaudaraan, itu adalah nilai-nilai yang betul-betul selalu harus kita junjung tinggi. Dan luka, beliau menyampaikan, luka psikologis yang ditinggalkan karena konflik itu, memerlukan waktu berpuluh-puluh tahun untuk menghilangkannya. Beliau menyampaikan, anak- anak yang dilahirkan di dalam situasi penuh kekerasan, itu akan melahirkan generasi baru yang juga penuh kekerasan yang baru. Beliau yang menyampaikan.
Oleh sebab itu, pada saat kesini, beliau menyampaikan meminta Indonesia untuk bisa memediasi konflik-konflik yang ada di sana. Karena kita dianggap jauh dari kawasan di Timur Tengah yang tidak terlibat konflik dan politik di sana dan kita dianggap mitra. Kenapa saya kesana karena ini, beliau meminta kepada kita.
Oleh sebab itu, setelah datang, High Peace Council yang pertama, saya kesana. Nanti akhir Februari ini Wakil Presiden kita, Pak Jusuf Kalla juga akan kesana lagi, ketemu lagi di sana. Nanti dari sana, pemuka-pemuka agama, ulama di sana akan hadir di sini lagi, dalam jumlah yang besar untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Karena sekali lagi, kita dianggap tidak memiliki kepentingan, yang lain berarti dianggap memiliki kepentingan.
Inilah peran-peran yang ingin saya sampaikan kepada Bapak-Ibu semuanya, agar peran Indonesia di dalam rangka perdamaian dunia itu betul-betul bisa kita lakukan.
Oleh sebab itu, sekarang Prof. Din Syamsuddin, selaku Utusan Khusus untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban ini sangat kita perlukan sekali. Supaya kita ini saling bertemu, saling silaturahmi dan kalau ada masalah-masalah diselesaikan di tingkat atas, tetapi juga bisa diturunkan sampai ke tingkat RT dan RW.
Saya minta Prof. Din, tadi butir-butir kesepakatan ini betul-betul disiapkan. Jangan sampai hanya pada tataran di atas tetapi tataran tengah, tataran bawah itu bisa mendengar semuanya. Sampai ke tingkat RW bawah ada kesepakatan ini. Dan itu akan menjadi sebuah gaung yang baik, mengingatkan kepada kita semuanya betapa nilai-nilai persaudaraan, nilai-nilai kerukunan, nilai-nilai persatuan, dan nilai-nilai kesatuan itu harganya tidak bisa diukur dengan materi. Perdamaian, kerukunan, persaudaraan, stabilitas, persatuan, kesatuan, adalah pondasi yang paling berharga dalam bernegara. Pondasi yang paling dasar untuk menyejahterakan rakyat kita. Pondasi dasar untuk memenangkan persaingan bila kita bersaing, berkompetisi dengan negara-negara lain.
Para peserta musyawarah pemuka agama yang saya hormati,
Visi kita, kita memang harus memperkokoh Pancasila, memperkokoh NKRI, memperkokoh Bhinneka Tunggal Ika kita. Tetapi visi kita juga ikut melaksanakan ketertiban dunia, memberikan kontribusi untuk perdamaian di negara-negara sahabat kita, memberikan kontribusi untuk perdamaian dan kesejahteraan saudara-saudara kita baik yang ada di Afghanistan, di Rakhine State, di Cox’s Bazar, dan di belahan dunia lainnya, menjadi pemimpin di antara negara-negara muslim untuk perdamaian, kesejahteraan, dan kemajuan.
Dan Bapak-Ibu para pemuka agama yang mulia yang saya hormati di seluruh pelosok Indonesia,
Sekali lagi, atas nama rakyat Indonesia, saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas butir-butir kesepakatan yang telah dikontribusikan untuk Indonesia maju, untuk Indonesia yang kita cita-citakan bersama.
Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini.
Saya tutup,
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakatuh,
Om shanti shanti shanti om,
Namo buddhaya,
Salam kebajikan.