BANYUWANGI – Menpar Arief Yahya mengapresiasi pelaksanaan International Tour de Banyuwangi Ijen (ITDBI) 2017. Kreativitas penyelenggara mempersiapkan sport event berbasis cycling itu sangat mengesankan. “Selalu ada sensasi baru, sambil mempromosikan karakteristik destinasinya,” ungkap Arief Yahya.
Sebelumnya, kata Arief Yahya, mereka melepas tukik atau anak penyu ke laut. Sebuah aktivitas yang sangat mengesankan bagi pembalap. “Kali ini kain sarung dan songkok Banyuwangi! Keren!” ucap Menpar yang asli Banyuwangi itu. Sudah tentu, bersongkok dan bersarung itu sendiri sudah menjadi point of view publik yang melepas start.
Suasana mengenakan sarung dan songkok itu memang cukup menarik perhatian. Para pembalap sepeda even International Tour de Banyuwangi Ijen (ITdBI) jelang start etape empat, Sabtu (30/9), ramai-ramai mengenakan sarung dan songkok menjelang start.
Tentu saja itu menjadi daya tarik tersendiri bagi para penonton yang memadati tribun pemberangkatan etape empat. Ini juga karena secara kebetulan etape empat ini mengambil start di Pondok Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi, yang memiliki ribuan santri.
Kostum sarung dan songkok hitam yang mereka kenakan tentu saja menjadi kostum unik dan baru bagi para peserta. Itu mereka rasakan. ‘’Its surprising for me to use this custom,’’ kata Matthew Zennovich, salah seorang pebalap asal Selandia Baru, berkomentar, sambil tersenyum bangga.
Pemakaian kostum sarung yang erat dengan tradisi kaum santrai ini bukan tanpa alasan, karena moment tersebut sebagai pengenalan tradisi pesantren kepada para pembalap dari berbagai negara.
Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas mengatakan, ajang ITdBI sangat efektif menjadi sarana pengenalan dan promosi terhadap tradisi pesantren yang merupakan ikon pendidikan asli nusantara. Ini juga sekaligus mengampanyekan nilai-nilai toleransi.
“Kami kenalkan kalau tradisi pendidikan Islam di Indonesia cukup khas dan punya sejarah panjang dalam menyemaikan nilai-nilai Islam yang penuh damai. Anak-anak muda Banyuwangi yang jadi pendamping tim-tim luar negeri telah kami minta untuk menjelaskan kepada mereka tentang apa itu pesantren dan perannya di Indonesia,” ujar Anas menjelang start etape ke empat.
Sebelum balapan dimulai, para pembalap serta panitia lomba dari Federasi Sepeda Internasional (UCI) turut serta mengenakan sarung dan kopiah.
Tentu saja melihat aksi kostum sarung dan kopiah menempel pada para pebalap sepeda, ribuan santri menyambut penuh hiruk pikuk dan tepuk tangan riuh kepada para pembalap yang datang dari 29 negara ini. Bahkan para santri tak canggung berbaur dan bercengkrama dengan para pebalap. Apalagi, mereka (para pembalap) berjalan hilir-mudik di sekitar area sambil mengenakan sarung.
Bupati Anas menambahkan, dipilihnya Pondok Pesantren Darussalam sebagai salah satu tempat start etape empat, karena lokasinya berada di daerah yang heterogen. Di sekitar pesantren juga terdapat masyarakat yang memeluk agama Hindu dan agama lainnya.
“Meski demikian, tak pernah ada konflik karena perbedaan agama. Mereka saling menghormati, gotong-royong membangun daerahnya,” terang Bupati Anas.
Dalam ITdBI ini para pebalap berkompetisi empat etape sejak 27 September lalu dan berakhir hari Sabtu (30/9). Para peserta menempuh total perjalanan 533 km.
Selain memperkenalkan budaya lokal dan kearifan Banyuwangi, para pembalap disuguhi sejumlah destinasi seperti Pantai Watudodol, Bangsring Underwater, Dusun Kakao di Kecamatan Glenmore, serta kaki Gunung Ijen yang kawahnya dikenal memancarkan fenomena api biru.
Kompetisi balap sepeda ini dirancang dari awal berkonsep sport tourism. Di mana event balap sepeda dibalut dengan pariwisata. Karena itu sejak awal setiap etape selalu diperkenalkan dengan berbagai atraksi dan budaya Banyuwangi kepada para peserta yang berasal dari 29 negara ini.
“Karena Tour de Banyuwangi Ijen menjadi balap sepeda terbaik di Indonesia, tentunya ini menjadi perhatian banyak pihak. Dan ini kami manfaatkan sebagai sarana promosi internasional bagi Indonesia, khususnya Banyuwangi,” pungkas Anas.(*)
LOGIN untuk mengomentari.