Sungguh terperangah saya mendengar kibasan kalimat yang mengalir begitu saja dari kawan. Kalimatnya ringan tentang sifat latah yang akhir-akhir mengharu biru di media sosial (medsos). Latah bersyair, berpuisi dan berpantun. Kadang, jikalau kelatahan itu menarik, maka akan viral di medsos, dia pun akan menjadi sumir. Sadar atau tidak, kondisi ini akan menjadi bahaya bagi dunia sastra dan jurnalisme.
Memang, akhir-akhir ini, ketika informasi bisa didapat dengan sekali klik, Sastra dan Jurnalisme seolah sedang diuji. Dan ujian itu saya kira akan bermuara pada satu pertanyaan besar; mampukah Sastra dan Jurnalisme tidak membunuh dirinya sendiri?
Pertanyaan besar ini saya lontarkan karena dengan tumbuhnya media sosial dan media daring, informasi bertebaran tanpa ada penyaring. Bagi sastra, dengan banyaknya tulisan yang bertebaran, kita semakin sulit membedakan mana karya sastra yang benar-benar nyastra, atau karya sastra yang hanya mengandung gumam.
Bagi Jurnalisme, kita juga semakin sukar membedakan mana yang fitnah dan mana pula yang laporan jurnalistik. Terkadang, karena mengejar kecepatan, disiplin verifikasi menjadi hal terpenting sekian yang dikesampingkan. Tak hanya itu, mutu Jurnalistik juga kian dipertanyakan ketika hanya ucapan orang yang terkadang itu hanya sebuah pecitraan, sudah dijadikan sumber utama berita.
Di sinilah tantangan itu muncul. Kepada sastra, tantangan itu tidak hanya berwujud pada karya yang menarik, tapi bagaimana mengisi ‘ruang kosong’ yang tidak bisa dijangkau oleh Jurnalisme. Dan begitu sebaliknya, Jurnalisme harus mengisi apa yang tak bisa dilakukan oleh sastra.
Lalu apa yang bisa diisi oleh jurnalisme kepada ‘lubang’ yang ditinggalkan sastra. Saya kira jawabannya sangatlah sederhana, jurnalisme harus bisa membuat perubahan yang itu tidak bisa dilakukan oleh karya sastra. Dengan apa? Tentu saja dengan mutu jurnalistik yang tidak hanya berisi gumam, sebagaimana kebanyakan karya sastra mutakhir kita ini.
Jika saling mengisi itu berjalan dengan baik, saya kira Sastra dan Jurnalisme terhindar dari proses membunuh diri mereka sendiri. Meski, di tengah dunia siber yang hiruk-pikuk, Sastra dan Jurnalisme seolah sedang melintasi jalan yang berkelok. Semoga. (*)
LOGIN untuk mengomentari.