Pahinggar Indrawan sudah tiada. Kita mendadak tahu namanya justru ketika ia sedang dalam proses menuju tiada; lewat siaran langsung di Facebook ketika ia bunuh diri. Video sepanjang lebih dari 1 jam itu diniatkan oleh Pahinggar sebagai kenang-kenangan untuk sang istri yang pergi meninggalkannya. Sampai hari Jumat lalu, video ini sudah ditonton sebanyak lebih dari 50 ribu kali – sebelum akhirnya dihapus oleh Facebook. Menurut polisi, Pahinggar punya masalah dengan istrinya; sempat ribut dengan sang istri sebelum akhirnya bunuh diri.
Kondisi depresi yang dialami Pahinggar sebetulnya bukan hal asing di tengah kita. Awal Maret lalu, media memuat cerita soal seorang laki-laki yang mengancam warga dengan golok di Palembang. Pertengahan bulan ini, satu rumah di Jakarta Timur dibakar oleh adik pemilik rumah. Dari kedua kasus itu, pelaku diduga sakit jiwa. Dan ini bukan sekadar satu dua kasus saja. Pada Februari 2017, di Jawa Barat saja, tercatat ada lebih seribu orang yang datang ke klinik gangguan jiwa di RSUD provinsi tersebut.
Badan Kesehatan Dunia WHO mencatat kondisi gangguan kejiwaan ini seperti fenomena gunung es. Secara global, tercatat 800 ribu orang meninggal akibat bunuh diri per tahun. Setiap 40 detik, ada 1 nyawa yang hilang akibat bunuh diri. Sementara di sini, masih banyak yang menyepelekan kasus gangguan jiwa, menyebutnya sebagai ‘gila’ atau bahkan memasung orang dengan gangguan jiwa.
Kita semua rentan depresi. Tekanan hidup sehari-hari, termasuk yang ada di media sosial, bisa jadi pemicu depresi. Kenali gejalanya sedini mungkin, sayangi jiwa Anda.