in

SD Negeri 16 VII Koto Sungaisarik: Pembelajaran BAM, Perlukah Buat Gen Z?

Gusra Farnita, S,Pd
(Guru SDN 16 VII Koto,
Sungaisarik)

Kurikulum yang selalu berubah setiap saat mempunyai dampak yang sangat besar bagi pendidikan karakter di lingkungan pendidikan formal baik itu tingkat dasar, menengah dan atas.

Hal ini bisa dirasakan dampaknya langsung oleh guru sebagai pendidik, orangtua sebagai madrasah pertama bagi anak dan lingkungan masyarakat sebagai makhluk sosial yang terus melakukan interaksi. Dulu sewaktu sewaktu KTSP dilakukan masih ada namanya mata pelajaran Budaya Alam Minangkabau di semua tingkat pendidikan baik dasar, menengah dan tingkat atas.

Pendidikan karakter jelas sangat tergambar dan terpapar dalam kegiatan ini, peserta didik mendapatkan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan nilai-nilai kebudayaan yang ada dan hidup di tengah masyarakat. Nilai-nilai itu bisa diajarkan langsung oleh guru di sekolah-sekolah karena adanya dukungan dari pemerintah dan tertuang dalam aturan yang telah ditetapkan.

Seiring pertumbuhan zaman dan kebutuhan peserta didik terjadi pergantian kurikulum dari KTSP 2006 menjadi kurikulum 2013. Pada Kurikulum 2013 ini memiliki 3 aspek penilaian, yaitu aspek pengetahuan, aspek keterampilan, dan aspek sikap perilaku.

Di dalam Kurikulum 2013, terutama di dalam materi pembelajaran terdapat materi yang dirampingkan dan materi yang ditambahkan. Tetapi ada satu hal yang cukup memprihatinkan, yaitu hilangnya materi pembelajaran Budaya Alam Minangkabau.

Pembelajaran Budaya Alam Minangkabau yang notabenenya menjadi dasar nilai-nilai karakter seharusnya tetap ada dan eksis di tengah kuatnya arus globalisasi yang masuk dewasa ini.

pembelajaran ini yang akan menjadikan peserta didik mengerti dengan nilai-nilai dan norma-norma yang dikandung adat sehingga melahirkan generasi yang paham dengan adat Minangkabau. Apakah pembelajaran minang adalah sesuatu yang kuno? Pertanyaan ini pernah dilontarkan seorang tokoh masyarakat kepada kami sebagai tenaga pendidik.

Tidak bisa dipungkiri dengan hilangnya pembelajaran Budaya Alam Minangkabau di tengah pergeseran kurikulum yang terus berubah menyebabkan nilai karakter mereka semua menurun. Banyak instansi pendidikan yang sudah menukar pembelajaran muatan lokal BAM menjadi pembelajaran lain yang tak kalah pentingnya yaitu tentang IT dan sejenisnya.

Tidak ada yang salah dan tidak ada yang keliru karena semuanya itu sesuai dengan kebutuhan zaman, tetapi bukan berarti menghilangkan pembelajaran BAM yang seharusnya harus eksis menjawab tantangan pada generasi Z dewasa ini.

Masyarakat Minangkabau yang terkenal dengan filosofi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” seakan goyah pondasinya karena hilangnya pembelajaran BAM dalam pendidikan formal.

Genarasi Z tidak lagi mengenal adat (aturan) yang berlaku di tengah lingkungannya sendiri, norma-norma kesopanan terkikis habis, surau-surau tidak lagi berpenghuni, permainan rakyat tidak lagi diminati.

Sopan santun, baso jo basi dan ereang serta gendeang hanyalah sekedar menjadi pameo di tengah mereka yang tidak paham akan maknanya. Ini seakan menjadi PR besar bagi kami sebagai tenaga pendidik untuk mengembalikan kembali pembelajaran Budaya Alam Minangkabau di tengah gempuran arus digital yang semakin marak.

Akankah pembelajaran BAM ini akan hilang begitu saja dengan perubahan-perubahan kurikulum yang terus berbenah untuk memajukan generasi yang milenial? Atau, kita akan berbalik melawan arus tanpa harus terbawa arus yang telah ada?

Namun walaupun begitu bukan berarti semua daerah tidak mengajarkan Budaya Alam Minangkabau, tetapi persentase yang diharapkan jauh dari harapan. Sudah saatnya kita kembalikan marwah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” di tengah generasi Z dewasa ini, jangan sampai “Jalan dialiah urang lalu, cupak dipapek urang panggaleh”.(Gusra Farnita, S,Pd, Guru SDN 16 VII Koto, Sungaisarik)

What do you think?

Written by Julliana Elora

Jembatan Gantung Rusak Parah di Lareh Sago Halaban

Update Gunung Marapi: UNP Berduka, Tiga Mahasiswanya Belum Ditemukan