Banyak hal yang perlu dipertanyakan dalam peristiwa yang terjadi. Banyak yang tak bisa dijelaskan, kenapa hal itu terjadi. Misalnya: kenapa kendaraan, khususnya motor, berani melawan arus.
Jawaban terlalu jauh berputar, keadaan macet bisa diucapkan, namun tetap tak menjawab kenyataan bahwa membahayakan diri adalah perbuatan kurang sehat—dan membahayakan nyawa. Nyawa bisa hilang percuma, dan disalahkan, dan … hal itu bisa dihindari sebelumnya.
Hal lain kita dengar, atau baca, semisal: orang yang tega menipu kaumnya untuk menjalankan ibadah, atau orang mengelabui orang lain dengan cara bisa menggandakan uang, atau memasang iklan bisa meninggikan badan. Banyak contoh lain yang menegaskan bahwa akal pikiran, cara berpikir yang sehat, tidak mampu menjelaskan kenapa.
Masih ngilu rasanya membaca kejadian tijuh gedung sekolah dasar (SD), di Palangka Raya, dibakar. Lebih memedihkan lagi yang ditersangkakan adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Tengah, bernama Yansen Binti.
Yang juga kepala perwakilan Koni setempat, dan sekaligus juga kader Partai Gerindra. Kita sebutkan jabatan dan atributnya semata untuk mengontraskan dengan kejadian yang diakibatkan, yaitu dibakarnya tujuh gedung sekolah—dari 10 gedung yang direncanakan. Direncanakan karena ada pertemuan sebelumnya, 30 Juni 2017.
Tanggal 4 Juli dimulai pembakaran dan terus berlanjut. Ada persiapan menyediakan kain, handuk. Dan strategi bagian mana dari gedung sekolah yang dibakar lebih dulu.
Yansen memilih satu anak buah, dan tujuh orang eksekutor untuk membakar. Ada ritual adat setempat agar pelaku tidak ragu saat membakar, dan tetap berani, sekaligus tidak membuka mulut kalau tertangkap.
Semua lengkap: ada rencana, ada alat untuk membakar, ada bayaran yang ditawarkan, ada “japa mantra” akan lolos dari tangkapan, ada fasilitas, dan ada “kekuasaan”—atau kekuatan yang bisa menjadi andalan.
Kalau kemudian perbuatan jahat ini terbongkar—dan sebenarnya kebakaran sekolah berturut-turut pastilah “menarik perhatian masyarakat”, dan Yansen dibawa ke Jakarta untuk diperiksa lebih jauh, tetap menganga pertanyaan.
Kenapa Yansen yang terhormat, yang berpendidikan, dan karenanya mengetahui pentingnya pendidikan, mendalangi peristiwa ini. Kalau kemudian ada jawaban:
bahwa yang bersangkutan sengaja melakukan ini untuk menarik perhatian gubernur agar dirinya mendapat proyek, tetap saja tak masuk akal. Tidak masuk akal dalam pengertian:
kenapa tega mengorbankan anak didik yang jumlahnya ratusan, yang adalah masa depan, yang adalah generasi berikut, dan lain sebagainya. Apakah tak ada cara lain—terlepas apakah cara menarik perhatian itu benar adanya.
Pola pikir sesat ala Yansen yang membakar sekolah untuk menarik perhatian gubernur agar diberi proyek, menjadi ngawur dan berbahaya. Sebagaimana biro perjalanan yang memperdaya umat yang akan umrah.
Atau seorang pengemudi yang melawan arus. Yang tak perlu dibela atas nama kelompok, atau komunitas, atau partai. Karena pembelaan atau pembenaran tindakan membakar gedung sekolah seperti membakar sampah, hanya akan makin membenamkan kekacauan, dan membuat baur mana yang benar-benar salah, don’t, dengan yang sebaiknya, do.
Ini yang perlu diluruskan, dan dikomunikasikan dengan masyarakat. Bahwa yang salah tetap disalahkan, dan bukan ditutupi karena kepentingan komunitas, adat, partai, atau yang lainnya.
Dan cara memberantasnya pun harus tegas, keras, dan membuat jera. Bahwa membakar gedung sekolah, dengan perencanaan seperti itu adalah durhaka! Tak ada yang meringankan perbuatan membakar gedung sekolah yang masih dipakai anak didik.
Ketegasan yang sama untuk pelawan arus, untuk hal-hal alasannya sesat dan dicari-cari. Yang membahayakan akal sehat itu sendiri. Tangkap, adili dengan benar. Sampai pikiran untuk melawan arus benar-benar hilang kalau menemukan jalan macet.