Pemerintah Junta Militer Myanmar dikabarkan kembali melakukan kebiadaban pembantaian etnis muslim Rohingya secara masif dan terstruktur. Rohingya adalah sebuah kelompok etnis yang (menurut pengakuan Myanmar) didatangkan dari Bangladesh, dipekerjakan di Myanmar oleh Kolonial Inggris pada masa pra-kemerdekaan, dan tidak pernah diakui kewarganegaraannya oleh pemerintah Myanmar hingga sekarang.
Selaku muslim dan WNI yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan, kita adalah orang yang harus ikut mengutuk kebiadaban yang dilakukan secara masif oleh pemerintah, militer, dan oknum-oknum berkedok agama seperti yang sedang terjadi di Myanmar.
Namun penyelesaian konflik akan selalu menjadi pelik dan sulit diurai ketika persoalan ini mulai disiarkan oleh media-media tidak bertanggung-jawab dan pengamat ‘pura-pura’ di medsos, kemudian dibaca oleh masyarakat awam yang biasanya akan dengan mudah ‘terbakar’ dan memicu pelampiasan makian dan tindakan yang salah alamat.
Lumrahnya, kabar berita (termasuk vidio) yang bertujuan memprovokasi akan menyajikan lebih banyak sajian pembuka daripada sajian informasi utama, hal ini bertujuan untuk membentuk kesan/opini kita agar tergiring keluar dari persoalan sesungguhnya, untuk kemudian dijadikan komoditas demi kepentingan politikus nakal.
Secara garis besar kondisi suku minoritas Rohingnya telah diperlakukan diskriminatif oleh pemerintah Myanmar, dan ini sudah berlangsung cukup lama. Mereka kemudian melakukan pemberontakan dengan menyerang simbol pemerintahan, seperti pos polisi dan militer, kemudian dibalas junta militer dan biksu gadungan yang direkrut/diperalat oleh militer (milisi) dengan tindakan agresif berupa pembakaran desa dan pembunuhan orang-orang Rohingya.
Jadi, yang terjadi bukan Muslim Rohingya vs umat Buddha, yang sesungguhnya terjadi adalah Rohingnya vs Pemerintah Junta Militer Myanmar. Ingat, pejuang Rohingya menggempur pos polisi dan militer Myanmar, bukan rumah ibadah dan umat Budha.
Persoalan utama di Myanmar adalah politik dan ketidak-adilan. Namun karena Myanmar sangat tertutup terhadap internasional, ditambah lagi strategi militer yang kemudian merekrut para biksu gadungan menjadi milisi yang membantu pemerintah membantai Rohingya dan suku-suku yang melakukan perlawanan, sehingga persoalan konflik ini bertambah rumit dan sulit mendapatkan titik temu.
Sampai di sini dulu, penting untuk kita pahami bahwa kita tidak boleh terjebak dalam kesimpulan dangkal dan provokasi murahan. Jangan latah berkoar-koar di medsos seolah-olah besok lusa akan segera berangkat berjihad ke Myanmar, padahal kita juga belum tahu persis sasarannya dimana/siapa, malah yang lebih konyolnya ada yang berhasrat ingin membunuh umat Budha di Indonesia, jika itu anda lakukan, apa bedanya Anda dengan mereka? Anda juga teroris seperti oknum biksu di sana. Saya tanya, Anda sehat? Jangan gara-gara anda malas minum obat cacing, Indonesia terancam perang agama.
***
Junta militer dan agama Buddha adalah dua hal yang berbeda. Junta militer adalah pemerintahan yang dipimpin dan dijalankan oleh para Jenderal militer secara paksa. Sementara agama Buddha adalah agama mayoritas di Myanmar.
Junta Militer Myanmar memerintah dengan pendekatan militeristik dan banyak melakukan kejahatan atas rakyatnya. Pada umumnya, junta militer ditolak rakyat Myanmar dari berbagai kalangan, namun perlawanan selalu dibalas dengan tindakan militer yang sangat represif, lebih kurang seperti DOM di Aceh pra-perdamaian.
Aung San Suu Kyi yang memenangkan pemilu pada 1990, bukannya diberi hak atas kemenangan mutlak partainya, ia justru dijatuhi hukuman tahanan rumah selama 15 tahun oleh junta militer. Pengikutnya banyak yang ditindak. Terlepas dari alasan bungkamnya Aung San atas kasus Rohingya sekarang, saya menyebut ini dengan salah satu anomali demokrasi.
Kemudian, junta militer Myanmar adalah salah satu pemerintahan terkejam di dunia. Para pihak yg melakukan perlawanan terhadap junta militer bukan muslim Rohingya saja, suku-suku lainnya juga melakukan perlawanan, diantaranya:
Suku Karen yang terdiri dari penganut Budha dan Kristen. Pemberontakan suku Karen dimulai pada 1989, lalu berulang pada 2006, berbagai media melaporkan bahwa hampir setengah juta suku Karen terpaksa mengungsi ke negara Thailand untuk menghindari brutalisme, penindasan Junta Militer Myanmar.
Berikutnya, suku Chin, bermukim di bagian barat daya. Suku ini umumnya beragama Kristen, namun mereka diburu bukan karena faktor agama, tetapi karena suku tersebut menuntut kemerdekaan. Akibatnya, telah lebih dari 100 ribu orang dari suku chin mengungsi ke negara India dan China untuk menghindari konflik dengan pemerintah junta Militer.
Dan yang tidak kalah penting adalah perlawanan umat Buddha yang non milisi/rekrutan militer. Kita tahu bahwa Myanmar adalah mayoritas beragama Buddha, junta militer pernah mendapatkan penolakan dari para biksu buddha. Pada tahun 2007 misalnya, para biksu Buddha melakukan perlawanan ke pemerintah Myanmar dengan unjuk rasa besar-besaran.
Dari gambaran di atas dapat kita simpulkan sementara, bahwa konflik yang terjadi di Myanmar adalah konflik politik dengan berbagai latar belakang yang rumit, bukan perang agama, melihat Myanmar bukan semudah memilah hitam dan putih.
Junta militer Myanmar memang biadab, dan kita wajib mendukung Rohingya, karna kita juga pernah merasakan penindasan militer yang sama. Tapi, jangan latah, atau suruh saya tebas leher umat Budha di Banda ya, kasihan mereka, mereka tidak ikut melukai perasaan kita sebagai muslim dan sebagai manusia. Salam Damai.