Menekuni profesi sebagai penjaja benih ikan keliling, Syaftineldi, pria paruh baya berusia 52 tahun, asal Jorong Kapalo Koto, Nagari Andaleh, Kecamatan Luak, Limapuluh Kota, berjuang untuk mengantarkan para buah hati untuk mendapatkan pendidikan yang kayak. Bahkan tak gentar untuk kuliahkan anak hingga ke perguruan tinggi. Seperti apa ceritanya?
KERANJANG bambu bundar yang menggantung di kedua sisi sepeda motor, Suzuki Shogun, terisi ratusan benin ikan. Mengenakan sendal jepit warna Putih yang mulai memudar dan jaket lusuh di bagian lengannya yang sudah terkelupas, menjadi pelindung seadanya saat ayah tiga orang anak ini, menjajakan benih ikan ke sejumlah nagari di Kabupaten Limapuluh Kota.
Ia berhenti di salah satu warung kopi, di Jorong Sikabu-kabu, Nagari Sikabu-kabu Tanjuang Haro Padang Panjang, Kecamatan Luak, karena berteduh akibat hujan gerimis yang mengguyur sekaligus istirahat sejenak melepas lelah, Senin (12/12) sore. Selepas Ashar menjelang Magrib dagangan pejuang keluarga ini masih tersisa satu dari tiga kantong benih ikan jenis “Paweh” yang dijajakannya.
“Alhamdulillah, dua kantong sudah terjual, satu dibayar kes, satu kantong lagi dijanjikan pemilik kolam pembayarannya dalam beberapa hari lagi,” kata pria yang biasa disapa Nel ini, saat berbagi sedikit cerita dengan Padang Ekspres, kemarin.
Berupaya terus menawarkan dagangan yang masih tersisa, Syaftineldi berharap masih ada pemilik kolam ikan yang akan membeli benih ikannya yang tersisa, sebelum kembali ke rumah.
Sehingga semua dagangan bisa terjual habis dengan harapan keuntungan bisa menutup biaya kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sudah terlanjur dihabiskan untuk berkeliling, sekaligus biaya makan siang saat berkeliling dari pagi hari dan sisanya untuk kebutuhan keluarga.
“Biasanya jika semua dagangan terjual habis, setidaknya bisa menghasilkan keuntungan sekitar Rp 100 ribuan. Hanya saja jika tidak terjual sama sekali, setidaknya biaya sekitar Rp 40 ribu rupiah untuk kebutuhan berkeliling sudah pasti menjadi kerugian,” ucap Syaftineldi ketika mengisahkan perjuangannya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Meski tidak mengungkapkan keluhan, namun gurat wajahnya mengisyaratkan perjuangan yang cukup berat tengah dihadapinya untuk menafkahi keluarga. Bahkan tidak sekedar nafkah kebutuhan harian keluarga, Syaftineldi ternyata tengah berjuang untuk biaya pendidikan sang anak. Betapa tidak, Tiga orang anaknya, sedang dalam masa pendidikan.
Anak pertama dan anak keduanya, sedang menjalani pendidikan di perguruan tinggi.
Anak pertama, Hamid Anfhal, kuliah di jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Universitas Riau (UNRI) dan anak Kedua, Alam Aprilia sedang menjalani pendidikan di jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Negeri Padang (UNP) dan anak ketiga, Muhammad Afriko sedang sekolah di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMK) PP Padang Mengatas dan seorang lagi masih balita.
Membutuhkan biaya yang besar, Syaftineldi memang mengakui biaya yang dibutuhkan sangat tinggi, sebab semua biaya murni harus di upayakan melalui hasil kerja sendiri. Bahkan saat ditanya soal bantuan pemerintah, pria yang biasa disapa Nel ini, menjawab tidak masuk dalam salah satu daftar penerima bantuan pemerintah untuk masyarakat kurang mampu.
“Tidak, anak saya tidak mendapatkan beasiswa. Semua biaya, mulai dari kebutuhan hidup harian, tempat kos dan biaya pendidikan saat ini masih menjadi tanggungan penuh saya sebagai ayah,” kisah Nel sembari membayangkan kebutuhan keluarganya yang harus terus dipenuhinya agar anak-anak bisa melanjutkan pendidikan dan sukses dengan hidup yang lebih baik di masa depan.
Menjadi sebuah gambaran yang ironis dan butuh kejelian pemerintah untuk memberikan bantuan yang tepat sasaran bagi yang membutuhkan. Sehingga tidak ada lagi warga negara yang harus berjuang ekstra keras untuk memenuhi kebutuhan dasar dan pendidikan anak-anaknya.
Sekarang, kata Nel, sudah sedikit lebih mudah dalam mendapatkan benih ikan. Sebab Pemerintah Nagari Andaleh melalui Badan Usaha Milik Nagari (BUMNag) sudah menyediakan benih ikan untuk dijual.
Sehingga pedagang keliling di nagari yang sejak lama dikenal sebagai penyedia benih ikan, bisa langsung mengambilnya tanpa harus keliling ke kolam masing-masing pembibitan milik warga.
“BUMNag sudah menyediakan bibit ikan siap untuk dijual. Sehingga tidak perlu mendatangi kolam masing-masing warga untuk membeli benih ikan untuk dijual. Sebelumnya cukup menyita waktu, sebab harus langsung ke kolam pembenihan warga yang tersebar. Menunggu pengeringan kolam dan menangkap benih membutuhkan waktu cukup lama. Sekarang sudah jauh lebih mudah,” terang Nel.
Kendati begitu, tetap sulit dibayangkan, bagaimana pria paruh baya yang hanya mengandalkan keuntungan harian dari menjajakan benih ikan, sanggup menyekolahkan dua anaknya hingga ke perguruan tinggi mengandalkan keuntungan harian dagangannya yang kadang laku dan kadang tidak sama sekali.
Namun tidak yang kuat dan kerja keras yang ditekuni, ternyata Syaftineldi membuktikan. “Rezki sudah ada yang mengatur, jika dibayangkan dan hitung dari sisi logika saja, rasanya memang tidak mungkin. Saya hanya jalani saja, tidak berfikir macam-macam.” ucap Nel yakin sembari bergegas kembali melanjutkan perjalanannya menjajakan ikan yang masih tersisa dalam keranjangnya. (*)