Lembaga Sosial, Ekonomi, dan Energi Indonesia (Senergi) menggelar diskusi virtual bertajuk “Kesiapan Indonesia Menghadapi Transisi Energi”. Diskusi menghadirkan pembicara andal Ferdy Hasiman, Peneliti Alpha Research Database, Salamuddin Daeng Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia AEPI, serta Direktur Nasional Institute Riyanda Barmawi.
Direktur Senergi Indonesia Isra Anwar menyampaikan bahwa kegiatan ini bertujuan mengukur kesiapan Indonesia menghadapi transisi energi dari fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT) pasca Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris melalui UU No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The UNFCCC, yang diikuti komitmen pemerintah mengurangi emisi Gas Rumah Kaca Indonesia pada 2030 sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% lewat kerjasama Internasional”
Ferdy Hasiman menuturkan bahwa transisi energi merupakan kebijakan yang suka atau tidak harus segera didorong pemerintah karena beberapa faktor.
Pertama, selama ini Indonesia masih bergantung pada energi fosil, sementara cadangan dan produksi minyak nasional terus mengalami penurunan setiap tahunnya, di samping harga minyak dunia yang semakin melambung.
Kedua, komposisi terbesar kelistrikan PLN Indonesia masi di batubara, padahal negara-negara di dunia termasuk Eropa, AS maupun Tiongkok sudah mulai mengubah paradigma dari energi yang kotor menuju energi hijau, melalui penurunan karbon dan memperkecil ketergantungan pada batubara.
Meski Indonesia telah melakukan transisi energi berbasis EBT sejak periode awal Jokowi di 2014, namun terhambat sejumlah persoalan. Seperti belum banyaknya investor di Indonesia berpenetrasi ke energi EBT, kurangnya dana pinjaman dari bank, dan rendahnya kesadaran masyarakat lokal.
“Sehingga di beberapa lokasi investasi pembangkit listrik tenaga panas bumi banyak mendapat penolakan dari masyarakat dan aktivis,” ungkapnya.
Disinilah pentingnya peran pemerintah terutama Kementerian ESDM untuk melakukan sosialisasi transisi energi berbasis EBT.
Hal lain yang mesti dilakukan ialah memperjelas roadmap, regulasi yang memberi kepastian investasi EBT, serta kerjasama di berbagai tingkatan dari pusat hingga daerah. Jika tidak, proses transisi energi akan menjadi sebuah tantangan berat ke depan.
Sementara itu, Salamuddin Daeng menegaskan bahwa transisi energi harus mengacu pada UU Ketenagalistrikan, tetap mempertahankan mekanisme subsidi dan kompensasi dalam rangka menyelamatkan ekonomi masyarakat, dan harus memperhatikan dinamika geopolitik internasional.
Karena salah satu poin Kesepakatan Paris yaitu menekan sektor keuangan agar tidak membiayai perusahaan yang mengeksplorasi energi fosil. Lembaga perbankan dunia pun kini dilarang membiayai produksi energi berbasis fosil.
Nantinya, perusahan-perusahan eksplorasi fosil akan dikenakan denda besar sebagai pembayaraan pajak karbon. Demikian halnya negara-negara yang tidak mempunyai komitmen transisi energi terancam tidak dapat mengakses kredit atau pembiayaan dari institusi-institusi internasional.
“Pemerintah harus serius dalam melakukan transisi energi, apalagi Indonesia akan mendapat perhatian khusus dari negara-negara maju pada G20 mendatang yang agenda utamanya adalah pemulihan ekonomi pasca Covid-19, digitalisasi, dan transisi energi,” tutupnya.
Riyanda Barmawi menyampaikan bahwa krisis energi fosil sudah berada di depan mata, karena itu harus ada langkah-langkah strategis dalam menanggulangi krisis tersebut.
Saat ini langkah-langkah yang perlu diambil pemerintah adalah harmonisasi di semua sektor regulasi terkait dengan transisi energi, sektor SDA, keuangan, tata kelola dan birokrasi. Sebab, transisi ini tidak akan berjalan maksimal ketika tidak ada political will pemerintah.(rel)