Ini contoh lain lagi halhal yang susah dicerna dengan logika biasa, akal sehat yang biasanya. Seorang mahasiswa,21 tahun, beralamat di Palembang, kuliah di Bandung. Diberitakan dengan inisial DI atau disebutkan bernama panggilan Dodik.
Senin kemaren {11/9/17} ditangkap pihak keamanan karena diduga penyebar ujaran kebencian. DI ditangkap karena sebenarnya tak terlalu sulit melacak si pengirim. Ini bukan zaman pengirim surat kaleng lagi.
Yang tidak biasa adalah sikap dan tindakan mahasiswa ini—saya sebutkan status mahasiswanya karena seharusnya mahasiswa bisa kritis terutama dalam menyatakan pendapat, cara menyatakan pendapat dan tahu risikonya.
Mungkin sudah seperti itu, namun yang terbaca dari apa yang dilakukan sungguh menjijikkan. Yang ditampilkan dalam akun instagram dan twitter di luar nalar yang wajar. Ibu Negara ditampilkan dengan tulisan yang menghinakan.
Bahkan dengan sebutan yang tak bisa disebutkan di sini—atau dalam pemberitaan lainnya. Juga Presiden Jokowi. Kemudian sekali dari hasil pemeriksaan, DI mengatakan tidak suka dari pemerintahan Jokowi. Tak ada yang aneh, karena siapa pun boleh menyukai atau tidak.
Namun mengeskpresikan ketidak-sukaannya dengan gambar dan tampilan kasar jelas merugikan diri sendiri. Taruhah keberanian itu karena memakai nama akun lain—bukan identitas sebenarnya, harusnya tetap menjaga diri. Yang kedua kenapa sasarannya Ibu Negara— dan bukan Bapak Jusuf Kalla,selain Pak Jokowi misalnya, yang lebih mewakili pemerintah.
Yang ketiga tak jelas apa yang diprotes, sehingga menampilkan kebencian, kekasaran, kebrutalan semata. Masalah ini tidak akan selesai hanya dengan meminta maaf, atau malah sudah diberikan sebelum beritanya menjadi viral.
Karena untuk kasus semacam ini akan diurus hal-hal yang terkait. Apakah mahasiswa ini terkait dengan Saracen— produser kebencian yang bisa dipesan, misalnya saja.
Ataukah apa hubungannya dengan bendera ormas, atau gantungan kunci, yang saat ini dilarang kegiatannya. Masalah ini tidak hanya soal ancaman hukuman 6 tahun, melainkan sekaligus juga “apa konspirasi di balik ini semua.” Baik dalam kaitan secara langsung yang bersifat individual atau saling terkait dan terencanakan.
Secara langsung dan bersifat personal, karena sebelumnya juga terjadi pada seorang pembuat tusuk sate. Ini juga bisa penyelidikan tersendiri: apakah kebencian itu dirasakan banyak orang dan harus diekspresikan dengan cara sadis? Sementara kalau direncana, melalui skenario besar, juga bisa dipahami karena kasusnya banyak terjadi.
Yang terakhir seorang ibu-ibu yang diduga mengirim dana ke Saracen mengalami nasib yang sama. Dalam arti keberadaan di antara tokoh-tokoh politik menjadi bahan pertanyaan. Seberapa jauh hubungannya. Bahkan kaitan dengan saudara atau saudarinya bisa menjadi masalah yang membebani karier.
Juga yang selama ini sebelum bersahabat, dan hadir bersama dalam perbagai kegiatan. Bisa muncul “peniadaan”, mengaku tidak kenal, mengaku bukan kelompoknya.
Kasus Dodik menurut saya lebih menakutkan kalau saja ketidak-sadaran akan segala konsekuensi yang tak bisa ditanggung sendirian lebih dominan. Artiya juga hal itu tak perlu terjadi dan atau terjadi dalam ekspresi yang berbeda.
Sebaliknya kalau ini dilakukan secara sadar sebagai bentuk lawanan, tetap memrihatinkan. Karena sebagai mahasiswa, yang juga bersama mahasiswa lain, bisa mempuyai peluang yang lain. Tapi apa daya. Nasi telah menjadi bubur.
Bubur tak bisa kembali menjadi nasi. Dan bubur kebencian ini tidak enak bagi yang dicaci atau pencacinya sendiri ketika ketahuan, ketika tercyduk—istilah baru yang tertangkap dalam dunia cyber.
Dan bubur ini harus dijelaskan dengan pemeriksaan atau pengadilan, agar tidak menularkan cara-cara yang merugikan. Kecuali, ya kecuali, memang itu tujuannya.