Tim nasional Indonesia berlaga di pentas tertinggi Piala Dunia adalah mimpi nyaris seluruh penggemar sepakbola Indonesia. Dan untuk mewujudkan hal itu, saya percaya bahwa langkah pertama dan terpenting terletak pada pembinaan usia dini.
Pembinaan bakat-bakat muda memang jauh dari kata gemerlap, jarang mendapatkan pemberitaan, apalagi sorotan televisi. Akan tetapi, pembinaan usia dini adalah investasi. Hanya dengan mengajarkan sepakbola secara benar kepada anak-anaklah di masa depan nanti Indonesia bisa mendapatkan pemain-pemain berkualitas.
Hal itu tidak bisa ditawar-tawar lagi. Mengembangkan teknik dan kemampuan di sepakbola, sebagaimana yang terjadi di olahraga lain, adalah masalah akumulasi. Semakin sering seorang pemain berlatih secara benar sejak kecil, kemampuan itu akan semakin terakumulasi. Sebaliknya, kesalahan mendasar ketika berlatih pun akan sangat sukar diubah ketika usia pesepakbola sudah matang. Di sinilah letak penting pembinaan usia dini.
Saya kira, tak ada salahnya Indonesia juga berkaca dari Jerman dan Jepang soal itu. Ketika Jerman terpuruk pada awal 2000-an, Federasi Sepakbola Jerman menyusun kurikulum yang kemudian akan diajarkan oleh pelatih-pelatih tingkat nasional di setiap daerah.
Murid-murid akademi di suatu kota akan berkumpul dan melihat para pelatih yang ditunjuk federasi. Hasilnya, 15 tahun kemudian Jerman memiliki para pemain andal yang mengantarkannya menjadi juara Piala Dunia 2014.
Demikian pula Jepang. Revolusi sepakbola Jepang berawal dari semakin meningkatnya jumlah sekolah sepakbola, serta kompetisi di tingkat sekolah. Jepang yang terhitung “bukan siapa-siapa” di awal 1990-an menjadi raksasa Asia dua puluh tahun kemudian. Semua itu ditempuh justru dengan mengembangkan sepakbola di akar rumput, di akademi-akademi dan sekolah-sekolah.
Sementara itu, kita sama-sama tahu bahwa kondisi di Indonesia jauh panggang dari api. Klub-klub profesional belum berkontribusi pada pembinaan usia dini karena baru sebatas memiliki akademi U-21. Pembinaan pemain pun sering kali dinilai sebagai sektor yang menghabiskan dana karena tidak secara langsung memberikan efek kepada tim utama. Belum lagi jika berbicara soal struktur yang terputus antara sekolah sepakbola, klub-klub amatir, dan klub profesional.
Masalah itu juga diperpelik dengan ketimpangan kualitas sekolah-sekolah sepakbola di Indonesia yang disebabkan mulai minimnya suplai pengajar berkualitas hingga tidak adanya acuan kurikulum.
Tentu bukan hanya yang buruk-buruk yang ada di pembinaan dini di sepakbola. Dalam beberapa tahun terakhir, patut disyukuri munculnya berbagai kompetisi sepakbola anak di sejumlah kota besar di Indonesia.
Lebih menggembirakan lagi, di level itu mulai muncul simbiosis antara SSB, sekolah, sponsor atau swasta, media, dan klub-klub besar Eropa yang memiliki kapasitas dalam menularkan ilmu sepakbola lewat coaching clinic.
Hal itu tentu perlu mendapat apresiasi karena ekosistem pembinaan usia dini yang baik memang harus lahir dari kerja sama yang erat antara berbagai pemangku kepentingan tersebut. SSB yang memang bukan khitahnya mencari keuntungan sebanyak-banyaknya harus mendapatkan dukungan swasta untuk menggulirkan kompetisi. Sebaliknya, sponsor pun harus mendapat sokongan media sebagai timbal balik yang pantas untuk kerja keras mereka mengadakan turnamen.
Pekerjaan rumah kami di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) adalah menyinergikan seluruh elemen itu dan memastikan kerja sama tersebut bisa tersebar ke seluruh Indonesia. Visi Presiden Joko Widodo soal pemerataan pembangunan pun harus terjadi di sepakbola. Kami juga ingin memastikan bahwa kompetisi-kompetisi akan ada di setiap tingkatan usia dan jangan sampai hanya menumpuk di kelompok U-12 atau U-13 seperti yang terjadi saat ini.
Karena itulah, Kemenpora meletakkan pembinaan usia dini sebagai salah satu di antara empat program prioritas dalam percepatan pembangunan sepakbola yang diminta Presiden Joko Widodo dan disepakati pada rapat terbatas.
Kami memandang pembenahan sepakbola usia dini tak kalah penting dengan pembenahan manajemen klub, penyediaan infrastruktur, serta pembenahan sistem dan tata kelola sepakbola. Hanya membenahi salah satunya tidak akan menyelesaikan permasalahan secara tuntas. Semua harus dibangun secara berbarengan.
Untuk mewujudkan pembinaan usia dini tersebut, Kemenpora akan berfokus pada pembinaan sekolah sepakbola (SSB), mendorong lahirnya kurikulum acuan untuk SSB, memberikan pelatihan-pelatihan bagi guru sekolah dasar untuk menambah jumlah pengajar sepakbola yang saat ini masih minim, juga mendorong sepakbola menjadi kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dasar.
Selain itu, kami akan menggelar Gala Desa, Liga Pelajar, Liga Santri, dan mendorong berbagai kompetisi lain. Hal itu dilakukan untuk memastikan adanya kompetisi bertaraf nasional di setiap jenjang usia sehingga pembinaan tidak pernah terputus ketika anak semakin bertambah usia.
Main Bola dengan Ceria
Satu hal lain yang penting untuk diperhatikan dalam pembinaan usia dini adalah konsep pemasalan atau mengajak sebanyak mungkin anak untuk berolahraga.
Kenyataannya, memang tak mudah mencetak para atlet yang mampu mengangkat nama Indonesia di pentas internasional. Selain harus menyiapkan infrastruktur latihan dan pola pembinaan, sebuah negara yang ingin digdaya di dunia olahraga juga harus memiliki suplai atlet yang memadai karena ada pola pembinaan yang berbentuk piramida.
Pada prinsipnya, atlet elite disuplai dari masyarakat yang gemar berolahraga dan masyarakat akan terus berolahraga karena terinspirasi atlet berprestasi. Karena itulah, penting memperbesar jumlah atlet amatir dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam olahraga untuk menambah jumlah atlet elite di puncak piramida pembinaan.
Satu-satunya cara adalah terus-menerus mengajak anak-anak untuk melakukan aktivitas olahraga. Itulah peran penting sepakbola. Sepakbola sangat cocok sebagai sarana pemasalan karena murah meriah dan mudah dilakukan oleh siapa pun. Sepakbola juga memiliki kedekatan kultur dengan masyarakat Indonesia karena dimainkan hampir di seluruh penjuru Indonesia.
Di level U-12, U-10, atau U-9, konsep pemasalan pun menjadi sangat penting untuk diperhatikan oleh para pengelola kompetisi usia dini. Anak-anak perlu diberi sarana dan ruang untuk bermain bola. Bukan dengan semangat berkompetisi sepenuhnya, tapi bermain sepakbola dengan riang gembira. Berikanlah semua anak giliran bermain serta ajari mereka nilai-nilai seperti menghormati wasit dan rekan-rekan setim. Saya percaya, dengan hati yang riang, tekad untuk menjadi pesepakbola profesional pun akan semakin besar.
Jika syarat-syarat itu tercapai, jika semakin banyak anak Indonesia yang bermain sepakbola, jika semakin banyak SSB yang mengajarkan sepakbola secara benar, soal prestasi dan menembus Piala Dunia adalah keniscayaan. (*)
LOGIN untuk mengomentari.