Setnov adalah nama beken Setya Novanto, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, DPR, Republik Indonesia, juga tersangka korupsi kasus KTP elektronik, masih terus menggelitik.
Sebagian menganggap sebagai tokoh yang sakti karena beberapa kali lolos dari jerat hukum. Ada beberapa kasus “besar” yang ditempelkan dengan namanya, nyatanya tak berbekas. Semua kasus mengelupas, menambah kesan sebagai “tak tersentuh”—sebutan penjahat kelas kakap dalam film Amerika yang tak terjerat hukum.
Kini pun dengan posisi sebagai tersangka, jabatannya tak goyah. Baik sebagai ketua DPR, maupun sebagai ketua umum Partai Golkar. Partai yang selama Orde Baru menguasai jalannya perpolitikan di Tanah Air dengan tokoh-tokoh yang disegani masyarakat.
Tapi, semua seperti tak memiliki gema. Setnov pernah diisukan akan dimundurkan dari jabatannya. Gosip hanya berusia sehari. Yang kemudian terjadi justru dukungan ke Setnov, dengan segala dalil dan alasan.
Saya beberapa kali dimintai pendapat dalam temu bincang di televisi—bukan hanya satu stasiun siar—dan masih bertanya.
Apakah benar Setnov sakti, ataukah justru lembaga perwakilan rakyat itu yang sakit. Sakit dalam pengertian kurang sehat, kurang dinamis, kurang menangkap apa yang terjadi di masyarakat, atau justru menjadi bagian dari kasus korupsi yang mega ini.
Pertanyaan ini kalau dijawab iya bisa lebih menakutkan, karena kini pun nama-nama wakil rakyat yang disebut-sebut dalam sidang pengadilan bukan satu dua nama, juga bukan nama sembarangan.
Kalau demikian halnya adalah benar dugaan bahwa para wakil rakyat tersandera oleh dirinya sendiri, oleh kepentingan pribadi atau partai politik, tersandera oleh kesalahannya sendiri. Dan agak aneh memang, jumlah yang mencapai 600 wakil rakyat, semuanya seakan loyo dan tak berdaya.
Hal yang sama bisa dialamatkan ke Partai Golkar. Partai dengan urut kedua terbesar, dengan pengalaman puluhan tahun mengelola konflik besar, tiba-tiba melempem menentukan sikap. Terkesan “maju-mundur”, terkesan minta perubahan ketua umum juga nanti saja, lihat situasi.
Padahal, hal yang terkait dengan Setnov masih panjang, berdebu, dan menyesakkan. Kaitan dengan istri juga anak-anak, misalnya. Atau sopir yang wartawan yang menyebabkan tabrakan yang dipertanyakan.
Belum lagi bukti lain dari tersangka lain yang terkait. Yang kesemuanya memerlukan waktu, memerlukan ketelitian, kesabaran. Mungkin juga kecerdikan.
Sebanyak tikungan permasalahan, sebanyak itu akan muncul perlawanan dari Setnov. Dengan kata lain, juga mereka yang nasibnya berkaitan secara langsung, akan terseret ke pusaran yang sama atau paling tidak menjadi tidak tenteram.
Setnov masih akan bertele-tele masalah yang menyita perhatian. Saya pernah mengimbau, dalam posisi sudah ditersangkakan ini, Setnov bisa berpaling.
Bukan lagi berorientasi kepada pendapat pembela hukumnya, atau saran-saran orang separtai yang pro, dan mencurigai yang anti, melainkan lebih memandang diri, pada nasib keluarganya.
Istrinya, anak-anaknya, orang tua, keluarga dekat lainnnya, yang ikut menjadi bulan-bulanan, atau bahkan terseret lebih dalam. Dengan perbedaan pendekatan ini, Setnov bisa lebih tenang di hari hiruk pikuk, mungkin bisa balik memberi saran bagaimana memberantas korupsi.
Tapi ini tak perlu didengar Setnov, karena ia tahu siapa yang sakit, yang akan tergantung nasibnya pada apa yang dilakukan.