Pemilihan ”Taste of Padang” sebagai branding untuk mempromosikan wisata Sumbar ternyata tak direspons positif para pakar branding, praktisi dan pegiat pariwisata. Bahkan, menuai pro-kontra berbagai kalangan masyarakat, termasuk di media sosial Whatsapp, Facebook dan Twitter.
Penggunaan kata “Padang” dalam ”Taste of Padang” yang ditujukan untuk mewakili Sumbar dinilai kurang tepat dan tak menarik. Bahkan, justru bisa mengecilkan destinasi wisata di ranah Minang yang beranekaragam dan terdiri dari 19 kabupaten dan kota. Oleh karena itu, kata itu diusulkan agar ditinjau ulang atau direvisi.
Ketua Pokja Industri Kreatif dari Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN), Ipang Wahid menilai, branding wisata Sumbar “Taste of Padang” kurang pas jika dipakai untuk membesarkan destinasi wisata ranah Minang. Sebaliknya, penggunaan kata “Padang” berpotensi akan mengerdilkan Sumbar. “Taste of Padang” menurutnya belum mewakili 19 kabupaten/ kota di Sumbar.
Suatu brand sejatinya harus mampu menjajal dan membangun kekuatan emosional. Hubungan emosional branding itu harus mencakup dari hulu ke hilir. Emosianal itu harus terjalin baik untuk masyarakat luar Sumbar maupun di lingkup Sumbar sendiri.
”Nah, masyarakat di Solok atau Bukittinggi dengan masyarakat luar Sumbar akan berbeda penafsiran dan pemahamannya tentang kata “Padang” ini. Perbedaan itu bisa diartikan bahwa brand “Taste of Padang” belum memiliki hubungan emosional, khususnya dari dalam masyarakat Sumbar sendiri,” ujar Ipang yang juga aktif jadi konsultan komunikasi dan branding.
Semestinya, kata Ipang, branding tersebut mampu membuat orang mudah mengenal Sumbar, menyuarakannya dan mengenali produknya. Apalagi ciri utama dari sebuah branding adalah produknya harus dikenali terlebih dahulu. Yang mengenal dan lebih tahu tentang produk Sumbar tentu stakeholder-nya, yaitu 19 kabupaten/ kota di Sumbar.
“Hal pertama yang harus diperhatikan, kita harus mengenali produk personality kita itu apa? Kedua, mesti melihat kompetitor kita siapa? Kemudian beralih ke for getting, brand itu mau dibawa ke mana? Setelah itu baru kita mengenali competitive of branding. Artinya DNA kita apa? Kelebihan kita apa? Ciri khas produk kita apa? Terakhir baru kita beralih pada slogan. Pertanyaannya, apa ini sudah dilalui atau belum sama pihak yang membuat dan menyapakati branding itu?” jelasnya.
Ketidaktepatan dalam menentukan branding akan berpengaruh pada target pasar yang akan dibangun. Semula branding ditujukan bagi Sumbar, namun dalam penerapannya akan mengerucut untuk Padang saja. Dengan demikian, branding “Taste of Padang” dengan sendirinya akan mengecilkan Sumbar.
“Seharusnya ini mesti dilihat dan dikaji kembali. Jika tidak, kasihan 18 kabupaten/ kota lainnya. Mereka nantinya seakan tidak punya ruh, tidak ada pegangan untuk memperkuat citra pariwisatanya,” ingatnya.
Hal senada diungkapkan mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Andrinof Chaniago. Andrinof mengaku tidak heran kalau penetapan brand destinasi wisata Sumbar ”Taste of Padang” akan menuai kritik dan mengundang kontroversi. ”Sepertinya, itu akibat penetapan branding tidak memiliki dasar yang kuat,” tegasnya.
Menurutnya, masih banyak keunggulan pariwisata Sumbar yang patut dijadikan branding. Setidaknya, Sumbar menyediakan keindahan objek wisata alam yang tak terbatas. Mulai dari dasar laut, pulau, pantai, sungai, air terjun, lembah, danau, goa dan gunung, kebun hingga kekayaan kuliner. ”Keindahan objek tersebut merupakan kumpulan kekayaan alam Sumbar yang tidak tertandingi daerah lain sebagai daerah tujuan wisata. Mengapa branding tersebut tidak diangkat dari keunggulan alam ini. Mudah-mudahan didapati branding yang sesuai dan benar-benar mewakili Sumbar,” ungkap tokoh Minang yang dikenal dekat dengan Presiden Jokowi itu.
Praktisi pariwisata, Zuhrizul menilai, brand “Taste of Padang” memiliki kelebihan dan kekurangan. Apa yang dikatakan konsultan branding yang ditunjuk yaitu Amar Ma’aruf, menurut Zuhrizul memang ada benarnya.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa Sumbar lebih dikenal dengan jualan nama Padang di luar daerah. Sisi positifnya, menurutnya akan berpengaruh pada penyebaran berbagai produk kuliner Padang yang sudah mendunia.
”Jadi diasumsikan dengan memakai nama Padang akan lebih menjual. Sah-sah saja dalam promosi wisata. Sejumlah negara memang ada yang menonjolkan kulinernya seperti itu,” ujarnya.
Hanya saja, kata Zuhrizul, branding tersebut justru akan mempersempit potensi atau jualan produk wisata Sumbar yang sejatinya lebih luas atau tidak hanya Padang. Secara psikologis nantinya juga bisa memengaruhi sentimen daerah lain di Sumbar. ”Potensi alam Sumbar yang begitu luar biasa akan sedikit tertutupi dengan branding ini,” kata dia.
Jika berkaca pada berhasilnya Skotlandia menjadikan makanan khas tradisional yang melegenda dengan ”Taste of Scotlandia”, tentu Sumbar nantinya juga bisa seperti itu. Apalagi pariwisata dengan kuliner tidak bisa dipisahkan. Sedikitnya 40 persen belanja wisatawan adalah kuliner. “Sayangnya, pemprov dan kemenpar (Kementerian Pariwisata) tidak libatkan Tim Percepatan dan Pengembangan Pariwisata Sumbar dalam memutuskan branding ini. Padahal tim ini sudah di-SK-kan gubernur,” ujarnya.
Direktur Pusat Studi Pariwisata Unand, Sari Lenggogeni menilai, konsultannya terlihat hanya menilai pada aspek kuliner sebagai fokus produk unggulan pariwisata Sumbar. Namun, tidak melihat aspek orang, karakter, kultur dan tempat sebagai elemen konsep yang harus dimasukkan sebuah branding.
Sari menduga konsultannya belum membandingkan atau survei bahwa nature juga atribut sangat kuat merepresentasikan Sumbar. Mungkin pula, atas dasar itu focus group discussion (FGD) digiring pada elemen kuliner hingga keputusan akhirnya posisi pariwisata Sumbar jadi menyempit pada kata “Padang” sebagai representasi kuliner 19 kabupaten dan kota. Lalu, mengabaikan bagaimana ketika implementasi nantinya dengan tagline yang dipasang pada semua jalur komunikasi pemasaran kabupaten dan kota.
Saat komunikasi pemasaran digital, komunitas, genpi dan lainnya, tentu tidak pas jika menampilkan tarian, silat, atau keindahan alam sebagai perwakilan produk kuliner. “Lalu, misalnya, ada iven musik di Sawahlunto, lalu harus ada tagline “Taste of Padang” sebagai brading wisata Sumbar di spanduk. Kan tidak masuk akal jadinya? Seharusnya beri ruang membentuk brand awareness Sumbar sebagai satu keutuhan pariwisata. Selain itu, lakukan uji publik dulu sebelum brading tersebut disepakati. Biasanya seperti itu,” katanya.
Anggaran Kemenpar
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata Sumbar Onni Yulfian dalam penjelasannya menyebutkan, kata taste di sini diartikan tidak sekadar rasa oleh lidah, tapi oleh semua panca indra, termasuk paling penting yang dirasakan hati. Sedangkan kata Padang diartikan sebagai Sumatera Barat, tidak sebagai Kota Padang. Di luar Sumbar orang Sumbar dikenal sebagai “Orang Padang”, makanan Sumbar dikenal “Makanan Padang”.
Kegiatan membuat branding ini, diakuinya permintaan Dinas Pariwisata Sumbar kepada kemenpar karena adanya imbauan kepada destinasi untuk memiliki sub-branding sebagai bagian master brand ”Wonderful Indonesia”. ”Selain itu ada peluang siapa cepat dia dapat dari Kemenpar kepada destinasi yang berminat dibuatkan branding-nya menggunakan anggaran Kemenpar,” jelasnya.
Peluang tersebut direspons Dinas Pariwisata dengan membuat surat permohonan resmi ke kemenpar. Lalu direspons dengan lelang umum terbuka hingga dimenangkan PT Dua Tiga Empat Konsultan dari Yogyakarta dengan nilai mencapai Rp 2 miliar. ”Dari sisi proses ini sudah dibahas panjang melibatkan berbagai pihak. Selain itu, konsultannya juga sudah survei primer dan sekunder. Ini sudah disepakati pada rapat kemarin (24/11) dan menjadi komitmen semua pihak terkait di Sumbar untuk menggunakannya,” ujarnya.
Sebagaimana diberitakan kemarin, penetapan branding wisata Sumbar berlangsung alot saat FGD pembangunan komitmen destination branding Sumbar di Hotel Mercure, Padang, Jumat ( 24/11). Ada dua ikon branding Sumbar yang jadi perdebatan, yakni Taste of Padang dan Culture of Minang. Saking alotnya, Pemkab Mentawai sempat mengancam keluar dari branding wisata Sumbar dan membentuk branding wisata sendiri.
Konsultan Branding Destination Sumbar Amar Ma’aruf menyebutkan, pemakaian kata Padang dinilai lebih menjual ketimbang Minangkabau maupun West Sumatera. Padang dinilai lebih populer, baik dalam skala nasional maupun internasional. ”Setidaknya, berdasarkan survei yang kita lakukan, 75 persen brand name Padang telah dikenal publik sebagai Sumbar. Minangkabau sebesar 19 persen dan hanya 6 persen yang mengenal kata West Sumatera. Di mana-mana ketika kita tanya orang, maka orang lebih kenal Padang dari pada Sumbar, Minangkabau ataupun West Sumatera,” katanya.
Untuk logonya sendiri, brand “Taste of Padang” memakai gonjong rumah gadang. Sebab, kata Amar, berdasarkan survei 85 persen mengetahui dan mengakui bahwa rumah gadang adalah ikon untuk daerah Minang. “Namun demikian, brand yang ditawarkan ini tetap kita serahkan keputusannya kepada jajaran Pemprov Sumbar. Hanya saja, nasional mendorong, baik warna, typography dan lekuk bentuknya diharapkan memiliki satu kesatuan dengan brand wisata Indonesia. Jadi, brand apa yang dipakai Sumbar nantinya diharapkan sama dengan ”Wonderful Indonesia,” katanya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.