Dua hari ini sorotan publik mengarah ke Gedung DPR. Keputusan KPK menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka perkara korupsi memunculkan perdebatan perlu tidak Setya Novanto mundur dari jabatan DPR.
Memang tidak ada aturan yang melarang seorang tersangka menduduki kursi pimpinan DPR. Hukum positif kita juga mengusung azas praduga tak bersalah. Seseorang tetap dianggap tidak bersalah kecuali pengadilan menyatakan sebaliknya.
Itu yang dijadikan alasan pimpinan DPR maupun Partai Golkar mempertahankan Setya Novanto di pucuk pimpinan DPR. Begitu pula Setya Novanto, menolak mundur dari jabatan Ketua DPR.
Namun berpolitik tak sekadar adu lihai argumentasi hukum. Di atas hukum positif ada etika, ada prinsip-prinsip moralitas politik. Politik yang hanya mengandalkan hukum hanya akan menciptakan politisi pragmatis, politisi yang cenderung menggunakan hukum untuk kepentingan pribadi tanpa mengindahkan norma tinggi kesusilaan atau fatsun dalam pergaulan politik.
Apalagi, DPR merupakan lembaga tinggi. Lembaga yang diisi para wakil rakyat yang secara tata tertib dipanggil anggota dewan yang terhormat. Lembaga DPR sejajar dengan Mahkamah Konstitusi yang pada 2013 lalu memecat Ketuanya Akil Mochtar karena terjerat suap pidana Pilkada.
Sudah sejak lama para begawan dan cendekiawan negeri ini prihatin dengan kondisi Indonesia yang krisis pemimpin berjiwa negarawan. Seorang yang berjiwa negarawan dalam tindakannya mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, di atas kepentingan pribadi dan kelompok.
Kita berharap, tanpa harus mendapat desakan atau tuntutan publik, Setya Novanto menampilkan jiwa negarawan. Alangkah baiknya jika Setya Novanto mundur dari ketua DPR dan berkonsentrasi menghadapi persidangan untuk membuktikan bersalah atau tidak. Tidak perlu menyandera kursi ketua DPR dan mencoreng kewibawaan dewan.