Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilanda dilema. Sebab, upaya mempercepat penanganan dugaan korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) terhambat dengan tidak hadirnya Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto sebagai saksi untuk Andi Agustinus alias Andi Narogong, kemarin (7/7). Di sisi lain, Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK terus bergulir di DPR.
Ketidakhadiran Setnov membuat KPK harus menjadwalkan ulang pemanggilan Ketua Umum Partai Golkar tersebut. Kondisi itu jelas mengulur-ulur penyidikan perkara e-KTP yang sudah disusun komisi antirasuah. “Kami akan panggil kembali sesuai kebutuhan rencana penyidikan yang sudah disusun,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, kemarin (7/7).
Sesuai koridor hukum, KPK tidak bisa berbuat banyak dengan “manuver” tidak hadirnya Setnov dan para politisi DPR lainnya. Apalagi, ketidakhadiran para legislator Senayan itu menyertakan surat keterangan resmi dari lembaga bersangkutan. “Bila saksi tidak hadir, saksi tidak mendapat kesempatan mengklarifikasi informasi-informasi lebih lanjut,” terang Febri.
Sebagai catatan, selain Setnov, KPK kemarin juga menjadwalkan pemeriksaan terhadap empat politisi lain. Yakni, eks Ketua Fraksi Partai Demokrat Jafar Hafsah, eks anggota Komisi II DPR Khatibul Umam Wiranu, mantan Wakil Ketua Banggar DPR Mirwan Amir dan Ketua Fraksi PKS Jajuli Juwaini. Di antara para politikus tersebut, Setnov dan Mirwan Amir tidak memenuhi panggilan.
Febri mengatakan, pihaknya belum bisa memastikan apakah surat keterangan ketidakhadiran Setnov sah atau tidak. Yang jelas, kata dia, surat tersebut melampirkan keterangan dari dokter yang menyatakan bahwa kondisi kesehatan yang bersangkutan tengah menurun. “Kami akan mempelajari alasan-alasan itu,” ujar Febri normatif.
Ketidakhadiran Setnov dianggap sebagai bentuk akrobat politik untuk menghadang pengusutan e-KTP. Keterangan Setnov sejatinya sangat dibutuhkan guna mempercepat penanganan perkara e-KTP. Sebab, Setnov disebut-sebut memiliki hubungan spesial dengan Andi Narogong saat kasus e-KTP bergulir. Bahkan, dalam tuntutan jaksa KPK, keduanya didalilkan memenuhi unsur pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tentang penyertaan dalam melakukan perbuatan pidana.
“Di balik ketidakhadirannya, dia (Setnov) menyusun kekuatan untuk membubarkan KPK,” ujar peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar, kemarin. Sebelumnya, Setnov sangat kooperatif memenuhi tiga kali panggilan KPK. Pemanggilan tersebut untuk tersangka Irman dan Sugiharto, pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang kini jadi terdakwa e-KTP.
Dalam tuntutan jaksa KPK, Setnov disebut berperan sebagai kunci keberhasilan pembahasan anggaran e-KTP di Komisi II DPR pada 2010. Dalil itu dikuatkan dengan fakta hukum di persidangan yang menyebut bahwa Setnov, Andi Narogong, Irman, Sugiharto, dan eks Sekjen Kemendagri Diah Anggraeni pernah menggelar pertemuan di Gran Melia Jakarta.
Mantan pimpinan KPK jilid I Tumpak Hatorangan Panggabean angkat bicara terkait dilema yang terjadi di lembaga yang pernah dipimpinnya tersebut. Menurutnya, nama-nama yang sudah disebutkan secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi mestinya sudah bisa dijadikan indikasi permulaan penyelidikan baru. “Kalau cukup bukti, ya diangkat menjadi tersangka,” ujarnya.
Hanya, pihaknya menyerahkan semua pekerjaan itu kepada penyidik KPK sekarang. Sebab, isi penyelidikan dan penyidikan kasus e-KTP yang bergulir saat ini berada dibawah kewenangan mereka. “Apakah penyidik memiliki 2 alat bukti yang cukup, tentu penyidik yang tahu. Bergantung penyidik, apakah memang sudah ditemukan dua alat bukti yang cukup,” terangnya.
Mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki menambahkan, posisi KPK saat ini ibarat pemain bola asing yang bermain di liga sepakbola tanah air. KPK masih mendapat hadangan dari para koruptor yang tidak sepakat dengan pemberantasan korupsi. “Mau lari dijegal teman sendiri, mestinya diumpan bola supaya bisa nembak ke gawang,” ujarnya saat acara halalbihalal di gedung KPK, kemarin.
Karena itu, pihaknya meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan mengatasi perseteruan KPK versus DPR. Setidaknya, hal itu menunjukan bahwa presiden memiliki komitmen kuat terhadap pemberantasan korupsi. “Tidak lama kok. Insya Allah sampai 2019 sudah selesai, nanti setelah itu kalau menunjukan hasilnya, ayo kita dukung kembali,” imbuh purnawirawan polisi tersebut.
Wapres Nilai Wajar Pansus
Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menuturkan, masyarakat tidak perlu khawatir dengan langkah DPR di dalam pansus hak angket. Menurut dia adalah hal yang wajar bila DPR mengevaluasi pelaksanaan undang-undang yang mereka buat.
“KPK itu sudah kurang kebih 15 tahun. Ya, tak ada salahnya kalau DPR yang membuat UU untuk KPK itu juga untuk mengevaluasi,” ujar JK menanggapi langkah pansus hak angket ke LP Sukamiskin, Bandung.
Meskipun begitu, JK yakin dukungan terhadap penguatan posisi KPK. Bukan malah memperlemah. “Masyarakat toh akan mempunyai tanggung jawab prinsip agar KPK diperkuat,” tegas dia.
Terpisah, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siraj menuturkan, dukungannya pada KPK. Dia menyebutkan bahwa peran komisi tersebut masih dibutuhkan dalam penegakan hukum di Indonesia.
“Sebenarnya (penegakan hukum, red) dunia kejaksaan dan kepolisian yang rupanya kurang tajam dan kurang efektif maka pemerintah ada KPK,” kata dia di Kantor PBNU, kemarin (7/7).
Dia menuturkan bahwa pembentukan pansus hak angket KPK itu diduga karena ada oknum-oknum tertentu yang tersinggung. Tapi, dia tidak menjelaskan lebih lanjut oknum itu. “Saya sebenarnya tidak berhak mengomentari karena bukan partai politik, itu urusan partai politik itu,” imbuh dia.
KH Said juga menganggap bahwa pertemuan pansus hak angket dengan napi koruptor itu hal yang wajar dan biasa saja. “Kalau kemanusiaan namanya ketemu orang tidak apa-apa,” imbuh dia. (*)
LOGIN untuk mengomentari.