JAKARTA – Seiring bertambahnya perusahaan Tiongkok yang putus asa mencari tempat untuk operasional bisnis globalnya, semakin banyak dari mereka yang melirik Singapura sebagai tujuan realokasi investasi.
Di tengah hentakan genderang perang dingin AS-Tiongkok, negara kota di Asia Tenggara itu kerap dibicarakan sebagai tempat yang memberi perlindungan bagi investor yang ingin terhindar dari benturan dengan negara adidaya tersebut.
Kendati demikian, Singapura sekarang, dengan simpanan yang berlebih, tidak menginginkan banyak dana baru. Apalagi arus portofolio keuangan berpotensi mengganggu stabilitas keuangan, sedangkan investasi bisnis dalam bentuk penanaman modal asing (PMA) justru akan menciptakan lapangan kerja, memberikan peluang baru kepada vendor lokal, dan memicu optimisme tentang masa depan, sesuatu yang sangat dibutuhkan di tengah krisis akibat pandemi Covid-19.
Hal itu menyebabkan Singapura pasti lebih senang melihat perusahaan-perusahaan raksasa Tiongkok, seperti Tencent Holdings, Alibaba Group Holding, dan ByteDance datang dengan rencana investasi bernilai miliaran dollar AS.
Alibaba sedang menjajaki investasi tiga miliar dollar AS di Grab Holdings, yang beralih dari perusahaan transportasi Asia Tenggara menjadi aplikasi super-regional dengan keuangan sebagai bisnis intinya.
Sementara itu, Grab telah mengajukan permohonan untuk mendirikan lisensi bank digital di Singapura. Begitu juga Ant Group yang didukung Alibaba. Pada Juni, Reuters melaporkan bahwa Grab dan Sea yang didukung Tencent, pembuat gim daring Singapura, telah masuk dalam daftar pilihan Otoritas Moneter Singapura.
Dengan menjalankan bisnis di Singapura, di mana bank-banknya diatur dengan baik, merupakan modal berharga sekaligus tiket gratis bagi perusahaan-perusahaan tersebut masuk ke jaringan keuangan global yang didominasi AS. Ini akan menjadi penting bagi perusahaan fintech Tiongkok jika Beijing memutuskan untuk menjalankan sistem paralelnya sendiri.
Lebih cepat lagi, akses ke pelanggan Grab di Asia Tenggara dapat membantu toko daring seperti Lazada yang didukung Alibaba, dalam persaingannya melawan aplikasi Shopee yang didukung Tencent.
Sementara itu, Tencent mungkin juga mengincar Singapura untuk menghindari situasi seperti boikot New Delhi terhadap produk mereka, video gim seluler PUBG. Sementara itu, WeChat sudah menjadi target pemerintahan Trump.
Ketika perselisihan meningkat di perbatasan India dengan Tiongkok, semakin mendekatkan India pada AS, perusahaan Tiongkok yang berpikiran global membutuhkan tempat netral untuk menghindari dampak berikutnya. Ditto for ByteDance, mencoba menyelamatkan operasi platform berbagi video TikTok di AS dengan bermitra dengan Oracle Corp.
Hindari Tekanan AS
Pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya, Wibisono Hardjopranoto, mengatakan minat perusahaan Tiongkok merelokasi pusat operasi mereka ke Singapura demi menghindari tekanan AS. Pasalnya, kalangan internasional telah lama menaruh kepercayaan ke pada Singapura yang mampu menyediakan layanan perdagangan dan pasar keuangan dengan baik.
“Meskipun tidak memiliki sumber daya alam, tapi inovasi dan kreativitasnya yang terdepan di dunia, hanya mengandalkan posisi strategisnya, mereka mampu memberikan layanan perdagangan dan pasar keuangan yang terbaik,” kata Wibisono, Minggu (20/9).
Sementara itu, Ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Bhima Yudhistira, mengatakan dibandingkan Singapura, idealnya Indonesia memanfaatkan relokasi industri dari Tiongkok, terutama manufaktur karena Indonesia memiliki keunggulan. Sementara Singapura hanya memiliki keunggulan sebagai financial hub. n SB/uyo/ businessstandard/E-9